Rekonstruksi Citra Budaya Madura

Tema dialog yang diselenggarakan RRI Sumenep (9/12/2006) yang lalu bertajuk "Membangun Kembali Citra Positif Budaya Madura" dipastikan berangkat dari keyakinan bahwa Budaya Madura sesungguhnya memang sarat dengan nilai-nilai sosial budaya yang positif. Hanya saja kemudian nilai-nilai positif tersebut tertutupi perilaku negatif sebagian orang Madura sendiri, sehingga muncul stereotype tentang orang Madura, dan lahir citra yang tidak menguntungkan.

Oleh Kadarisman Sastrodiwirjo

Nilai-nilai sosial sebuah budaya, menurut Latif Wiyata bersifat lokal dan kontekstual sesuai dengan kondisi dan karakteristik masyarakat pendukungnya. Sejalan dengan ini, seharusnya Budaya Madura mencerminkan karakteristik masyarakat yang religius, yang berkeadaban dan sederetan watak positip lainnya. Akan tetapi keluhuran nilai budaya tersebut pada sebagian Orang Madura tidak mengejawantah karena muncul sikap-sikap yang oleh orang lain dirasa tidak menyenangkan, seperti sikap serba sangar, mudah menggunakan senjata dalam menyelesaikan masalah, pendendam dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan (Giring, 2004). Akibatnya, timbul citra negatif tentang orang Madura dan budayanya.

Orang yang tidak pernah ke Madura, memiliki gambaran yang kelam tentang Orang Madura. Rata-rata pejabat yang dipindah tugas ke Madura, berangkat dengan diliputi penuh rasa was-was, karena benak mereka dihantui citra Orang Madura yang serba tidak bersahabat. Akan tetapi kemudian setelah berada di Madura, ternyata hampir semuanya berubah 180 derajat pandangannya tentang Orang Madura. Mereka dengan penuh ketulusan mengatakan bahwa Orang Madura ternyata santun, ramah, akrab dan hangat menerima tamu.

Citra negatif ini pula yang kemudian melahirkan sikap pada sebagian Orang Madura, utamanya kaum terpelajar, merasa malu menunjukkan diri sebagai Orang Madura, karena Madura identik dengan keterbelakangan atau kekasaran Keadaan ini harus diakhiri. Perlu dilakukan upaya untuk menunjukkan bahwa Orang Madura dan budayanya tidak sejelek yang diduga orang lain.

Upaya pertama adalah membangun citra positif. Membangun citra ini dimulai dengan menonjolkan hal-hal yang positif dari Budaya Madura. Untuk itu perlu dilakukan inventarisasi yang cermat nilai-nilai sosial budaya yang positif atau sering diistilahkan dengan nilai-nilai luhur. Nilai-nilai tersebut bisa kita temukan dalam pelbagai parebhasan, saloka, bangsalan atau paparegan yang banyak memuat bhabhurughan becce’.

Nilai-nilai ini perlu dipilah menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah nilai-nilai yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Di antaranya adalah ungkapan-ungkapan : "Manossa coma dharma". Ungkapan ini menunjukkan keyakinan akan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa. Selain itu, "Abhantal ombha’ asapo’ angen, abhantal syahadad asapo’ iman" Ungkapan ini menunjukkan berjalin kelindannya Budaya Madura dengan nilai-nilai agama Islam. Bahkan, penting dimasukkan Bango’ jhuba’a e ada’ etembang jhubha’ e budi.

Ini semua, ajaran yang bagus dalam manajemen perencanaan, yang mengisyaratkan perlunya disusun rencana yang cermat dalam setiap kegiatan, agar tidak mengalami kesulitan di kemudian hari karena salah perencanaan. Bandingkan dengan selogan: "Perencanaan memang mahal, akan tetapi akan lebih mahal lagi akibatnya apabila kita membangun tanpa rencana". Misalnya, tercermin dalam "Asel ta’ adhina asal" yang mengingatkan kita untuk tidak lupa diri ketika menjadi orang yang sukses dan selalu ingat akan asal mula keberadaan diri.

Pun, Lakona lakone, kennengnganna kennengnge. Bandingkan dengan the right man on the right job. Pae’ jha’ dhuli palowa, manes jha’ dhuli kalodu’. Ini juga nasehat agar kita tidak terburu-buru mengambil keputusan hanya berdasarkan fenomena. Kita harus mendalami akar permasalahan, baru diadakan analisis untuk kemudian menetapkan kebijakan. Kar-karkar colpe’, bisa dikembangkan untuk menumbuhkan sikap mau bekerja keras dan cerdas, apabila kita ingin menuai hasil yang bisa dinikmati.

Kelompok kedua adalah ajaran yang sementara ini penafsirannya cenderung mengarah kepada hal-hal yang acapkali menimbulkan ketakutan kepada pihak lain. Ajaran ini perlu kita beri redefinisi, atau reinterpretasi sebagaimana misalnya 'Clurit Emas'-nya Zawawi Imron. Clurit jangan lagi kita lihat semata-mata sebagai alat untuk mempertahankan diri atau menebas leher orang, akan tetapi bagaimana clurit ini kita maknai sebagai alat untuk 'menebas ketertinggalan, kebodohan dan kemiskinan'. Ada beberapa ungkapan yang termasuk dalam kelompok ini, misalnya: Etembhang pote mata, bhango’ pote tolang. Ini kita berikan penafsiran baru menjadi ajaran untuk meneguhkan semangat berkompetisi. Kalau tidak ingin pote mata, kita harus memperbaiki diri, meningkatkan kapabilitas, sehingga tak perlu pote tolang. Ungkapan itu perlu diubah menjadi ta’ terro pote mata, ta’ parlo pote tolang. Bandingkan dengan 'Hidup mulya atau mati syahid' (Isy kariman aw mutsy syahidan).

Oreng jhujhur mate ngonjhur, kita robah menjadi Oreng sabbhar nompa’ jikar. Kedua ungkapan ini seolah-olah menggambarkan bahwa orang sabar atau orang jujur kondisinya kurang bersaing. Ungkapan ini perlu kita reposisi menjadi misalnya oreng sabbhar nompa’ kapal ngabbher.

Ola’ neng bato, odi’. Kalau semula ungkapan ini untuk menggambarkan sikap orang yang suka narema papasten, bisa kita beri semangat baru, bahwa perlu ada sikap ulet, tekun dan tabah untuk mempertahankan hidup.

Kelompok ketiga adalah ajaran yang kita tanamkan untuk menumbuhkan nilai-nilai baru yang positip yang sejalan dengan perkembangan zaman. Bandingkan dengan pepatah Inggris 'time is money' yang sesungguhnya bukan nilai budaya asli orang Inggris yang dimiliki sejak zaman dulu, melainkan ditumbuhkan sejak Inggris memasuki era industrialisasi. Agar masyarakat mau menghargai waktu, maka waktu dikaitkan dengan uang/profit.

Kita perhatikan beberapa ungkapan baru yang bisa kita tanamkan dan kembangkan, misalnya:
  • Lamon terro amodel, kodhu amodal
  • Lamon terro penter, kodhu ajar komputer
  • Ta’ atane, ta’ atana’, ini dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat mengembangkan kehidupan di bidang agriculture dan agribisnis
  • Ta’ adhagang, ta’ adhaging, dimaksudkan untuk mengembangkan semangat kewiraniagaan
  • Kembhang malate kembhang bhabur, mandhar bhadha’a paste, terro daddhia haji mabrur.
Upaya selanjutnya, membangun citra ini perlu diikuti dengan perubahan perilaku dari sebagian taretan dibhi’. Untuk itu perlu dilakukan studi, perilaku apa yang tidak disukai oleh orang lain, serta perilaku apa yang disukai. Perilaku yang tidak disukai kita kurangi atau dieliminasi, sedang yang disukai kita kembangkan dan dijadikan modal dalam membangun citra.

Perubahan perilaku ini memang membutuhkan proses panjang, kesungguhan dan keserempakan (sinergi). Peningkatan pendidikan masyarakat adalah jawaban yang tepat untuk ini. Penanaman budi pekerti luhur sejak dini di kalangan anak-anak, mutlak diperlukan. Juga perlu keteladanan dari para tokoh utamanya Ulama/Kyai dan para pemimpin formal. Upaya ini perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan terencana, yang dimotori oleh mereka yang memiliki kesadaran tentang hal ini.

Upaya berikutnya adalah menanamkan dan menumbuhkan kecintaan dan kesetiaan Orang Madura kepada budayanya. Ini perlu agar budaya Madura tidak pupus dalam satu-dua generasi. Jangan sampai terjadi baru pada generasi kedua saja Bahasa Madura sudah tidak dikenal; sopan santun, sikap andhap asor sudah menghilang.

Membangun citra positip, memang tidak bisa serta merta, perlu proses, akan tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Itupun harus dimulai sekarang juga, agar keadaan tidak semakin parah. Hal yang sangat penting adalah adanya kesadaran bahwa membangun citra positip harus dilakukan sendiri oleh Orang Madura, sebagaimana semboyan kelompok Pakem Maddhu, Pamekasan yang berbunyi: Coma reng Madhura se bisa merte bhasa Madhura. (*)

Sumber: Jawa Pos, 24 Des 2006

Perlu Muncul Kelompok Kreatif Kecil

Pamekasan - Budayawan D. Zawawi Imron meminta agar ada kelompok pemuda dan mahasiswa yang mau menjadi kelompok kreatif kecil yang selalu bersuara lembut dan mengutarakan sesuatu dengan bahasa partikular, suara yang berbeda dari yang lain.

Dia mengungkapkan hal itu saat memberi orasi budaya dalam Pelantikan Pengurus HMI Cabang Pamekasan Periode 2006-2007, di Aula Hotel Kemuning, Sabtu (23/12) siang.

"Kelompok kreatif kecil ini yang selalu bersuara kelembutan pada saat yang lain menyuarakan sesuatu dengan suara kekerasan, berkelahi bahkan bertengkar karena kepentingan. Suara kita adalah harus suara kelembutan. Tak ada yang lebih indah dari kelembutan. Suara itu adalah suara surga yang pantas kita suarakan. Sebab selama ini korban dari suara kekerasan dan pertengkaran adalah orang-orang kecil," paparnya.

Kelompok kreatif kecil ini, memiliki berbagai ciri di antaranya selalu memperhatikan dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok dan golongan. Namun menyuarakannya dengan bahasa yang lembut sopan dan indah. "Ini harus muncul dari adik-adik HMI, juga PMII GMNI dan organisasi pemuda lainnya. Kita punya pengalaman kelompok muda yang memiliki prestasi seperti ini, seperti diukir oleh M. Natsir mantan Perdana Menteri RI dengan kawan-kawan seperjuangannya," katanya.

