Cuaca Laut Kondusif, Pelayaran Normal

Sumenep, Jawa Pos - Cuaca laut di Laut Jawa dan Perairan Kepulauan Kangean mulai bersahabat. Sejak Jumat (9/3) pekan lalu, aktifitas armada pelayaran yang melayani lintasan antar-pulau di Sumenep beroperasional. Kemarin sekitar pukul 14.00, KM Padi dipastikan berangkat dari Pelabuhan Kalianget menuju Pulau Masalembu.


Kepala Kantor Administratur Pelabuhan (Adpel) Kalianget, Abd. Rachem mengaku, pada pekan lalu tepatnya 6-8 Maret, pihaknya sempat melarang aktifitas armada pelayaran yang melayani lintasan antar-pulau Sumenep. Pasalnya, cuaca laut dianggap tidak laik layar. "Tapi, sejak Jumat (9/3), kondisi di laut sedikit demi sedikit mulai membaik," tuturnya, kemarin.


Sehingga, sejak akhir pekan lalu pula, KM Padi dan KM Kasih Abadi 8 yang dipercaya melayani lintasan keperintisan kembali beroperasional. Kemarin pukul 07.00, KM Padi tiba di Kalianget setelah berlayar dari Kangean. Lalu, pada pukul 14.00, KM Padi langsung berangkat menuju Masalembu. "Cuaca di laut memang laik layar," paparnya pada koran ini.


KM Padi dan KM Kasih Abadi 8 merupakan armada yang menang tender dalam lelang lintasan keperintisan. KM Padi melayani lintasan R-11 dengan rute (pulang pergi) Banyuwangi-Kangean-Sapeken-Pagerungan-Kalianget-Sapudi-Masalembu-Surabaya. KM Kasih Abadi 8 melayani lintasan R-10: Surabaya-Masalembu-Kalianget-Sapudi-Kangean-Sapeken-Banyuwangi.


Rachem menjelaskan, sebenarnya, KM Padi dan KM Kasih Abadi 8 mulai operasional sejak minggu ketiga bulan Februari lalu. Namun, cuaca laut yang kurang bersahabat memaksa 2 armada keperintisan tersebut untuk sementara di-off-kan. "Selama kondisi laut laik layar, 2 armada keperintisan ini dipastikan akan beroperasional," pungkasnya. (yat)


Sumber: Jawa Pos, Selasa, 13/03/2007

Kapal ke Madura Dioperasikan

Mempercepat Waktu Tempuh Penumpang

Pemerintah Kota Probolinggo berencana mengoperasikan kapal cepat penumpang menuju Pelabuhan Beranta di Sampang dan Pelabuhan Kalianget di Sumenep. Langkah ini sekaligus sebagai alternatif jalan darat yang memerlukan waktu lama.


Luberan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, yang sudah berlangsung sekitar 10 bulan, memengaruhi banyak sektor, di antaranya transportasi darat. Dari Probolinggo ke Madura dalam kondisi normal memerlukan waktu sekitar lima jam. Namun, lama perjalanan menjadi tidak menentu. Bahkan, calon penumpang bisa menempuh waktu tujuh jam hingga delapan jam untuk mencapai Sampang. "Apabila menggunakan jalur laut, waktu akan jauh lebih efisien, sekitar 1,5 jam, untuk sampai ke Sampang," kata Manajer PT (Persero) Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III Cabang Probolinggo Kosasih, Kamis (8/3).


Kapal cepat yang akan melayani rute Probolinggo-Madura direncanakan berkapasitas 200 penumpang. Setiap penumpang akan dipungut biaya Rp 55.000 untuk kelas ekonomi dan Rp 60.000 untuk kelas eksekutif. "Kapal ini ditujukan untuk mengangkut penumpang, bukan kendaraan bermotor," ujar Kosasih.


Satu unit dahulu


Administratur Pelabuhan Pelindo III Cabang Probolinggo Markasan menjelaskan, sebagai tahap awal pihaknya masih akan mengoperasikan satu kapal. Selanjutnya berdasarkan perkembangan. Setiap hari kapal akan melayani pelayaran dari Probolinggo menuju Beranta, kembali ke Probolinggo, berangkat menuju Kalianget, dan kembali lagi ke Probolinggo. "Kapal berasal dari Malaysia dan sekarang berada di Batam," katanya.


Pelabuhan Tanjung Tembaga, Probolinggo, untuk sementara tidak perlu menyiapkan fasilitas terkait dengan rencana pengoperasian kapal cepat penumpang ke Madura tersebut. Untuk penumpang, pelabuhan mempunyai gudang yang bisa difungsikan sebagai terminal penumpang. "Fasilitas sudah ada, tinggal diberi kursi," tuturnya lagi.