Ciri lainnya, lanjut Zawawi, kelompok kreatifitas minoritas ini akan selalu mengisi roh aktivitasnya dengan sikap religiusitas, dalam mengatasi persoalan bangsa dan tanah air. "Kalau ciri-ciri ini saja Anda lakukan, Anda telah berbuat terbaik untuk bangsa dan tanah air. Dan Anda adalah orang yang pantas mendapat predikat berakhlakul karimah," ungkapnya.

Dikatakan, saat ini orientasi kehidupan masyarakat sudah berbeda dengan zaman sebelumnya. Kalau sebelumnya masyarakat Indonesia mudah melakukan perubahan dan perbaikan karena memiliki nasib dan tujuan atau cita-cita yang sama yakni mencapai kebebasan dan kemerdekaan membangun bangsa sendiri. "Namun kini, nasib kita sudah beda dan tujuan diantara kita juga sangat berbeda pula. Lantas bagaimana cara memupuk kesetiaan dan membangun bangsa?" tanyanya.

Menurut dia, ketika masyarakat dan kelompoknya sudah memiliki tujuan hidup yang berbeda, maka yang harus dikedepankan untuk tetap memiliki komitmen membangun bangsa adalah memunculkan rasa cinta kepada tanah air. "Kita makan, minum, besar dan mencari penghidupan ditanah air kita, karena marilah jadikan kecintaan pada tanah air ini untuk membangun dan memperbaiki bangsa ini," ajaknya. (mas)

Sumber: Surabaya Post, 24/12/06

Sepi di Buker Atas

Datanglah ke Dusun Buker Atas, Desa Buker, Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang. Siang hari, yang terasa adalah kekeringan, juga sepi. Di malam hari, Anda mungkin lupa sedang berada di Indonesia. Suasana gelap gulita, listrik tak ada. Sementara, dalam banyak perbincangan, yang muncul adalah keluh kesah, juga keterpaksaan untuk pasrah pada keterbelakangan yang mendera warga.

Oleh: Achmad Hairuddin

Suasana terpencil dan terisolasi sangat terasa ketika memasuki pemukiman penduduk di Dusun Buker Atas. Dikelilingi bukit kapur, jalan bebatuan yang cukup terjal dan menanjak sepanjang 4 km merupakan satu-satunya akses menuju dusun tersebut. Jika tidak hati-hati, kendaraan bisa terpeleset karena jalannya licin dan sulit dilalui setelah diguyur hujan deras.

Di dusun ini, jarak antar-rumah penduduk saling berjauhan. Warga yang sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan itu terpencar-pencar. Maklum, mata pencaharian sebagian besar mereka adalah petani tadah hujan dan buruh tani.

Salah satunya Mbah Sarinti. Nenek yang diperkirakan berumur mendekati 80-an tahun ini tinggal bersama anaknya, Zainal, menantunya, Ruhah, serta 5 cucunya. Mereka tinggal di gubuk dari gedek (anyaman bamboo) berlantaikan tanah. Jangan mencari kabel, apalagi tiang listrik di sekitar rumah ini. Di seluruh dusun, listrik tak ada. Siang berlampukan matahari, malam mengandalkan lampu teplok.

Saat pertama hendak ditemui, mereka menampakkan tatapan curiga, tersirat pula ketakutan. Meski tak berbuat salah apa-apa, mereka menduga yang datang adalah polisi. Jelas sekali mereka jarang berinteraksi dengan orang asing.

“Bi’ kaula sampeyan sanggu nagarah, daddi kaula tako’. Polannah rangrang oreng kotta dha’ ka’dintoh (saya kira Anda polisi, karena itu saya takut. Jarang orang kota yang masuk ke sini),“ kata Zainal. Dia juga menolak difoto.

Kondisi membuat mereka jarang berinteraksi dengan dunia luar. Untuk menuju ibukota kecamatan saja, mereka harus berjalan kaki sejauh 10 km menuju jalan poros desa. Dari sana baru bisa melanjutkan perjalanan dengan ojek. Karena itu warga dusun enggan keluar, sementara orang lain enggan datang. Mereka seakan terputus dari peradaban.

Jangan tanya tentang bencana luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo. Apalagi bencana terbaru, tanah longsor di Solok, Sumatera Barat. Mereka tidak mengetahuinya. Listrik tak ada, televisi apalagi.

"Manabi ampon malem, sadajanah keluarga enggi langsung asaren. Alako napah pole TV ta’ geduan. (Kalau sudah malam, seluruh keluarga langsung tidur. Mau apa lagi, wong TV saja tidak punya)," lanjut Zainal.

Malam hari, bagi mereka, adalah periode yang sangat pendek. Selepas maghrib, sebagian anak-anak mengaji dalam remang cahaya lampu teplok. Sebagian musala saja yang dilengkapi lampu petromaks. Selepas isya, kantuk menyerang lebih cepat daripada di kota. Gelap, sepi, apalagi yang bisa dinanti?

Daftar Rencana

Camat Jrengik, Djoko Wiratno, mengakui dari 14 desa di wilayahnya, sebagian memang masih sangat tertinggal dan terisolasi, seperti Desa Asem Nonggal dan Buker. Dengan alasan letak geografis desa tersebut di lereng pengunungan, pembangunan infrastruktur berupa jalan dan listrik belum menjangkaunya. Di samping itu, menurut Djoko, ada beberapa faktor sehingga Kecamatan Jrengik sulit berkembang dan tertinggal.

"Saya tengah menginventarisasi semua jalan desa, baik yang sudah beraspal, makadam serta tanah. Selain itu saya juga mengupayakan untuk membangun pasar palawija di ibukota kecamatan, karena yang ada selama ini hanya pasar desa, sehingga roda perekonomian bergerak sangat lambat. Saya mengusulkan untuk membangun sarana kesehatan yang memadai dengan menambah lagi satu unit Puskemas, serta sarana pendidikan berupa gedung SMP dan SMA," kata Djoko yang baru 5 bulan menjabat di Jrengik.

Daftar rencana Djoko memang banyak, juga bagus. Pertanyaannya, segerakah daftar rencana itu bisa direalisasikan?

Jawabannya ada pada kepedulian dan kesungguhan pemerintah. Di Kecamatan Jrengik, ada 4.389 rumah tangga miskin, penduduk tanpa akses listrik mencapai 91,97 %. Sebanyak 14 desa tidak dapat dilalui kendaraan roda empat, dan angka harapan hidupnya pun rendah. Akankah keadaan sulit ini kembali terlupakan?(*)

Sumber: Surabaya Post, 16/12/06

Jangan Hanya Satu Kelompok

SUMENEP - Petani garam rakyat di sekitar lahan pegaraman milik PT Garam yang berada di sejumlah desa di Kabupaten Sumenep berharap ikut dilibatkan secara aktif dalam pembahasan bersama untuk merealisasikan kesimpulan rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR RI. Pasalnya, ada indikasi hanya satu kelompok petani saja yang terlibat dalam pembahasan di tingkat Pemprov Jatim tersebut.

Korlap LSM Pelita Abd. Salam yang selama ini mendampingi kelompok petani garam di sekitar lahan pegaraman I menjelaskan, beberapa hari lalu, pihaknya bersama sejumlah komponen petani garam rakyat ingin menemui Sekretaris Provinsi Jatim Dr Soekarwo. Tujuannya, untuk menyampaikan aspirasi kalangan petani garam rakyat tentang tim fasilitator yang akan merumuskan kesimpulan RDP Komisi II DPR RI.

Sayangnya, Soekarwo tidak berada di tempat dan akhirnya hanya menemui Kasubag Bantuan Hukum Biro Hukum Setprov Jatim Indah Wahyuni. Nah, dalam pertemuan tersebut, petani garam rakyat berharap agar dilibatkan dalam setiap pertemuan yang dilakukan tim fasilitator. "Jangan hanya menyerap masukan maupun aspirasi dari satu kelompok petani garam rakyat saja. Semua petani garam rakyat punya hak yang sama," tukasnya.

Tim fasilitator yang akan merumuskan format teknis dari hasil kesimpulan RDP Komisi II DPR RI, lanjut Salam, harus bersikap fair dan obyektif. Artinya, tim fasilitator harus menyerap aspirasi maupun masukan dari semua kelompok petani garam rakyat. "Petani garam rakyat di 7 desa yang kita dampingi tidak pernah dilibatkan. Padahal, pertemuan untuk merumuskan kesimpulan RDP itu telah beberapa kali dilakukan," imbuhnya.

Salam mengaku, pihaknya mendengar sejumlah pertemuan yang telah dilakukan untuk membahas skema kerjasama sinergi dan menguntungkan antara PT Garam dengan petani garam rakyat ternyata hanya dihadiri oleh satu kelompok petani garam saja. "Dalam konteks ini, kita berharap semua kelompok petani garam rakyat harus diundang dan diajak bicara. Sekali lagi, jangan hanya menerima saran dari satu kelompok saja," imbaunya.

Rumusan tim fasilitator untuk menterjemahkan kesimpulan RDP Komisi II DPR RI harus bisa diterima oleh semua kelompok petani garam rakyat. Sehingga, dalam tataran realisasinya nanti tidak mendapat pertentangan dari kelompok petani garam rakyat tertentu. "Kalau semua dilibatkan dan ikut diajak musyawarah, tidak ada alasan untuk melakukan penolakan. Jadi, libatkan semua kelompok petani garam rakyat," tandasnya.

Kerja tim fasilitator dan hasilnya jangan malah menimbulkan persoalan baru. Sehingga, keterlibatan semua kelompok petani garam rakyat dalam proses perumusan realisasi kesimpulan RDP Komisi II DPR RI merupakan sebuah keharusan. "Kalau semuanya duduk bersama dan di-orang-kan, apa pun hasil musyawarahnya harus diterima secara legawa. Sebab, hasilnya kan sudah melalui kesepakatan bersama," pungkas Salam.

Sekadar mengingatkan, pada 27 September lalu, Komisi II DPR RI mempertemukan petani garam dengan PT Garam dalam sebuah RDP. Nah, hasil dari RDP itu menyimpulkan sejumlah poin penting sebagai upaya penyelesaian masalah pegaraman di Madura. Antara lain: Komisi II DPR RI mendorong terwujudnya skema kerjasama yang sinergi dan menguntungkan antara petani garam dengan PT Garam.