Pelayaran ke Madura ini diharapkan segera beroperasi begitu kapal tiba sehingga menyumbang pendapatan untuk kantor cabang Probolinggo. Terlebih kantor itu mengalami kerugian besar setiap tahun. "Kalau dari potensi, saya kira sangat potensial karena banyak penduduk di sekitar sini, seperti Probolinggo, Pasuruan, dan Jember, yang berasal dari Madura," katanya. (Fabiola Ponto)


Sumber: Kompas, 09/03/07

Pekerjaan Rumah Pasca Kongres Kebudayaan Madura

Bawa Amanah 39 Rekomedasi, Gagas Kongres Bahasa Madura


Tuntas sudah Kongres Kebudayaan Madura. Tapi, bukan berarti perkerjaan sudah tuntas juga. Justru, pasca kongres banyak pekerjaan dan amanah yang mesti dilakukan. Ada 39 rekomendasi yang perlu dintindaklanjuti dari hasil-hasil pembahasan di 4 komisi dalam kongres.


Secara umum, kongres yang berlangsung selama 3 hari ini (9-11 Maret) ini bisa dibilang sukses. Baik gelaran seni dari 4 kabupaten di Madura, juga kongres itu sendiri. Cuaca pun bersahabat. Selama pelaksaan kongres, hujan yang sebelumnya turun di Kota Sumenep, pada saat kongres hujan enggan turun. Jadi, tidak mengganggu jalannya pertemuan para budayawan, seniman, pelaku dan pemerhati budaya, dan eleman lainnya yang hadir dalam kongres.


Beberapa pakar tentang kebudayaan Madura didatangkan untuk berbicara di kongres. Seperti Huub de Jonge, antropolog asal Belanda. Dia sangat respons dengan pelaksanaan kongres dan berada di arena hingga akhir. "Sebagai seorang antropolog, saya tentunya tertarik pada semua kebudayaan tanpa kecuali. Jadi, saya merasa wajar bila tertarik pada budaya Madura," katanya kepada koran ini.


Suku Madura di Indonesia, kata dia, adalah suku ketiga terbesar di Indonesia. Tapi, sayangnya, tulisan atau literatur tentang orang dan budaya Madura itu sangat sedikit. "Saya merasa bisa sangat menikmati berada di tengah-tengah orang Madura (Prenduan, Red) tanpa ada kekhawatiran, kok. Begitu juga dengan istri saya yang ikut selama melakukan penelitian. Jadi, kita akrab dan merasa enjoy berada di Prenduan (1969-1972)," ujarnya.


Ada juga Prof Dr Ir Mien A. Rifai. Peneliti senior LIPI asal Sumenep yang saat kongres me-launching bukunya Manusia Madura ini membeberkan tentang hasil penelitian terhadap orang Madura. Dalam makalahnya dia menyebutkan; sejarah memang membuktikan bahwa kelompok etnis Madura termasuk salah satu suku bangsa Indonesia yang tahan bantingan zaman. Mereka memunyai kemampuan adaptasi dan toleransi yang tinggi terhadap perubahan, keuletan kerja tak tertandingi, dan keteguhan berpegang pada asas falsafah hidup yang diyakininya. Walaupun diberikan dengan nada sinis, selanjutnya diakui juga bahwa orang Madura memiliki keberanian, kepetualangan, kelurusan, kesetiaan, kerajinan, kehematan (yang terkadang mengarah ke kepelitan), keceriaan, dan rasa humor yang khas.


Akan tetapi ditambahkan pula bahwa sekalipun memiliki jiwa wirausaha, mereka jarang mau mengambil risiko yang tidak diperlukan, sehingga sedikit sekali pengusaha Madura yang terdengar jatuh pailit namun kecil pula kemungkinan bagi mereka untuk tumbuh besar sampai menjadi konglomerat. Rata-rata orang Madura lalu dianggap tidak berjiwa pioner yang mau maju di garis terdepan yang belum dirambah orang, sebab mereka sangat percaya pada kemapanan tatanan yang tertib dan teratur rapi.


Sebagai akibat stereotip yang serba bertentangan tersebut, lalu timbul anggapan bahwa orang Madura tidak mau berprakarsa, berjiwa statis, dan menolak dibawa maju, apalagi berindustri yang sarat pengetahuan, ilmu, dan teknologi, serta rekayasa. Sebagai bukti ditunjukkan bahwa dari dulu penampilan wanda atau fisiognomi Pulau Madura tetap saja seperti sekarang-sangat terbelakang bila dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Timur yang tampak semakin berkembang sesuai dengan kemajuan zaman.