Lalu, petani garam dilibatkan atau diberikan hak garap sebagai penggarap lahan pegaraman dengan memproduksi garam. Sedang PT Garam sebagai pemilik lahan memberikan bimbingan teknis terhadap kualitas dan kuantitas produksi garam nasional. Nah, untuk mewujudkan kerjasama itu, Komisi II DPR RI meminta Pemprov Jatim bersama Pemkab Sumenep; Pemekasan; dan Sampang memfasilitasi pelaksanaan musyawarah. (yat)

Sumber: Jawa Pos, 23 Des 2006

Kaum Ibu Diminta Hargai Perbedaan

PAMEKASAN - Kaum ibu, diminta menghargai perbedaan pendapat dan menjauh dari prasangka negatif. Pasalnya, kaum ibu memiliki peran yang amat besar dalam kehidupan, baik di dalam maupun luar rumah tangga. Bila peran besar ibu terasuki pikiran yang kurang proporsional, dampak yang akan muncul diyakini juga besar bagi kehidupan.

Saran tersebut disampaikan Bupati Pamekasan Ach. Syafii saat memberi sambutan pada upacara peringatan Hari Ibu ke-78 di halaman pendopo Ronggosukowati kemarin. Kaum ibu maupun perempuan, menurut Bupati memiliki kesetaraan hak dan peran dalam pembangunan bangsa. Ibu, kata Bupati, memili peran penting dalam membentengi dan membentuk keluarga sehat dan tangguh. "Mudah-mudahan eksistensi ibu dalam pembangunan semakin besar," katanya.

Bupati juga mengajak para ibu agar mengedepankan ukhuwah dan kekeluargaan. Rumah tangga di tengah keluarga, dinilai mantan Ketua DPRD ini sebagai satuan terkecil untuk membangun bangsa ke depan. Tidak stabilnya kehidupan keluarga yang menyeluruh, dinilai bupati dapat menimbulkan keresahan dalam kehidupan yang lebih besar.

Bupati yang bertindak sebagai inspektur upacara yakin, di masa mendatang kaum ibu dipercaya akan lebih berperan dalam pembangunan bangsa. "Mayoritas kaum ibu di Indonesia, telah memberikan kontribusi bagi perjalanan bangsa," pungkasnya.

Hadir dalam upacara memperingati Hari Ibu ke-78 ini antara lain jajaran muspida, Wabup Pamekasan Kadarisman Sastrodiwirjo, jajaran TNI/Polri. Selain itu, turut hadir PKK dan perwakilan pelajar di seluruh Kabupaten Pamekasan. (abe)

Sumber: Jawa Pos, 23 Des 2006

Massa Perfas Ingin Tutup Asta Tinggi

SUMENEP - Massa dari Persatuan Famili Sumenep (Perfas) kemarin, pukul 09.00, mendatangi Komplek Pemakaman Raja Sumenep Asta Tinggi. Massa yang naik puluhan mobil station dan pikap terbuka itu, ingin menutup Asta Tinggi.

Perfas yang merupakan induk organisasi keluarga besar keturunan Penembahan Sumolo (Raja Sumenep, Red) itu tidak lagi menghendaki Asta Tinggi dikelola oleh para penjaga Asta Tinggi. Sehingga, untuk sementara waktu, Asta Tinggi harus ditutup alias dikosongkan.

Tapi, keinginan Perfas ditentang oleh para penjaga Asta Tinggi yang tergabung dalam Yayasan Penjaga Asta Tinggi (Yapasti). Yapasti mengklaim sebagai organisasi yang berhak mengelola Asta Tinggi. Dalihnya, para penjaga Asta Tinggi itu punya legitimasi berupa surat keputusan (SK) bupati Sumenep untuk merawat cagar budaya tersebut.

Sejak sekitar pukul 07.00, massa Yapasti tampaknya sudah tahu atas rencana Perfas. Sehingga, massa Yapasti sudah berdiri di pintu masuk utama Asta Tinggi. Sekitar pukul 09.00, iring-iringan mobil station dan pikap terbuka yang mengangkut massa Perfas tiba di Asta Tinggi dan langsung berusaha masuk. Polisi yang sejak awal sudah siaga di Asta Tinggi, langsung membuat barikade guna memisahkan massa Yapasti dengan Perfas.

Polisi berusaha mempertemukan massa Perfas dengan Yapasti. Setelah melalui negosiasi, disepakati perwakilan dari masing-masing 10 orang untuk duduk bersama mencari solusi dengan difasilitasi oleh polisi.

Selama negosiasi berlangsung, massa Perfas meneriakkan yel-yel yang menyatakan Asta Tinggi adalah aset keluarga besarnya. Sehingga, Perfas dinilai punya hak untuk mengelola Asta Tinggi.

Tak hanya itu. Massa Perfas juga memasang spanduk besar di pintu masuk Asta Tinggi yang intinya siap untuk mengelola sendiri Asta Tinggi. Sebab, Asta Tinggi adalah aset keturunan keluarga besar Perfas. "Asta Tinggi itu bukan aset milik umum yang bisa dimiliki oleh setiap orang maupun lembaga tertentu. Mulai hari ini (kemarin, Red), Perfas yang akan mengelola sendiri Asta Tinggi," ujar jubir Perfas, RB Moh. Ridwan.

Dia mengungkapkan, pihaknya telah melayangkan surat kepada bupati Sumenep dan telah melakukan dialog dengan para penjaga Asta Tinggi, yang intinya pemberitahuan untuk mengelola sendiri Asta Tinggi. "Kalau para penjaga Asta Tinggi itu mengklaim berhak mengelola Asta Tinggi, terserah. Tapi, kita yang merupakan keturunan Raja Sumenep juga sangat berhak mengelola Asta Tinggi," tandasnya.

Asta Tinggi, lanjut Ridwan, adalah komplek pemakanan keturunan Raja Sumenep yang merupakan keluarga besarnya. Artinya, Perfas punya hak untuk menangani langsung Asta Tinggi, tanpa campur tangan pihak maupun lembaga lain. "Klaim Yapasti yang mengantongi SK untuk mengelola Asta Tinggi, tidak akan pernah kita anggap. Jangankan dari bupati, dari presiden pun kita tidak akan pernah menanggapinya," tukasnya.

Nah, untuk menghindari hal-hal tak diinginkan, Perfas akan mengosongkan Asta Tinggi untuk sementara waktu. Kemudian, setelah ada keputusan resmi, Perfas akan mengelola sendiri Asta Tinggi. "SK yang diklaim Yapasti, mulai dari bupati atau pun dari presiden tidak bisa menghapus hak Perfas. Asta Tinggi ini adalah komplek pemakaman leluhur keluarga besar Perfas. Kita tidak bisa dipisahkan dengan Asta Tinggi," tandasnya.

Sedang Humas Yapasti RB Ruska Panji Aliyunda menegaskan, pihaknya akan tetap mengelola Asta Tinggi. Alasannya, para penjaga Asta Tinggi yang tergabung dalam Yapasti punya SK yang menugaskan untuk merawat Asta Tinggi. "Kita tidak punya hubungan dengan Perfas. Kita ini bekerja berdasarkan SK. Jadi, kita tidak akan pernah menanggapi keinginan Perfas (untuk mengosongkan dan mengelola Asta Tinggi, Red)," ujarnya lugas.

SK yang menugaskan para penjaga Asta Tinggi untuk merawat, memelihara, dan menjaga keamanan Asta Tinngi, lanjut Ruska, tidak dibuat oleh Perfas. Jadi, Yapasti tidak punya tanggung jawab pengelolaan Asta Tinggi pada Perfas. "Kalau mau menggugat keberadaan para penjaga Asta Tinggi, sebaiknya gunakan jalur hukum. Kita akan tetap bekerja setiap hari dan tak akan mempedulikan keinginan Perfas," tandasnya.

Dalam forum bersama yang dihadiri oleh 10 perwakilannya, Perfas dan Yapasti tetap saling ngotot mempertahankan pendapatnya masing-masing. Sehingga, Wakapolres Sumenep Kompol Jusuf Sudarmodjo dan Kepala Dinas Pariwisata Ir Edy Mustika yang dipercaya sebagai fasilitator forum bersama, kembali mengingatkan agar Perfas dan Yapasti kembali pada komitmen semula untuk mencari solusi.

Jusuf lalu menawarkan agar forum bersama tersebut ditindaklanjuti dengan pertemuan di tingat muspida paling lambat 7 hari lagi. Dalam forum bersama yang diagendakan dihadiri oleh muspida itu, Perfas dan Yapasti diminta untuk mengeluarkan semua pendapat, keinginan, maupun uneg-unegnya tentang pengelolaan Asta Tinggi. "Maksimal 7 hari lagi. Tapi, lebih cepat memang lebih baik," kata Jusuf.

Selama berlangsungnya forum bersama yang digelar di salah satu pendapa di areal dalam Asta Tinggi, Perfas lebih banyak mendominasi pembicaraan. Sedang Yapasti tidak banyak bicara dan hanya menegaskan tetap berhak mengelola Asta Tinggi. "Kita sudah sepakat bertemu lagi dalam forum di tingkat muspida untuk mencari solusi. Jadi, jangan ada sikap semau gue. Jangan ada penutupan Asta Tinggi," tandas Jusuf.

Forum bersama berakhir sekitar pukul 12.00. Perwakilan Perfas menerima kesepakatan, termasuk tidak melakukan penutupan Asta Tinggi. Alasannya, Asta Tinggi adalah salah satu cagar budaya yang banyak dikunjungi oleh wisatawan. "Apa kita tidak malu kalau ada wisatawan yang tahu ternyata ada penutupan Asta Tinggi? Jadi, tolong, Perfas dan Yapasti sama-sama menjaga situasi agar tetap kondusif," tandas Jusuf.

Menariknya, kesepakatan dalam forum bersama tersebut sempat ditolak oleh massa Perfas yang menunggu di luar Asta Tinggi. Massa Perfas tetap ngotot untuk menutup Asta Tinggi. Bahkan, perwakilan Perfas sempat tidak bisa menenangkan massanya sendiri. Ketegangan sempat terjadi sesama massa Perfas maupun dengan polisi di bawah guyuran hujan deras. Namun, sekitar pukul 12.50, massa Perfas akhirnya membubarkan diri.

Polisi tampaknya all out mengamankan unjuk kekuatan yang dilakukan oleh keluarga besar Perfas. Sejumlah perwira Polres Sumenep turun sendiri untuk memimpin anak buahnya mengamankan aksi Perfas. Antara lain, Kabag Ops Kompol Drs Ary Wahjudhi, Kasat Samapta AKP Moh. Heri, Kasat Intelkam AKP Abd. Chalik, Kasat Reskrim AKP Mualimin SH, Kapolsek Kota AKP Wachid Arifaini SH; Kapolsek Saronggi Iptu H Mudjib, dan lainnya. (yat)

Sumber: Jawa Pos, 22 Des 2006

RSUD Pamekasan Terapkan SIMARS

Pamekasan-Surabaya Post

RSUD Pamekasan segera menjadi satu-satunya rumah sakit yang akan menerapkan Sistem Informasi Manajemen Administrasi Rumah Sakit (SIMARS) terlengkap di Jatim. Ini menyusul setelah RS ini dalam waktu dekat segera pindah dari gedung lama di Jl. Kesehatan menuju gedung baru, di Jl. Trunojoyo.