Sementara Dr A. Latief Wiyata mengupas tentang karakter orang Madura yang dibilang keras. Antropolog Madura ini mengawali dengan pertanyaan; Benarkah Orang Madura Keras? Menurut Latief, itu tidak semuanya benar. "Mungkin, perlu diubah bahwa orang Madura yang disebut keras itu menjadi tegas," katanya.


Selain pakar, kongres juga menghadirkan para pelaku dan pemerhati kesenian Madura. Seperti M. Hasan Sastra dengan makalahnya Pesona Kesenian Etnik Madura Di antara Etnik Lainnya. Menurut dia, tak dapat dipungkiri lagi dan mungkin bisa dirasakan bahwa ragam budaya, bahasa serta kesenian yang lapernah lahir di Bumi Madura ini juga mempunyai nilai yang tinggi, spesifik, dan syarat dengan pesona. Seni batik Madura, ragam ukiran-ukiran Madura, serta kesenian rakyat Madura yang bernama kerraban sape bukan lagi dikenal di tanah kelahirannya saja. Tetapi sampai orang mancanegara datang untuk melihat, meneliti, mengoleksi, memakai, atau hanya sekedar memajang di rumah-rumah mereka. Itu bagian karya adiluhung yang syarat dengan pesona yang ada di Madura.


Selain tentang seni-budaya, juga dibahas soal pendidikan dan pesantren. Kongres menghadirkan Prof Syukur Ghazali dan Prof Aminuddin Kasdi. Kedua pakar pendidikan yang memang asli Madura ini mengaku ikut peduli dengan perkembangan pendidikan Madura.


Tak kalah pentingnya adalah masalah pesantren. Sebab, Madura dikenal dengan pesantrenya yang tersebra hampir di seluruh pulau. Mau tidak mau, maka tradisi pesantren banyak mempengaruhi budaya dan prilaku orang Madura. Dalam masalah pesantren ini, kongres menghadirkan KH Muhammad Idris Jauhari. Pengasuh Ponpes Al Amien, Prenduan, Sumenep, ini menyampaikan makalah tentang Pesantren, antara Tadisional dan Modern (Format Pendidikan yang Ideal untuk Masyarakat Madura).


Masalah yang paling menyedot perhatian peserta kongres adalah tetang Bahasa Madura. Karena dianggap sangat penting, maka dalam rekomendasi hasil konres disepakati untuk segera digelar Kongres Bahasa Madura. Kemungkinan, kongres ini akan digelar di Pamekasan.


Setelah berseminar ria, dilanjutkan dengan pembahasan di komisi-komisi. Dari sidang komisi ini, diharapkan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi cerdas untuk ditindaklanjuti pasca kongres. Komisi-komisi yang dibentuk adalah Komisi Manusia dan Budaya Madura; Komisi Pendidikan dan Pesantren; Komisi Kesenian Daerah, dan Komisi Bahasa Madura. Hingga kemudian keluar 39 rekomendasi dari keempat komisi tersebut.


Selain seminar dan diskusi, arena kongres dimeriahkan dengan gelaran seni dari 4 kebupaten di Madura. Juga ada pameran makanan tradisonal, pameran foto, dan pameran keris. Kongres Kebudayaan yang digelar oleh Said Abdullah Institute, Radar Madura, dan Ngadek Sodek Parjuge (NSP) Sumenep yang berakhir kemarin bisa dintindaklanjuti demi kemajuan kebudayaan Madura. (tim)


Sumber: Jawa Pos, 12/03/2007

Madura Harus Dilihat Utuh

Huub de Jonge: Memang Ada Sebagian yang Kasar


Sumenep, Kompas – Kebudayaan Madura harus dilihat secara utuh, dan tidak dinilai dari satu sudut pandang saja. Selama ini Madura selalu didekatkan dengan pencitraan kasar, keras, dan pemikiran terbeolakang. Padahal, semua itu tidak selamanya sesuai dengan fakta. Pulau Madura juga memiliki budaya yang berragam dan berbeda di setiap daerahnya.


Hal itu mengemuka hampir pada setiap sesi dalam Kongres Kebudayaan Madura di Sumenep. Kongres berlangsung selama tiga hari di Hotel Utami dan berakhir Minggu (11/03). Selain forum seminar dan dialog, diadakan pula pagelaran kesenian Madura pada malam hari. Mien Ahmad Rifai dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Ilmu yang juga budayawan Maadura mengemukakan bahwa masyarakat selalu menilai orang Madura sebagai pribadi yang kasar dan sulit untuk maju. Ini membuat banyak orang enggan mengunjungi Madura untuk melihat kekayaan yang ada di pulau berpenduduk sekitar 3.250.000 jiwa itu.


"Masyarakat tidak pernah menilai orang Madura memiliki etos kerja tinggi, gigih, dan ulet. Mereka bekerja apa pun selama itu halal dalam Islam. Modal ini bisa disumbangkan untuk membangun Indonesia baru," ujar Mien, yang memaparkan materi tentang manusia Madura.


Mengenai kurangnya pengenalan budaya Madura secara utuh kepada masyarakat luas, menurut Mien, hal itu sebenarnya sudah terjadi sejak zaman kolonial. Pada zaman penjajahan, masyarakat Madura dimanfaatkan oleh Belanda untuk memorak porandakan Kerajaan Mataram di Jawa dan berbagai pertempuran lain. Masyarakat Madura juga pernah diisolasikan oleh Belanda pada akhir abad ke-19.


Pengajar Antropologi Asia Tenggara dari Universitas Radboud di Nijmegen, Belanda, Huub de Jonge, menjelaskan bahwa stereotip negatif yang disandingkan untuk masyarakat Madura ini sebenarnya hanya dicirikan oleh sebagian orang yang kemudian digeneralisasikan. Pencitraan itu akibat kurangnya perhatian dan pengertian suku-suku lain terhadap budaya dan manusia Madura. "Memang ada sebagian yang kasar, tetapi itu tidak semua," ucap pria yang pernah meneliti Madura 10 bulan (1976-1977) itu. Dia juga menjelaskan, Madura memiliki ragam budaya yang belum tergali. Kebudayaan yang ada di pesisir akan berbeda dengan yang ada di pedalaman, begitu juga dengan budaya pantai utara dan selatan Madura.


Budayawan Madura D. Zawawi Imron menegaskan, Kongres Kebudayaan Madura yang baru pertama kali dilaksanakan itu diharapkan mampu merevitalisasi nillai-nilai lama yang terkandung dalam budaya Madura. Tidak hanya meningkatkan taraf pendidikan Madura, melainkan juga mengembangkan kesenian Madura agar lebih dikenal oleh masyarakat luas. Dengan demikian, Madura tidak dikenal hanya dari pencitraan negatif tadi. (ABS)


Sumber: Kompas, 12/03/07

Bentuk Kelompok Pekerja Kongres

Selain menghasilkan berbagai rekomendasi, peserta Kongres Kebudayaan Madura juga menyepakati dibentuknya kelompok pekerja (pokja) pasca kongres. Mereka yang masuk dalam pokja nantinya diharapkan menjadi lahirnya lembaga kebudayaan Madura. Pokja punya tanggung jawab untuk menindaklamjuti hasil-hasil kongers pasca dan mempersiapkan Kongres Kebudayaan Madura berikutnya.


Dari hasil kesepakatan peserta, Drs Kadarisman Sastrodiwirjo terpilih menjadi ketua. Sedangkan sekretaris Yanuar Herwanto dan anggotanya Prof DR Ir Mien A Rifa’i, Solahur Robbani (Sampang), Adrian Pawitra, M. Tojjib, Abdur Rozaqi, dan Mutmainnah.


"Kita telah bentuk kelompok pekerja kongres yang akan menindaklanjuti hasil rekomendasi ini. Kelompok pekerja kongres ini nantinya menjadi embrio lembaga kebudayaan Madura yang banyak diusulkan peserta kongres," kata pemerhati kebudayaan Madura Prof Dr Ir Mien A. Rifai dalam sambutan akhir penutup kongres di Hotel Utami Sumekar, kemarin sore.


"Saya merasa bersyukur kongres ini berjalan dengan baik. Tapi yang kita harapkan, kita menyingsingkan baju untuk mulai bekerja menindaklanjuti hasil kongres ini," ujar peneliti senior LIPI ini. Pokja nantinya juga mempersiapkan pelaksanaan Kongres Bahasa Madura yang rencananya akan dilaksanakan di Pamekasan tahun depan.


Sedangkan Ketua Kelompok Pekerja Kongres Kadarisman Sasatrodiwirjo kepada koran ini mengatakan, pihaknya akan berupaya mengemban amanah ini. Langkah awal yang akan dilakukan kelompok ini adalah merumuskan hasil kongres.


"Kita akan bukukan hasil rekomendasi kongres ini dalam sebuah dokumen yang kita sebut proceeding," kata budayawan yang juga wakil bupati Pamekasan ini. Setelah itu, lanjutnya, pihaknya juga akan bekerja untuk membentuk lembaga kebudayaan Madura seperti yang direkomendasikan dari kongres ini.


Sementara itu, Direktur LPP RRI Parni Hadi dalam penutupan kongres memberikan catatan kritis kepada para peserta kongres. Menurutnya, untuk melestarikan kebudayaan, ada 5 komponen penting. Antara lain, budayawan, masyarakat pendukung budaya, negara yang mempunyai kewajiban mengembangkan budaya, dunia usaha, dan media massa.