Sejak Selasa (19/12) hingga Sabtu (23/12) sekitar 50 orang tenaga administrasi maupun tenaga perawat mengikuti pelatihan komputer guna menjadi tenaga operasional yang handal, menjelang pemberlakuan SIMARS. Mereka dibimbing secara intensif oleh sejumlah tenaga ahli pengajar komputer profesional dari Citra Media Informatika (CMI) Malang.

"Rumah sakit kita nanti akan menjadi rumah sakit rujukan se Madura. Pasien dari daerah yang tidak bisa dirawat di RS daerah di setiap kabupaten, tidak perlu ke Surabaya, namun sudah cukup dirujuk ke rumah sakit kita karena fasilitas dan tenaga medisnya sudah lengkap. Berbarengan dengan itu rumah sakit kita dilengkapai dengan SIMARS ini," kata Direktur RSUD Pamekasan, dr Sarjono Oetomo, Rabu (20/12).

Dikatakan pelatihan komputer bagi para karyawan administrasi mupun para tenaga perawat ini akan dilakukan dalam berbagai tahap, mulai tingkat dasar, intermedit hingga tingkat advance. Ini sesuai tuntutan kebutuhan pelayanan semakin lama semakin menuntut efisiensi dan efektifitas.

"Kali ini masih baru 50 orang untuk pengenalan dasar dulu. Khusus para tenaga medis atau dokter sudah tidak lagi perlu dilatih, mereka sudah profesional semua," katanya.

Semua pelayanan manajemen administrasi dan perawatan di rumah sakit Pamekasan, katanya, nanti akan serba komputerisasi dan dilaksanakan secara on line dari tiap kamar dan semua unit pelayanan. Sehingga memudahkan komunikasi, kontrol, dan pelayanan untuk memaksimalkan pelayanan bagi pasien.

"Di daerah lain di Jatim ada juga yang sudah menggunakan SIMARS, namun hanya sebagian unit saja. Kita di Pamekasan semua unit akan komputerisasi," tandasnya.

Tekad manajemen RSUD Pamekasan untuk melengkapi pelayanan sistem komputerisasi penuh melalui SIMARS ini, tidak berlebihan. Sebab RS ini telah menjadi rumah sakit terbesar dan terlengkap di Madura. RSUD itu dibangun atas bantuan hibah dari pemerintah Jepang dan Korea, dibangun sejak pemerintahan mantan bupati Pamekasan Drs Dwiatmo Hadiyanto dengan nilai bantuan Rp 115 miliar. (mas)

Sumber: Surabaya Post, 21/12/2006

Perbaikan Dermaga Ujung-Kamal Disoal

Bangkalan – Surabaya Post

Perbaikan dermaga Kamal dan Ujung Surabaya dipermasalahkan masyarakat pengguna jasa. Masalahnya waktu perbaikan tidak tepat, karena dalam seminggu ke depan bertepatan liburan Natal, Idul Adha, dan Tahun baru. Bisa dipastikan akan mengganggu arus penyeberangan lintasan Selat Madura. "Kenapa perbaikan dermaga di Kamal dan Ujung, waktunya mendekati tiga hari besar nasional dalam seminggu ke depan, Natal, Idul Adha, dan Tahun Baru. Ini sudah bisa dipastikan akan terjadi kemacetan kendaraan bermotor di dermaga Kamal dan Ujung," kata Jimhur Saros, Ketua LSM Lempar, Jumat (22/12) pagi, di dermaga Kamal.

Dari pantauan di lapangan, ada empat dermaga yang diperbaiki sekaligus, 2 dermaga di Kamal dan 2 dermaga di Ujung Surabaya. ”Jangankan empat dermaga diperbaiki sekaligus, satu dermaga tidak beroperasi, terjadi antrean kendaraan bermotor cukup panjang. Apalagi 4 dermaga sekaligus diperbaiki. Ini jelas merugikan pengguna jasa dan perekonomian masyarakat Madura. Saya menduga perbaikan dermaga secara bersamaan ini dipaksakan, untuk menghabiskan anggaran 2006,” ujarnya.

LSM Lempar, katanya, mengancam akan mengajukan class action terhadap Dephub, Dishub Jatim, ASDP, dan Gapasdaf, jika perbaikan belum tuntas pada libur Natal. "Saya akan minta polisi, kejaksaan, dan KPK untuk menyelidiki proyek ini. Karena informasi yang saya terima proyek ini menelan dana Rp 9 miliar," tegasnya.

Astari, pengawas perbaikan Dermaga I Kamal tidak mau berkomentar terlalu jauh soal proyek perbaikan Dermaga Kamal. Namun dia membantah proyek perbaikan 4 dermaga Kamal dan Ujung mencapai dana Rp 9 miliar.

"Tidak sampai Rp 9 miliar, tetapi pastinya saya tidak tahu, bukan kapasitas saya memberitahu ke pers. Saya hanya pengawas proyek di sini. Yang jelas ada perbaikan 4 dermaga. Yakni 2 dermaga di Kamal dan 2 dermaga di Ujung Surabaya," ujarnya. (kas)

Sumber: Surabaya Post, 22/12/2006

Perajin Cincin Kesulitan Modal

Mengerjakan Akik hingga Berlian


Bangkalan, Kompas - Para perajin cincin perak di Desa Tambin, Kecamatan Tragah, Kabupaten Bangkalan, mengeluhkan upah minim yang diberikan para juragan mereka. Hal ini membuat mereka sulit mengumpulkan modal untuk mengembangkan usaha.

Setiap perajin hanya diberi upah Rp 15.000 per cincin. "Dengan upah segitu, saya hanya bisa membuat cincin setengah jadi saja, tidak bisa sempurna," ujar Musthofa (23), seorang perajin cincin, Sabtu (18/11).

Cincin setengah jadi yang dia maksud adalah bentuk dasar sebuah cincin yang belum dihiasi berbagai perhiasan tambahan. Dalam satu hari, Musthofa mengerjakan dua cincin perak. Artinya, satu hari dia mendapat penghasilan Rp 30.000.

Cincin setengah jadi ini kemudian dibeli oleh juragan seharga Rp 15.000. Oleh juragan, cincin tersebut diperhalus dan dipercantik lagi dengan tambahan perhiasan. Nilai jual satu buah cincin perak sempurna mencapai lebih dari Rp 100.000. Sedangkan cincin kuningan Rp 40.000.

Sebanarnya, Mustofa mampu membuat sebuah cincin dengan perhiasan tambahan seperti batu akik hingga berlian. Namun, itu memerlukan peralatan tambahan seperti bor gantung dan alat penggiling. Alat-alat jutaan rupiah ini jelas tak sanggup dibelinya karena minimnya modal dan penghasilan.

Sebagian besar warga di Desa Tambin adalah perajin cincin. Keahlian ini merupakan warisan turun-temurun dari tiga generasi sebelumnya. Mereka bekerja berdasarkan pesanan dari juragan masing- masing yang dijual kembali di Surabaya. Juragan-juragan ini memberikan bahan dasar berupa perak dan kuningan satu ons kepada para perajinnya untuk dijadikan cincin setengah jadi. Satu ons bahan dasar itu bisa habis selama 5 hari.

Satu cincin perak memakan waktu setengah hari karena perajin harus membuat beberapa ukiran sederhana. Sedangkan satu cincin kuningan hanya memakan waktu tiga jam.

Samsul (27), perajin cincin kuningan, mengaku bekerja mulai pukul 07.00-16.00 setiap hari apabila ada pesanan. Samsul mendapat upah Rp 15.000 per cincin. Karena membuat cincin kuningan, Samsul mampu menghasilkan 3 cincin-5 cincin dalam satu hari. (AB8)

Sumber: Kompas, 20/11/06

Suramadu Harus Serap Warga Lokal

Madura Industrial Seaport City Akan Dibentuk


Bangkalan, Kompas - Pembangunan Jembatan Suramadu dan pengembangannya harus bisa membuka lapangan kerja bagi warga Madura. Dengan demikian, kesejahteraan warga pulau ini bisa meningkat.

Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron pada Sabtu (18/11) menyatakan, proyek pengembangan wilayah khusus di kaki jembatan dan pembangunan pelabuhan peti kemas di wilayahnya diharapkan bisa menampung hingga 120.000 tenaga kerja.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangkalan mencatat bahwa pendapatan per kapita Madura hanya Rp 3,5 juta per tahun. Artinya, rata-rata pendapatan penduduk pulau ini tidak sampai Rp 10.000 per hari.

Pada Sabtu siang para bupati dari empat kabupaten di Madura menggelar diskusi tentang wacana percepatan pembangunan Jembatan Suramadu oleh sebuah badan otorita. Diskusi ini juga dihadiri Asisten II Pemerintah Provinsi Jatim Bidang Pembangunan Soetjahjono Soejitno, jajaran muspida, dan tokoh serta para ulama se-Madura. Dalam pertemuan itu Soetjahjono menegaskan, pembangunan Jembatan Suramadu tidak akan dilaksanakan sebuah badan otorita, melainkan melalui Badan Percepatan Pembangunan dan Pengembangan Wilayah Suramadu (BP3WS).

Badan ini diyakini tidak akan melangkahi kewenangan pemerintah daerah yang selama ini dikhawatirkan karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. BP3WS juga tidak akan mencampuri strategi tata ruang kota, namun hanya menjadi sebuah badan pemercepat dan koordinasi. Soetjahjono mencontohkan, dalam pembuatan jalan tol di Madura, BP3WS bisa mencari investor yang tepat dan mengurus perizinannya di Jakarta.

Bupati Pamekasan Achmad Syafii mengatakan hal senada dengan Fuad. "Hasil proyek Suramadu harus bisa dirasakan seluruh warga Madura. Jangan sampai warga Madura hanya menjadi penonton," ujarnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Bangkalan yang juga anggota DPR, Nuruddin Rahman, mengakui, Madura bisa mengambil keuntungan besar dari pembangunan Jembatan Suramadu dan pengembangan di wilayah sekitar. Namun, pembangunan itu hendaknya tidak melupakan karakter kehidupan sosial dan budaya di Madura yang agamis.

Konsep BP3WS, menurut Soetjahjono, belum final karena menunggu usulan dari para bupati di Madura, Pemerintah Kota Surabaya, dan para ulama Madura.

Kota pelabuhan

Untuk lebih menunjang pembangunan di Madura, Pemkab Bangkalan berencana membuat sebuah proyek raksasa Madura Industrial Seaport City (MISI) di Kecamatan Socah. Kota pelabuhan ini juga didesain sebagai pelabuhan peti kemas berskala internasional yang bisa menunjang Tanjung Perak dan Pelabuhan Gresik. Menurut Fuad, proyek ini akan berlangsung seiring dengan pembentukan BP3WS.

Fuad menambahkan, nilai investasi awal proyek ini mencapai Rp 3 triliun. "Pemkab sudah menyetujui PT MISI sebagai pengembang meski belum tanda tangan kontrak," ujarnya.

Perusahaan yang bernama sama dengan konsep yang akan dikembangkan ini merupakan anggota PT Lamicitra Nusantara, pengembang yang mendirikan Jembatan Merah Plaza dan kawasan industri berikat di Semarang. (AB8)

Sumber: Kompas, 20/11/06

Yakin Dua Tahun Lagi Madura Menjadi Provinsi

Surabaya - Gagasan untuk mendirikan Provinsi Madura terus dikumandangkan. Bahkan Tim Sembilan Persiapan Pendirian Provinsi Madura memperkirakan dua tahun lagi sudah bisa dideklarasikan Provinsi Madura.

Tim Sebilan yang dibentuk tiga bulan lalu itu terdiri dari sembilan tokoh berdarah Madura. Antara lain Ali Badri (Ketua Ikatan Masyarakat Madura), Prof Suroso Imam Djazuli (Guru Besar Unair), KH Nuruddin A Rahman (Wakil Ketua PWNU Jatim dan anggota DPD RI), KH Cholilurahman (anggota DPRD Jatim), dan Prof Rahimmullah (Guru Besar ITS. (Selengkapnya lihat tabel, Red).

"Sebenarnya, gagasan pembentukan Provinsi Madura itu gagasan lama, sejak 1999. Namun belakangan terkesan tenggalam. Tetapi kali ini kami serius mendorong kembali agar Madura menjadi provinsi," kata Ali Badri, di Surabaya, Selasa (12/12).

Gagasan pembentukan Provinsi Madura itu awalnya muncul dalam Musyawarah Besar (Mubes) Masyarakat Madura se-Indonesia di JW Marriott Hotel Surabaya. Saat itu sejumlah pejabat pusat asal Madura hadir. Mubes kedua digelar di Shangri-la Hotel Surabaya, gagasan pembentukan Provinsi Madura muncul lagi. Bahkan Mubes sempat merekomendasikan pembentukan Yayasan Peduli Madura yang dipimpin anggota DPR RI, Didik J Rachbini. Yayasan ini menghimpun dana partisipasi dalam bentuk iuran warga Madura yang tersebar di Indonesia untuk pembangunan Madura.

"Kami juga telah bertemu Menteri Otonomi Daerah saat itu Ryaas Rasyid, meminta draf persyaratan pembentukan Provinsi Banten sebagai contoh provinsi Madura. Terakhir kami bertemu Mendagri M Ma'ruf untuk melanjutkan upaya ini," tambahnya.
Namun diakui hingga sekarang masih buntu. Perangkat yang tengah disiapkan adalah memekarkan salah satu kebupaten di Madura menjadi dua, misalnya Sumenep menjadi Kota dan kabupaten kepulauan. Sebab syarat administratif menjadi provinsi adalah memiliki lima kabupaten atau kota. Sementara Madura baru memiliki empat kabupaten.

Mengapa harus provinsi? Bukankah pemerintah bakal menjadikannya seperti Batam dengan mencanangkan Badan Otorita Madura (BOM)? "Status administratif wilayah Madura dengan provinsi adalah jawaban atas masa depan Madura. Sementara ide BOM hanya akan menguntungkan pusat," jawab Ali Badri.

Menurut Cholilurahman, dibanding provinsi baru lainnya, Madura lebih siap. Misalnya, kalau Gorontalo bisa menjadi provinsi dengan 600.000 penduduk, Madura berpenduduk empat juta. Jumlah ini bertambah menjadi 17,5 juta jika warga Madura perantauan juga dihitung. Tokoh nasional asal Madura di pusat juga diyakini hanya bisa disaingi oleh tokoh nasional berdarah Jawa.

Kalau menjadi provinsi, dia yakin kilang minyak lepas pantai yang tak dinikmati warga kepulauan akan menetes untuk rakyat Madura. Potensi perikanan-perkebunan juga akan lebih berkembang.

Ketua DPRD Jatim, Fathorrasjid mendukung ide ini. "Kalau tujuannya untuk kesejahteraan warga Madura, bagus," kata politisi berdarah Madura ini. Sebab potensi warga Madura yang besar tak bisa tertampung di pulau Madura, karena pengembangan Madura selama ini cenderung jalan di tempat.

Tim Sembilan Persiapan Provinsi Madura:


  • Ali Badri (Ketua Ikatan Masyarakat Madura)
  • Prof Suroso Imam Djazuli (Guru Besar Unair)
  • Mujahid Anshori (anggota FPPP DPRD Jatim)
  • KH Nuruddin A Rahman (Wakil Ketua PWNU Jatim dan anggota DPD RI)
  • Achmad Zaini (Ketua Forum Intelektual)
  • KH Cholilurahman (anggota DPRD Jatim)
  • KH Tijani Jauhari (Pengasuh Ponpes Al-Amin Sumenep)
  • Prof Iksan Samaun (Rektor Universitas Negeri Trunojoyo Bangkalan)
  • Prof Rahimmullah (Guru Besar ITS)

Sumber: Surya, 13/12/06

Kridha Rakyat, Koran Lokal Gratis

Di luar negeri, koran dan tabloid gratis sudah banyak jumlahnya. Di London, Inggris, misalnya, malah punya sampai 3 koran gratis, London Lite, The London Paper, dan Metro. Kini, koran gratis hadir pula di Jatim. Bukan di Surabaya, tapi di Madiun. Namanya ‘Kridha Rakyat’. Setelah terbit berkala sejak 4 tahun lalu, mulai bulan depan koran gratis ini siap terbit harian. Bagaimana kiatnya?

Pagi itu, Minggu (3/12), belasan anak muda laki-laki dan perempuan nongkrong di teras rumah di ujung sebuah gang kecil. Wajah mereka tampak sedikit santai. Padahal beberapa waktu sebelumnya, rumah di tengah pemukiman padat penghuni Dusun Sunjangan, Desa Kebonagung, Kecamatan Balerejo, Kabupaten Madiun itu tampak “tegang.” Ya, anak-anak muda itu baru saja lepas dari deadline.

Ha, deadline?

Jangan kaget. Anak-anak muda itu memang awak redaksi ‘Kridha Rakyat’, koran lokal gratis pertama di Jatim.

Koran ini bermula sejak 23 Oktober 2002 lalu. Saat itu, koran yang diterbitkan Atmaja Santo SPd lebih merupakan koran tempel. Selembar kertas dobel folio, dibuat menjadi 4 halaman dan dijejali berbagai informasi. Kertas itu kemudian difotokopi menjadi 100 lembar menghabiskan dana Rp 50 ribu.

“Waktu itu kebetulan ada kegiatan BST (bakti sosial terpadu). Koran itu saya bagikan kepada para pejabat dan masyarakat yang hadir,” kata Atmaja.

Rupanya, nasib sedang mujur. Ada seorang pejabat di Dinas Pendidikan yang mengganti seluruh biaya fotokopi itu. Sehingga dalam hitungannya, ia bermodalkan nol rupiah dalam penerbitan perdana itu. Ayah seorang anak itu kemudian menjadi begitu bersemangat melanjutkan perjuangannya. Selama seminggu, dia keliling mencari informasi, kemudian diketik, di-lay out dan dicetak sendiri dengan printer miliknya.

Tak saja mencari berita, dia juga mulai mencari iklan untuk membiaya penerbitannya. Selama hampir setahun, ia bekerja sendiri seperti itu. Bahkan ketika koran tempelnya sudah berubah menjadi tabloid, ia harus pergi sendiri ke percetakan (waktu itu di Kediri, kini di Nganjuk). Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia keliling ke kantor-kantor untuk mengedarkan tabloidnya.

Harian

Untuk ukuran koran yang terbit di daerah, ‘Kridha Rakyat’ tergolong berkembang pesat. Untuk menjadi tabloid 24 halaman berwarna dengan tiras 2.500 eksemplar hanya butuh waktu 4 tahun. Yang mengejutkan lagi, tabloid mingguan itu awal Januari 2007 akan terbit menjadi koran harian pertama di Madiun.

“Menurut rencana, kami akan cetak 5 ribu eksemplar, juga akan dibagi gratis,” cetus Atmaja. Koran itu rencananya akan diedarkan di wilayah edar yang selama ini telah dibangun, yakni di wilayah eks Karesidenan Madiun (Kota/Kab. Madiun, Ponorogo, Pacitan, Magetan dan Ngawi). Dia yakin, dengan 55 wartawan, ‘Kridha Rakyat’ yang sejak sekitar 3 bulan lalu telah menjadi format koran 8 halaman 7 kolom akan mampu terbit setiap hari.

Untuk hidup, koran bermoto”koran masyarakat desa dan kota pinggiran” ini mengandalkan dari iklan. Iklan display saja rata-rata menyita lebih 50% dari keseluruhan halaman. Padahal, sebagian besar berita termuat juga “berita yang menghasilkan duit” (jenis iklan pariwara, Red.).

“Nara sumber juga harus dimanjakan. Maka, mereka mau saja membayar jasa publikasi,” kata Atmaja, membagi kiat. Koran ini mengharuskan seluruh wartawannya mencari iklan dan berita pariwara untuk membiayai ongkos cetak dan menghidupi seluruh karyawannya. Mengharap idealisme utuh dari terbitan ini jelas tidak mungkin. Namun paling tidak, mereka cukup jujur dalam menjalankan aktivitasnya. Masing-masing jenis berita pariwara langsung disodorkan berikut “harganya” pada pihak-pihak yang diprospek. Bila mereka setuju, maka muncullah beritanya. Mayoritas memang masih seputar kunjungan pejabat, acara gunting pita dan sejenisnya.

Namun dengan cara ini, mereka bisa menghidupi korannya hingga bisa terbit gratis. Juga, bisa menjadi sandaran bagi wartawannya untuk hidup layak. Lihat saja, tak ada motor butut diparkir di depan kantor redaksinya. Semuanya masih gres.