Lima komponen ini diharapkan bisa bahu membahu mengembangkan dan melestarikan budaya. Parni menilai, sangat berat menjadi orang Madura, karena sekaligus mereka menjadi orang Indonesia dan warga dunia. "Anda ingin anak-anak dan putra Madura dapat berdampingan sebagai anak bangsa Indonesia dan juga warga dunia, inilah global paradoks," katanya.


Dalam era reformasi ini, sambungnya, itu sangat memungkinkan dilakukan. Sebab, pemerintah memberikan kesempatan daerah-daerah melalui otonomi daerah untuk mengembangkan potensi daerah. Mampukah kita sebagai anak bangsa, bisa tampil sekaligus sebagai suku. Jadi, orang Madura tidak harus ekslusif," ujarnya.


Parni juga memandang perlu tentang budaya oral atau lisan untuk dikembangkan sepoerti halnya budaya dongeng. Karena menurutnya, budaya dongeng lebih mudah dipahami oleh masyarakat. "Makanya, saya akan meminta D. Zawawi Imron untuk mendongeng di RRI tentang Madura yang akan disiarkan ke seluruh Indonesia," tandasnya.(ahmad zahrir ridlo)


Sumber: Jawa Pos, 12/03/2007

Budaya Madura Bukan Kepanjangan Budaya Jawa

Edhi Setiawan, budayawan asal Sumenep, dalam makalahnya berjudul 'Menegakkan Kembali Citra Budaya Madura' menyebutkan, kurangnya publikasi yang serius sejak masa lalu mengenai kebudayaan Madura, menyebabkan banyak orang beranggapan kebudayaan Madura merupakan kepanjangan budaya Jawa. Padahal, Madura mempunyai ciri-ciri kebudayaan sendiri.


Kebudayaan Madura yang bersumber dari kraton, sedikit banyak terpengaruh oleh kebudayaan kraton Jawa. Baik dalam bidang seni, tari, macopat, bahasa, ataupun gending-gending gamelan. Hal ini tidak berarti Madura tidak mempnyai akar budaya sendiri.


Ini bisa kita lihat perbedaan yang mencolok, seperti dalam kesehariannya, sifat-sifat orang Madura lebih egaliter dan terbuka, berbeda dengan kebanyakan sifat orang Jawa yang mempunyai sifat ewuh pakewuh. Dalam mencari rezeki, orang-orang Madura sejak masa lalu berani merantau ke luar pulau. Semangat "mangan ora mangan asal ngompul" yang dilakukan orang Jawa, tidak dilaksanakan orang Madura.


Pada kosakata bahasa Madura halus (kromo), pengaruh bahasa Jawa memang agak kental. Namun, bahasa Madura rakyat jelata (ngoko) perbedaannya amat tajam. Contohnya, kepala dalam bahasa Madura halus disebut "sera" yang hampir sama dengan bahasa Jawa halus "sira". Sedang dalam bahasa Madura rakyat/kasar disebut "cethak".


Perut dalam bahasa rakyat Madura disebut "tabu’". Dalam hitung-hitungan satu dalam bahasa Madura disebut "settong", sedang bahasa jawa disebut "siji".


Kerapan sapi merupakan budaya otentik Madura. Alat-alat musik yang dipakai di kalangan rakyat jelata Madura, seperti saronen dan gelundhang kurang dikenal/ditemukan di Pulau Jawa.


Berbeda dengan anggapan seakan-akan orang Madura tidak pernah menggeluti atau melahirkan kesenian-kesenian yang bernilai, padahal realitanya peninggalan-peninggalan lama membuktikan orang Madura mampu menghasilkan kesenian yang orisinil, dan bersifat adiluhung (seni ukir, tari, musik, arsitektur, pembuatan perahu, dll). (*)

Sumber: Jawa Pos, 12/03/2007

Nasi Petis Tanpa Petis

Oleh: Bondan Winarno


Tahun lalu, serombongan anggota Jalan Sutera (JS-ers) Surabaya melakukan perjalanan 'dinas' – artinya: jalan-jalan dan makan-makan – ke Pulau Madura. Begitu tiba di kota pertama, Bangkalan, mereka langsung nyosor ke Warung 'Amboina'.


Memang terdengar out of place. Wong warung makan di pulaunya Pak Sakerah, kok namanya Amboina? Kita hanya dapat menduga bahwa pemiliknya dulu adalah seorang matroos (awak kapal) yang berlayar ke berbagai penjuru, dan tertambat hatinya dengan keindahan Amboina Manise.


Pendek kata, 'Amboina' adalah warung makan yang terkenal sejak zaman tempo doeloe. Warungnya rapi, bercat hijau, terletak di pinggir lun-alun. (Harap dicatat, di Madura tidak ada alun-alun. Yang ada lun-alun, tak iye? Di Madura juga tak ada TK, karena yang ada adalah TN alias Taman Nak-kanak. He he, memang sama saja, hanya pelafalannya yang beda).