Hingga saat ini, Atmaja memang tak peduli apakah koran itu nantinya bisa berubah menjadi lebih idealis atau tidak. “Saya dulu menerbitkan ‘Kridha Rakyat’ agar bisa menghidupi keluarga, dan nyatanya keinginan itu bisa tercapai. Kami bisa hidup dari koran ini,” ungkapnya. Bukan hanya itu, dia yang empat tahun lalu naik sepeda motor butut, kini telah bermobil.

Rumah Atmaja yang sekaligus menjadi kantor redaksi, kini dijejali 12 unit komputer. Rumah itu nyaris tak pernah sepi dari kegiatan. Bukan hanya kru ‘Kridha Rakyat’, tapi juga mereka yang ingin beriklan atau mengekspos aktivitasnya dengan datang sendiri ke redaksi. (Siswowidodo)

Sumber: Surabaya Post

Tunggakan Capai Rp 4,2 M

PAMEKASAN-Tunggakan pembayaran pelanggan PLN se Madura jumlahnya cukup tinggi. Hingga bulan November lalu, PT PLN APJ (Area Pelayanan dan Jaringan) Pamekasan yang melayani pelanggan se Madura mencatat, tunggakan pelanggan sampai Rp 4,2 miliar.

Asisten Manajer SDM PT PLN APJ Madura M. Firdaus kepada sejumlah wartawan menerangkan, tunggakan pembayaran pelanggan tertinggi berada di Kabupaten Bangkalan. Yakni, mencapai Rp 1,5 miliar. Kemudian, secara berurutan Kabupaten Pamekasan Rp 692 juta, Kabupaten Sampang Rp 587 juta, dan Kabupaten Sumenep Rp 482 juta.

"Namun, kita menyadari kondisi warga di Madura berbeda dengan warga di daerah lain. Kita menyadari di Madura siklus uang terjadi setiap tahun. Makanya, kadangkala kita tidak langsung memberikan tindakan," ujarnya didampingi Asisten Manajer Niaga Joko Yulio di kantor PT PLN APJ Pamekasan Jalan Jokotole, kemarin siang.

Perlakuan tersebut, teranngnya, bukan tanpa alasan. Sebab, dilakukan penagihan seperti apapun juga, pelanggan banyak yang kesulitan membayar. "Kalau di tempat lain, 3 bulan langsung cabut Kwh. Di Madura justru kita harus banyak menyesuaikan. Toh, jika saatnya memiliki uang pasti dibayar. Seperti pada musim tembakau, semua tunggakan biasanya langsung lunas," jelasnya.

:"Namun demikian, kita tetap mengimbau agar warga bisa tepat waktu. Selain itu, kita imbau warga untuk tidak mencuri listrik karena jelas-jelas hukumnya sudah diharamkan," imbuhnya menimpali.

Kini, di seluruh wilayah Madura tercatat ada sekitar 393.698 pelanggan. Daya listrik yang dikeluarkan mencapai 227.249.482 PA. Sedangkan tunggakan listrik mencapai 61.602 lembar dengan total tunggakan diperkirakan mencapai Rp 4,2 miliar.

Firdaus juga mengungkapkan, berdasarkan fakta di lapangan, masih ada saja beban penyusutan listrik yang terjadi setiap tahunnya. Jika tahun 2005 mencapai 27,86 persen, tahun 2006 telah tercatat sekitar 27, 75 persen. "Artinya, untuk tahun 2006 mengalami penurunan sedikit. Mungkin kesadaran warga untuk menggunakan listrik secara benar telah meningkat," katanya.

Ditanya mengenai pendapatan PLN untuk wilayah Madura, Firdaus mengakui, jumlahnya cukup signifikan. Bahkan, mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2005 pendapatan PLN diperkirakan mencapai Rp 192.723.437.541. Sedangkan tahun 2006 diperkirakan telah mencapai Rp 207.130.150.375. (zid)

Sumber: Jawa Pos, 09 Des 2006

Tolak Pembubaran Muspikab

PAMEKASAN-Usulan sejumlah anggota DPR RI agar Muspida (sekarang Muspikab) dibubarkan lantaran kerap menjadi ajang kolusi pejabat, mendapat tanggapan serius Bupati Pamekasan Drs Ach. Syafii. Orang nomor satu di pemkab itu menyatakan penolakannya terhadap usulan pembubaran muspikab lantaran tidak seperti yang dituduhkan.

Seperti diberitakan sejumlah media massa, belakangan ini muncul wacana berupa usulan agar muspikab dibubarkan. Alasannya, muspikab hanya menjadi ajang kolusi dan saling melindungi diantara pejabat. Itu didasarkan sejumlah pengalaman yang kerap ditemukan di beberapa daerah.

Menanggapi usulan tersebut kepada wartawan Bupati Syafii menegaskan, pihaknya tidak sepakat apabila pengertian muspikab sebagai forum koordinasi dibubarkan. "Saya kira banyak manfaatnya untuk kepentingan koordinasi membahas sejumlah persoalan di daerah, untuk apa dibubarkan," katanya kepada wartawan beberapa hari lalu.

Mengenai anggapan muspikab akan menjadi ajang kolusi bagi para pejabat didalamnya, mantan Ketua DPRD Pamekasan periode 1999-2003 ini juga menepisnya. Menurut dia, anggapan tersebut sangat berlebihan. Selain itu, anggapan tersebut tidak bisa digeneralisasi lantaran bersifat kasuistik.

"Sangat kasuistik. Kita di Pamekasan tidak ada masalah seperti itu. Makanya, tidak bisa digeneralisasi," tandasnya. Untuk itulah, Syafii menilai forum muspikab masih diperlukan keberadaannya untuk kepentingan koordinasi.

Apakah mesti diformalkan? Menurut Syafii, forum muspikab tidak mesti menjadi sesuatu yang terstruktur dan formal. Itu, lanjutnya, sesuai dengan semangat UU No 32 Tahun 2001 tentang Otonomi Daerah.

"Jadi, menurut hemat saya, usulan pembubaran muspikab tidak cukup alasan. Sebab, pada prinsipnya keberadannya forum muspikab sangat diperlukan," pungkasnya. (zid)

Sumber: Jawa Pos, 08 Des 2006

Trauma, Mahasiswa Tetap Tolak Nuklir

PAMEKASAN-Sekitar 100 aktivis FAM (Front Aksi Mahasiswa) Unira, menolak realisasi rencana PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di Madura. Bila dipaksakan, mahasiwa kawatir Madura akan seperti Chernobyl pada tahun 1986 yang mengakibatkan penduduknya sengsara akibat semburan reaktor nuklir.

Pantauan koran ini, iring-iringan aktivis ini hanya berputar-putar di sekitar kampus Unira di JL Raya Panglegur. Mereka, di bawah komando korlap aksi Ra Imam Kayumanis, mengutuk kapitalisme yang hanya mengedepankan uang daripada hajat hidup orang banyak.

Madura, kata Ra Imam, diproyeksikan sebagai daerah yang seolah-olah pas bila digerakkan dengan generator nuklir. Padahal, nuklir pada kasus Chernobyl, tak lebih sebagai perbudakan. "Hanya satu kata, tolak nuklir," teriak Ra Imam sambil mengepalkan tangan ke udara.

Aksi damai FAM ini, menyita perhatian civitas kampus Unira. Ini, bukan saja karena poster yang diacungkan aktivis dengan tegas menolak realisasi PLTN di Madura. Tetapi, aktivis juga menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan khusuk dan khidmat. Bahkan, korlap aksi juga melagukan Darah Juang yang seringkali dinyakikan aktivis gerakan mahasiswa dan parlemen jalanan di acara unjuk rasa.

Selain itu, aktivis menundukkan kepala kepada arwah pahlawan dan mendiang almarhum ratusan ribu warga yang diduga telah menjadi korban rektor nuklir yang bocor di Chernobyl 20 tahun lalu.

Seperti umumnya unjuk rasa, setiap mahasiswa bergantian berorasi. Kemarin, mahasiswa di lingkaran Unira satu persatu menyampaikan aspirasinya yang merasa keberatan dengan tengara dibangunnya PLTN di Madura. Sambil mengacungkan poster, mahasiswa berkeringat memekikkan kata-kata perlawanan terhadap nuklir yang diakuinya telah melahirkan trauma berkepenjangan. "Kami, warga Madura tak ingin mati karena nuklir," pekik salah seorang aktivis.

Begitu tiba di gedung rektorat Unira, aktivis FAM menghentikan lajunya. Di depan kantor rektorat, mahasiswa kembali mengacungkan beberapa poster. Diantaranya, Tolak nuklir, Bebaskan Madura dari bahaya, Kami rindu ketengan, Jangan eksploitasi Madura, dan beberapa sanduk mengecam kengerian nuklir. Aktivis ini, sengaja mengambil momentum penolakan terhadap nuklir bersamaan waktunya dengan kehadiran pejabat BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) Maurits Tobing yang menjadi salah satu nara sumber di seminar nasional bertajuk Memandang masa depan dan industrialisasi Madura di kampus Unira kemarin.

Di ujung aksi penolakan terhadap nuklir, aktivis meminta BATAN menghentikan sosialisasi nuklir di Madura. Alasannya, nuklir dengan alasan apapun, tidak saja menteror secara fisik. Tetapi, secara psikis, masyarakat terganggu mendengar kata nuklir. Apalagi, melihat nuklir ada di sekitar warga.

Pasalnya, aktivis mahasiswa menilai lagu perih Chernobyl yang diduga menewaskan ratusan ribu warga, hingga kini belum berakhir eksesnya. Sebelum bubar, mereka kembali berdoa dilanjutkan membakar poster penolakan pada nuklir yang mereka bawa. (abe)

Sumber: Jawa Pos, 07 Des 2006

Proyek Banyak Jelek

PAMEKASAN-Sejumlah proyek kontraktual 2006 ditengara pelaksanaannya masih banyak di bawah standar teknis. Akibatnya, banyak proyek yang ada kualitasnya jelek.

Diduga, selain faktor dominannya orientasi mencari keuntungan (profit oriented), juga terkait dengan keterbatasan masa kerja para rekanan. Sejumlah rekanan melaksanakan paket proyek dengan kejar tayang alias kejar waktu. Maklum, waktu yang disediakan sebagaimana kontrak sangat mepet.

Sekretaris Komisi C DPRD Pamekasan Ali Wafi kepada wartawan mengungkapkan, dari hasil pantauan di lapangan dalam beberapa pekan terakhir, menunjukkan pelaksanaan proyek yang terkesan kejar tayang. Itu terjadi karena sebagian besar kontrak berakhir pada pertengahan bulan Desember ini. "Akhir kontrak ada yang tanggal 15, tanggal 20, ada juga yang tanggal 30 Desember," ujarnya di ruang komisi C, Sabtu (2/11).

Kejar tayang pelaksanaan proyek, menurut dia, mengakibatkan banyak yang di bawah standar. Pekerjaan yang dilakukan terkesan hanya mencari keuntungan dan sekadar memenuhi target pelaksanaan sesuai waktu dalam kontrak. "Padahal, dengan alasan apa pun, yang namanya pekerjaan tidak boleh dinomorduakan. Harus dikerjakan sesuai yang telah disepakati," tandasnya.

Untuk itu, sambung Wafi, komisinya siap mengkomunikasikan dengan pihak terkait. Tujuannya, agar pelaksana proyek bisa merekondisi keadaan. "Kita masih upayakan cara yang komunikatif. Tetapi, kalau masih tidak bergeming, kita siap mengangkat linggis," tegasnya, lalu tersenyum.

Ditanya salah satu proyek yang kualitasnya di bawah standar tersebut, Ali Wafi menolak menjelaskan detail. "Secara umum saja, ada proyek dinas pengairan di Kecamatan Pegantenan yang jauh dari bagus. Kualitasnya jelek sekali. Kalau tidak diperbaiki, kita minta agar dibongkar," katanya.

Namun demikian, komisi C menyadari keterbatasan para rekanan. Khususnya, terkait ketersediaan sarana dan prasarana pekerjaan. "Kita menerima keluhan dari rekanan tentang banyaknya kesulitan dalam pekerjaan. Misalnya, wales yang harus pinjam ke Surabaya. Itu pun kadang tidak ada. Termasuk, ketersediaan material," ungkapnya. Beberapa kesulitan tersebut bisa menjadi pelengkap rendahnya kualitas proyek kontraktual ini. Jadi, kita tidak sepenuhnya menyalahkan rekanan," imbuhnya.

Salah seorang rekanan yang namanya enggan dikorankan menjelaskan, rendahnya kualitas proyek memang tidak bisa dipersalahkan kepada rekanan. Alasannya, ada faktor lain yang berada di luar rekanan. "Kita semua tahu gelar proyek terlambat. Akibatnya, pelaksanaan menjadi mepet dan dikejar-kejar waktu. Apalagi, dalam waktu dekat sudah masuk musim hujan," katanya.

Itu sebabnya, baik rekanan maupun Ali Wafi berharap, ke depan gelar proyek bisa lebih cepat. "Harapan kita ke depan agar gelar proyek juga dipercepat. Minimal, tidak terlambat, sesuai waktu yang seharusnya. Kalau sampai terlambat banyak pihak yang akan kesulitan," ingat Ali Wafi. (zid)


Sumber: Jawa Pos, 04 Des 2006

Dari Musyawarah Para Seniman di Kabupaten Pamekasan

Berhasil Bentuk DKP Setelah Sepuluh Tahun Berlalu. Di Pendopo Budaya Jl Jakatole, puluhan seniman bertemu. Berbeda dari pertemuan yang digelar biasa, silaturahim antarseniman kemarin khusus mendialogkan urgensi DKP (Dewan Kesenian Pamekasan) yang layak dibentuk. Kemudian, DKP pun terbentuk meski terhitung efektif 2007 mendtang. Mengapa?

Oleh: ABRARI, Pamekasan

Perbincangan seniman, tidak selalu menyoal soal budaya dan proses kreatif dalam kesenian. Melainkan, dalam seniman juga lihai "berpolitik". Terutama, berkait dengan siapa yang layak jadi Ketua DKP untuk 3 tahun ke depan sampai tahun 2010. Bahkan, lewat proses politik mengacu pada tatib pemilihan, nama calon pun bermunculan. Hingga, Syafiuddin Miftah, berhasil memimpin perolehan suara, mengungguli calon kuat lainnya, Bob Chandra Musthafa.

Pada putaran pertama, banyak nama muncul sebagai kandidat. Diantaranya, Yayan KS, Brojol Senoaji, Kartolo, Bambang Hartono, dan beberana nama lainnya. Hanya, yang dianggap layak menjadi calon, adalah balon (bakal calon) yang sekurang-kurangnya didukung 10 suara. Yakni, Syafiudin Miftah dan Bob Chandra Mustafa. Duel seniman ini pun kembali bertarung menunjuk puncak untuk menjadi orang pertama di DKP. Pasca perhitungan suara, Syafiudin Miftah unggul (39 suara) dari kandidat lainnya, Bob Chandra Mustafa (22) suara.

Ditemui usai pembentukan dan pemilihan Ketua DKP, Kasi Kebudayaan Khalifaturrahman menilai DKP sebagai lembaga yang pantas berdiri. Ini, untuk mengkoordinasi lembaga seni yang telah bermunculan di seantero Pamekasan. Dia bilang, bila pada akhirnya DKP baru muncul, bukan berarti terlambat dari wacana pembentukannya sejak 1987 lalu. Melainkan, proses dan dialog belum selesai terkait pembentukan DKP. Menurutnya, lewat proses yang memekan waktu sepersepuluh abad, DKP pun lahir di ujung tahun ini. "Kami berharap DKP ini bisa eksis," paparnya.

Dihubungi pasca pemungutan suara, Ketua DKP Syafiudin Miftah menyambut baik didirikannya DKP, siapa pun yang menjadi ketuanya. Bagi pria yang akrab disapa Bang Dut ini, yang terpenting kerja sama untuk berkreativitas, berkesenian menyongsong sinyal budaya pasca Suramadu. Yang harus dicatat, seorang Ketua DKP diakuinya tidak akan berperan banyak dalam memajukan DKP. Ini, bila tidak didukung sesama seniman baik yang ada di dalam maupun luar DKP. "Bismillah, semoga DKP ini membawa berkah kebudayaan," katanya.

Sementara, Bob Chandra Mustafa, meminta pemerintah terus berperan. Dia bilang, peran pemerintah tidak hanya selesai mengantar DKP sampai terealisasi di ujung tahun ini. Pasca DKP, proses berkesnian masih perlu berjibaku dalam kreativitas. Suatu saat nanti, katanya, setelah ada Pendopo Budaya dan Dewan Kesenian, Pamekasan saatnya nanti perlu memiliki GKP (Gedung Kesenian Pamekasan). Ini, bukan semata-mata Pamekasan sebagai kota pelajar dan budaya-nya Madura, melainkan sebagai kelengkapan dan penunjang proses kreatif. "Mudah-mudahan, proses kreatif ini tetap hidup dan berlanjut terus," pungkasnya. (*)


Sumber: Jawa Pos, 03 Des 2006

Wapres Tinjau Suramadu Naik Heli

LABANG-Pemantauan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke lokasi proyek jembatan Suramadu kemarin, ternyata telah diantisipasi petugas keamanan. Meski Kalla hanya meninjau dari udara, tim gabungan dari TNI-Polri tetap mensteril area jembatan Suramadu sisi Madura di Kampung Sekar Bungu, Desa Sukolilo Barat, Kecamatan Labang, Bangkalan.

Sejak pagi, lebih dari 100 pasukan gabungan Polres Bangkalan, kodim 0829, Pangkalan TNI AL (Lanal) Batuporon, dan Polda Jatim terlihat menjaga di lokasi. Namun, petugas keamanan lebih terkonsentrasi di pintu masuk menuju megaproyek jembatan yang menghubungkan Pulau Madura dan Jawa itu.

"Sebenarnya RI 2 tidak dijadwal turun ke sini. Tapi kita hanya siap-siap kalau beliau (Wapres, Red) akan melihat langsung ke lokasi," kata AKP Heru Wahyudi, PJR Polda Jatim, saat dikonfirmasi koran ini, kemarin.

Sekitar pukul 12.30, sebanyak 3 unit helikopter meraung-raung di atas Suramadu. Lalu iring-iringan heli itu menuju utara mengitari jalan akses Suramadu sisi Madura sepanjang 11,5 km. Dalam pantauan singkat dari udara itu, rombongan Wapres kembali melihat jembatan Suramadu dari sebelah Timur, lalu kembali ke Surabaya.

Usai peninjauan udara, petugas pengamanan sudah meninggalkan lokasi jembatan. "Sesuai perintah dari polda, kami menyiapkan unit pengawalan. Kami juga menyiapkan kendaraan jika RI 2 turun untuk melihat lokasi," ujar Heru.

Apakah helipad disiapkan jika Wapres turun di kaki jembatan sisi Madura? Heru menyatakan hal itu sudah siap. Namun dia menolak menjelaskan lebih jauh karena hal tersebut bukan porsinya untuk menjawab.

"Meskipun tidak ada jadwal turun, tapi lokasi pendaratan heli (helipad, Red) sudah disiapkan. Petugas TNI AL yang menyiapkan. Kalau mau tanya masalah itu, silakan ke TNI AL," kelitnya. (tra)


Sumber: Jawa Pos, 03 Des 2006

Kembangkan Tanaman Buah Naga

PRAGAAN-Warga di Desa Rombasan, Kecamatan Pragaan, Sumenep, belakangan ini mulai mengembangkan tanaman agro yang bisa dibilang unik dan terbatas. Yaitu, tanaman yang dikenal dengan sebutan buah naga.

Pengembangan tanaman buah naga ini sudah berlangsung sejak tahun 2005 lalu. Namun, kala itu masih terbatas, tidak banyak orang yang mengetahuinya. Sebab, ada anggapan menanam buah naga dilarang. Mengapa dilarang? Rumor pelarangan buah naga lantaran buah yang berasal dari Vietnam tersebut telah memiliki hak paten.

Namun, seiring dengan perkembangan, buah naga dengan mudah ditanam oleh siapa pun. Seperti yang dilakukan warga Desa Rombasan, Kecamatan Pragaan, ini. "Penanaman buah naga ini sudah dilakukan sejak tahun 2005. Semula, hanya beberapa pohon saja, tidak banyak seperti sekarang ini," ujar Syaiful, salah seorang warga yang dipercaya pemiliknya merawat tanaman buah naga.

Dilihat dari bentuk fisiknya, tanaman buah naga memiliki keunikan tersendiri. Badan pohonnya setinggi 1 meter hingga 1,5 meter. Tanaman ini memiliki daun yang mirip seperti lidah buaya. Bedanya, daun tanaman buah naga bentuknya mirip seperti naga. Sedangkan buahnya berwarna merah yang juga memiliki sirip-sirip seperti naga.

Menurut Syaiful, tanaman buah naga dipercaya memiliki khasiat. Banyak yang percaya buah naga bisa menyembuhkan aneka penyakit. Misalnya, kolesterol, diabetes, darah tinggi, dan kanker usus. "Namun, warga di Madura belum banyak yang mengetahuinya, hanya terbatas," katanya.