Warungnya bergaya khas tempo doeloe. Karena sempit, hanya ada dua deretan bangku panjang menghadap meja panjang yang menempel ke masing-masing dinding. Karena laris, tak jarang tamu harus antre menunggu giliran tempat duduk. Tak heran pula bila tamu yang datang berdua akan terpisah tempat duduknya karena keterbatasan tempat.


Hidangan paling populer di 'Amboina' adalah soto dan nasi petis. Madura memang terkenal sotonya. Tetapi, Soto Babat dari Bangkalan berbeda secara distinctive dari Soto Pamekasan, dan berbeda pula dari Soto Sumenep.


Konon, teman-teman JS terkejut karena nasi petis yang mereka pesan ternyata sama sekali tidak mengandung petis. Bagi orang Surabaya, yang disebut petis adalah paste dari udang yang agak encer dan berwarna kehitaman. Di Madura, petisnya terbuat dari ikan, disebut jukok, dan berwarna kemerahan.


Lagi-lagi, masalah nomenklatur atau atau standarisasi penamaan makanan yang di Indonesia ternyata sangat bervariasi – kalau tidak ingin menyebutnya kacau. Maka, jangan heran kalau di Madura yang disebut petis adalah masakan yang berpenampilan mirip opor. Jadi, telur petis adalah telur rebus yang dimasak dengan bumbu opor.


Nasi petis adalah nasi putih dengan lauk telur petis, ditambah empal, paru goreng, semur daging sapi yang empuk dan sangat lezat, serta sambal yang puedessss. Ternyata, semur di Madura dimasak dengan bumbu jintan, sehingga rasanya lebih mantap. Verdict untuk nasi petis 'Amboina'? Jangan dilewatkan!


'Pusat'-nya Madura adalah Sumenep. Di sana masih ada Kraton yang dirawat rapi, dan bahkan hingga sekarang masih menjadi tempat kediaman resmi Bupati. Kompleks Kraton dilestarikan sebagai Museum Kraton yang dibuka untuk umum. Karcis masuknya hanya Rp 1000,- per orang. Bangunan Kraton yang dibangun pada awal abad ke-18 ini memiliki ciri arsitektur gabungan antara Eropa dan Tiongkok dengan ukir-ukiran gagrak Madura.


Di pinggir Sumenep, di atas sebuah bukit, terdapat sebuah makam raja-raja Madura yang banyak dikunjungi peziarah dan wisatawan. Kompleks makam ini disebut Asta Tinggi. Ciri arsitektur Eropa dengan nuansa Islam sangat menonjol pada beberapa bangunan yang berada di kompleks makam. Sebuah masjid besar berada di tengah makam.


Tentu saja soto merupakan jenis masakan yang paling dibanggakan orang Madura. Soto Sumenep mempunyai ciri khas, yaitu disajikan dengan lontong dan singkong rebus. Karena singkong atau ubi kayu disebut sebagai sabreng dalam bahasa Madura, maka Soto Sumenep pun dikenal dengan nama soto sabrang. Lucunya, sekalipun sudah ada singkong dalam soto, side dish-nya adalah kroket yang terbuat dari singkong, disebut kroket sabrang. Sotonya memakai potongan daging sapi rebus (kadang-kadang juga ayam dan jerohan ayam), tumis tauge (kecambah), soun, dan diberi sambal kacang sebelum kemudian disiram kuah soto bening yang gurih.


Selain soto, di Madura juga ada sup yang disebut kaldu. Yang paling populer adalah kaldu kokot, yaitu sup dengan bagian bawah kaki (sepatu) sapi. Kokot-nya empuk sekali karena direbus lama. Ada juga yang disebut kaldu super atau kaldu kikil, yaitu sup bagian lutut (dengkul) sapi. Disebut super karena ukurannya memang super. Satu dengkul sapi utuh tersaji dalam piring yang menjadi tampak kekecilan.


Kebetulan saya sempat mencicipi kaldu di tiga warung yang dijagokan di tiga kota: Sumenep (Warung 'Ibu Adnan'), Pamekasan (Warung Kaldu 'Pintu Gerbang'), dan Sampang (Depot 'Ghozali').


Di Sumenep dan Pamekasan, kuah kaldunya berwarna kuning dan kental karena dicampur dengan sumsum dari tulang-tulang yang dimasak. Di kedua kota itu, ada pilihan untuk ditambah dengan kacang hijau sehingga lebih mirip seperti gulai kacang hijau (dalcha) yang juga populer di India-Pakistan. Karenanya, setelah mencicipi kaldu di kedua tempat itu, saya langsung merasa berdosa karena telah memasukkan begitu banyak kolesterol ke dalam tubuh.


Di Sumenep, kaldunya masih lagi ditambahi ulekan kacang tanah. Ibu penjualnya juga menyarankan agar saya menambahkan telur ayam mentah ke dalam kuah kaldu. Wuah, itu tantangan yang tidak berani saya terima. Akan membuat saya berdosa dua kali!


Untungnya, saya diajari cara makan kaldu kokot yang sangat berlemak itu agar terasa kurang machtig. Tambahkan perasan air jeruk nipis dan kecap manis pada kuah, dan tiba-tiba rasanya berubah menjadi segar dan ringan.


Favorit saya adalah kaldu kokot di Sampang. Kuahnya bening dan segar sehingga betul-betul memenuhi syarat untuk disebut sup. Sumsumnya juga masih utuh di dalam tulang dan dapat dihirup dengan menggunakan sedotan minuman. Slurrrrp .....


Jangan pula heran bila menemukan hidangan khas Madura yang bernama kalsot. Coba tebak! Itu adalah kaldu campur soto. He he he


Jajanan Sumenep yang khas adalah kuwe apen. Sebenarnya ini adalah apem atau serabi dari tepung beras. Menurut Erni Sulistiyana, JS-er Surabaya yang masa kecilnya di Madura, ada beberapa kata dalam bahasa Madura yang berbeda sedikit dari bahasa Jawa. Apem jadi apen. Jajan jadi jhajhan. "Katanya, itu karena orang Jawa yang tiba di Pulau Madura terserang mabuk laut di perjalanan, sehingga bicaranya tidak lurus lagi," kata Erni.


Kuwe apen disajikan dengan saus gula merah encer. Kemudian diberi topping gula merah yang dikocok sampai berbusa seperti whipped cream. Cara penyajian inilah yang membuat kuwe apen Sumenep sangat khas dibanding serabi yang lain.


Sekitar 30 kilometer di Barat Laut Sumenep, terdapat Pantai Lombang yang indah. Beberapa kilometer sebelum tiba di sana, tampak banyak petani cemara bonsai menjajakan dagangan mereka. Ternyata, Pantai Lombang memang berpagar ribuan pohon cemara (jenis kasuarina) alami yang membuat pantainya teduh. Air laut yang berada di Pantai Utara tampak biru cerah.


Di tepi pantai banyak penjual rujak dan es kelapa muda. Rujak di Jawa Timur dan Madura memang berbeda dengan rujak di daerah-daerah Indonesia lainnya. Rujak di Jawa Timur dan Madura tidak memakai buah – kecuali ketimun – dan memakai sayur. Rujak yang dijual di Pantai Lombang adalah versi yang paling umum didapati di Madura.


Terdiri atas bayam (Madura: tarnyak) dan tauge (tombung) rebus, diberi irisan ketimun, lontong, dan tahu. Diberi topping berupa rencekan kripik singkong (krepek tette) khas Madura, dan kemudian disiram sambal yang pedas dan lezat. Sambalnya diuleg untuk setiap porsi, terbuat dari kacang tanah disangrai, cabe rawit, gula pasir, dan petis ikan.


Madura memang bukan hanya Pulau Garam. Ternyata, banyak makanan khas yang memerkaya khasanah Pusaka Kuliner Indonesia.


Sumber: Kompas, 10/03/04

Bisakah Orang Madura Bangkit

Tokoh-tokoh Madura baru saja menggelar Kongres Kebudayaan Madura (KKM).Acara yang digagas kaum muda itu dimaksudkan sebagai tonggak kebangkitan budaya Madura yang kian hari kian redup.


Tak heran, jika pagelaran budaya sangat mendominasi rangkaian acara tersebut. Begitu mendengar istilah kongres, siapapun akan terbayang dengan perdebatan sengit di antara peserta. Bayangannya, para peserta saling berdebat mencari cara terbaik untuk mempertahankan eksistensi budaya Madura. Namun, rupanya angan-angan itu terlalu jauh. Sebab, dalam pelaksanaannnya, kongres yang dipusatkan di salah satu hotel ternama di Sumenep ini hanyalah ajang kumpul tokoh-tokoh Madura.


Memang, kegiatan itu dipungkasi dengan rapat komisi yang membahas dinamika kebudayaan Madura. Mulai tata bahasa, budaya, kesenian, religiusitas hingga keberadaan pendidikan Islam (pesantren) di Madura. Namun kalau boleh penulis kritisi, ternyata hal-hal yang seharusnya menjadi pokok materi kongres tidak mendapatkan porsi yang memadahi. Buktinya, selama tiga hari mereka berkumpul, pembahasan materi pokok ternyata tak lebih dari lima jam.