Sejauh ini penjualan buah naga masih ke luar Madura. Harganya puluhan ribu rupiah. Berdasarkan informasi yang diterima koran ini, buah naga banyak dikembangkan di sejumlah wilayah di Jawa Timur. Misalnya, Kabupaten Jember, Situbondo, dan sekitarnya. (zid)


Sumber: Jawa Pos, 03 Des 2006

Heboh Bunga Bangkai di TPU Mlajah Bangkalan

Baunya bikin mual, malam hari bikin merinding. Tak disangka, bunga bangkai ternyata juga tumbuh di Bangkalan. Bahkan, 3 tahun sebelumnya juga sudah ada. Hanya, baunya yang bikin heboh orang yang tidak tahu bahwa itu bau bunga bangkai. Apalagi, bunga itu tumbuh di pemakaman umum.

Oleh: RISANG BIMA WIJAYA, Bangkalan

SEJAK tiga hari lalu, masyarakat di sekitar tempat pemakaman umum (TPU) Mlajah dikejutkan dengan munculnya bau busuk yang sangat menyengat. Sumber bau busuk dari arah areal pemakaman umum tersebut, berasal dari sejenis bunga bangkai yang muncul tiba-tiba di areal pemekaman umum.

Sebelumnya, bau busuk seperti bangkai tersebut membuat merinding orang-orang yang melintas di sekitar areal pemakaman, pada malam hari. Bau menyengat itu, bahkan membuat mual orang yang perutnya peka, ketika melintas di pemakaman Mlajah.

Sumber bau busuk yang bikin bulu kuduk merinding di malam hari itu akhirnya ditemukan. Penemunya adalah seorang peziarah, yaitu Faradillah, seorang siswi kelas 2 SMAN I Bangkalan. Ternyata, bau busuk itu bukan bersumber bau mayat di TPU, tapi dari sebuah bunga sejenis bunga bangkai. Bunga itu ditemukan Faradillah di dekat makam buyutnya.

Bunganya berwarna merah terang. Diameter kelopaknya cukup lebar, hingga 80 cm. Mungkin karena baunya busuk, bunga itu banyak dikerubungi lalat. "Bunga itu semula saya kira tas plastik yang berwarna merah yang isinya mungkin bangkai atau sesuatu yang berbau busuk. Setelah didekati, ternyata itu sejenis bunga yang dikerubungi lalat sangat banyak," kata Faradillah.

Dia pun langsung yakin kalau bunga yang membuatnya mual-mual itu adalah sejenis bunga bangkai. Dia menguraikan, bau bunga itu busuk, ukurannya besar, tidak ada batang bunga, tidak ada daun, dan langsung keluar bunga dari tanah. "Karena itu saya yakin itu adalah bunga bangkai," ujar Faradillah.

Sementara itu, menurut penduduk yang rumahnya dekat dengan tempat bunga bangkai itu tumbuh, yaitu Ibu Rahmat, bau busuk itu sudah 3 hari yang lalu muncul. "Beberapa tahun lalu, bunga besar dengan bau busuk itu pernah muncul. Umurnya hanya 4 hari, setelah itu langsung layu dan kering. Kalau yang sekarang ini (kemarin, Red) sudah hari ketiga. Berarti, besok (hari ini, Red) bunganya akan layu sendiri," kata Ibu Rahmat.

Dia mengaku tidak terganggu dengan bau busuk tersebut, karena sudah pernah terjadi sebelumnya. "Tapi banyak orang yang tidak kuat lama-lama berada di dekat bunga itu karena baunya memang sangat busuk," kata dia. (*)

Sumber: Jawa Pos, 02 Des 2006

Membangun Madura atau Membangun di Madura

Pembangunan Jembatan Suramadu dan pengembangannya harus bisa membuka lapangan kerja bagi warga Madura. Dengan demikian, kesejahteraan warga pulau ini bisa meningkat.

Oleh Achmad Faiz

Meski konsep pembentukan Badan Percepatan Pembangunan dan Pengembangan Wilayah Suramadu belum final, menurut Asisten II Pemerintah Provinsi Jatim Bidang Pembangunan Soetjahjono Soejitno, berbagai reaksi telah bermunculan. Tidak berlebihan jika bupati se- Madura menginginkan agar lembaga ini bisa mengoptimalkan potensi dan sumber daya manusia (SDM) masyarakat Madura sesuai dengan tujuan awal pembangunan jembatan sepanjang 5,4 kilometer itu.

Secara umum tujuan pembangunan Jembatan Suramadu adalah memberikan aksesibilitas agar potensi yang ada di Madura dapat dimanfaatkan secara optimal, menunjang peningkatan sektor-sektor pembangunan lain seperti pariwisata, pertambangan, perikanan dan lain- lain, serta membangun sistem jaringan jalan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura dalam rangka pengembangan wilayah. (Keputusan Presiden Nomor 79 Tahun 2003).

Diharapkan pengembangan jaringan berupa jembatan penghubung ini mampu memberikan pencerahan secara ekonomi bagi masyarakat Madura yang identik dengan ketertinggalan.

Dalam perspektif teori dependensia, relasi Jawa -dalam hal ini Surabaya- dengan Madura mau tidak mau merujuk pada posisi ketergantungan struktural. Kata Suramadu merupakan gabungan dari kata Surabaya dan Madura. Dari perspektif gramatikal kata Suramadu jelas mengandung suatu makna relasional antara subyek dan obyek. Sura(baya) sebagai subyek, sedangkan Madu(ra) sebagai obyek. Surabaya sebagai subyek disadari atau tidak harus ditempatkan sebagai wilayah pusat, sedangkan Madura pada posisi sebagai wilayah pinggiran.

Berbagai kajian terhadap pengalaman di berbagai negara (baik di tingkat global, nasional, regional maupun lokal), hubungan relasional dalam perspektif dependensia selalu menguntungkan pihak pusat. Sebaliknya wilayah pinggiran tidak pernah mengalami kemajuan apa pun.

Ada ungkapan menarik dari Bupati Bangkalan KH Fuad Amin Imron yang diamini oleh Bupati Pamekasan Ahmad Syafi’i. “Hasil proyek Suramadu harus bisa dirasakan seluruh warga Madura. Jangan sampai warga Madura hanya menjadi penonton” (Kompas, 20/11/2006).

Harapan kedua Bupati ini beralasan. Secara ekonomi masyarakat Madura masih tertinggal dibandingkan dengan kabupaten/kota di Jawa Timur. Keadaan tersebut karena infrastruktur pembangunan kurang mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.

Sudah lama masyarakat di Madura diasosiasikan dengan atribut kemiskinan dan ketertinggalan. Hal itu akibat kondisi alam Madura yang gersang dan tandus sehingga daya dukung alam, khususnya sektor pertanian, terhadap penduduk tidak memadai. Tak heran banyak penduduk Madura merantau ke luar untuk mencari sumber-sumber ekonomi.

Data menunjukkan laju pertumbuhan pembangunan Madura lebih lambat dari rata-rata kabupaten lain di Jatim. Nilai pendapatan domestik regional bruto Madura tahun 2002 adalah Rp 8,2 triliun. Padahal, Pulau Madura mempunyai potensi lokal seperti tembakau, garam serta potensi perikanan.

Kehadiran Jembatan Suramadu merupakan hikmah sekaligus merupakan tantangan bagi masyarakat Madura untuk terlibat secara langsung dan aktif pada proses pembangunan Madura pascapembangunan fisik jembatan. Keberhasilan sebuah proses pembangunan adalah adanya swadaya masyakat dalam setiap proses, baik yang dimiliki individu maupun kelompok di masyarakat.

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam menyongsong Jembatan Suramadu. Pertama, pembenahan aspek SDM. Pembenahan ini mutlak diperlukan mengingat rendahnya statistik pendidikan di empat kabupaten di Madura. Di Kabupaten Sampang, tahun 2000, lulusan SD yang melanjutkan pendidikan ke SMP hanya sekitar 50 persen. Lulusan SLTP yang melanjutkan ke SMA hanya sekitar 60 persen. Bahkan, tahun 2001 terjadi penurunan angka dari SD ke SMP menjadi 42 persen (Kompas, 24/3/2002). Angka ini mewakili realita rendahnya tingkat pendidikan SDM Madura.

Pembenahan SDM bisa dilakukan dengan membuka dan menambah beberapa sarana dan prasarana pendidikan yang menunjang kebutuhan masyarakat Madura pascapembangunan Suramadu. Madura memiliki ratusan pesantren dengan karakter dan sistem pendidikan yang berbeda. Potensi ini bisa dioptimalkan oleh pemerintah dengan memberlakukan kurikulum tambahan berbasis kemampuan tehnik bagi para santri di pesantren.

Optimalisasi lembaga pendidikan dan perguruan tinggi dan pendidikan nonformal di Madura dengan membuka program studi atau kejuruan yang dibutuhkan diharapkan memberikan kontribusi dalam melahirkan generasi yang siap pakai.

Kedua, pembenahan SDM harus didukung oleh pembenahan aspek sosial budaya. Rendahnya minat masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi mengakibatkan rendahnya kualitas SDM di Madura. Hal ini dilatarbelakangi ukuran sukses bagi masyarakat Madura adalah memiliki harta yang berlimpah, sedangkan seseorang yang mempunyai tingkat intelektualitas dan tingkat pendidikan yang tinggi tidak dianggap sebagai orang sukses. Paradigma ini perlu diubah lewat pendekatan sosiokultural.

Membangun masyarakat dari wacana berpikir yang statis tradisional menjadi dinamis rasional merupakan proses kegiatan pembangunan masyarakat desa/kota yang memerlukan penyuluhan masyarakat. Bentuknya bervariasi, mulai pendidikan formal dan nonformal, penyuluhan pembangunan, komunikasi pembangunan, pendidikan kesejahteraan keluarga, demokrasi, pendidikan keterampilan, dan lain-lain.

Ketiga, penyiapan infrastruktur pendukung pembangunan. Pembangunan infrastruktur hendaknya tidak berorientasi pada aspek keuntungan belaka, tetapi hendaknya mempertimbangkan pula aspek sosial. Jika para investor hanya berorientasi pada keuntungan, bisa dikatakan pembangunan Jembatan Suramadu bukan untuk membangun masyarakat Madura, tetapi membangun di Madura.

Dalam konteks inilah seluruh pemangku kepentingan di Madura perlu dilibatkan. Terutama para ulama yang merupakan figur sentral dalam masyarakat Madura. Dengan demikian, harapan untuk menyejahterakan masyarakat Madura bisa terwujud nyata.

ACHMAD FAIZ, Alumnus Pascasarjana Ilmu PSDM Universitas Airlangga

Sumber: Kompas, 13/12/06