Sungguh naif, jika ini dikatakan sebagai sebuah kongres. Terlepas apakah penulis terlalu rumit memaknai kongres, ataupun terjadi perbedaan persepsi terhadap makna kongres, yang jelas beberapa peserta mengeluhkan format acara itu. Bahkan, seorang rekan wartawan dari ibu kota yang jauh-jauh datang meliput acara ini, terpaksa mengernyitkan dahi. Pasalnya, dia bayangkan, seperti diskusi dan perdebatan dari siang hingga malam seperti laiknya dalam kongres tidak terlihat sama sekali. Yang terjadi justru sebaliknya, kegiatan itu lebih didominasi seminar yang memaksa peserta kongres mendengarkan orasi dari beberapa nara sumber.


Terlepas dari berbagai penilaian tersebut, KKM harus diakui sebagai sejarah baru yang terjadi di Madura. Apalagi, pencetusnya kaum muda yang nasih peduli dengan nasib warisan leluhur. Satu hal yang perlu diperhatikan, acara ini hanyalah seremonial untuk menggugah kembali rasa kemaduraan orang-orang Madura yang banyak lupa akan warisan leluhurnya.Tentu saja, dengan hanya bertumpu pada KKM untuk mengubah sikap dan mental orang Madura merupakan hal yang absurd.


Selain harus menghilangkan stereotipe yang melekat pada dirinya,orang Madura harus berjuang melawan bangsanya sendiri. Sebab, saat ini tidak sedikit orang Madura merasa malu jika identitas kemaduraannya diketahui masyarakat luas. Akibatnya, mereka berusaha menghilangkan jejak-jejak Madura sejak dini. Hal itu bisa dilihat jumlah orang Madura yang fasih berbahasa Madura baik ngoko (mapas), krama (besah), krama inggil (besah alos) bisa dihitung dengan jari. Saat ini, jarang sekali menemukan orang Madura yang berani mengucapkan ”Madura Akulah Darahmu” seperti dalam sajak D Zawawi Imron. Namun, bukanlah orang Madura kalau cepat menyerah dan putus asa dengan apa yang terjadi.


Abhantal omba' asapo' angin (berbantal ombak berselimut angin), begitulah prinsip yang selalu dipegang orang Madura. Sepenggal kalimat yang mengisahkan etos kerja orang Madura. Selama ini, mereka dikenal ulet, bekerja keras dan bersikap tegas. Hemat penulis, sepenggal kemelut yang muncul dalam KKM kali ini harus disikapi secara arif. Sehingga, ketakutan peserta kalau kongres budaya ini tak berdaya dan membudaya bisa dihindari.Tonggak kebangkitan budaya (orang) Madura ada di tangan kaum muda.Kalau mereka tetap semangat dan tak mudah terprovokasi, niscaya kebangkitan Madura yang diinginkan dalam KKM ini bisa tercapai.Semoga!
(AHMAD BAIDOWI)


Sumber: Seputar Indonesia, Senin, 12/03/2007

Kongres Kebudayaan Madura Ingkari Sejarah

Pamekasan, Surabaya Post – Kongres Kebudayaan Madura yang diselenggarakan di Sumenep, Jumat (09/03) sampai Minggu (11/03), dinilai mengingkari sejarah kehidupan Madura. Sebab, dalam kongres yang diikuti peserta dari empat kabupaten di Madura itu, tidak banyak melibatkan kiai atau ulama Madura. Padahal, peran ulama sangat besar dalam pembangunan moralitas masyarakat Madura.


Koordinator Korp Alumni HMI (KAHMI) Koordinasi Madura, A. Fauzan Elva, menilai tanpa banyak melibatkan ulama Madura, maka Kongres Kebudayaan Madura yang salah satu agendanya untuk memformulasikan kembali kebudayaan Madura, akan menjadikan kegiatan ini menjadi a-historis alias mengingkari sejarah."Kehidupan masyarakat Madura tidak bisa lepas dari peran ulama," katanya, Sabtu (10/03).


Lulusan Fakultas Ekonomi Unibraw ini menilai, peranan ulama di Madura sangat besar, baik dari sejarah perjuangan kemerdekaan hingga mengisi pembangunan. Pada era perjuangan kemerdekaan banyak ulama atau kiai Madura meninggal jadi syuhadak di medan perang. Pada saat mengisi pembangunan ulama lagi amat besar peranannya dengan pondok pesantrennya.


"Dalam pembentukan buadaya Madura, peran ulama banyak terlibat. Nah, mengapa pada kongres kali ini kok tidak banyak dilibatkan. Saya lihat dalam undangan untuk Pamekasan tidak ada kiai dari kalangan pondok pesantren. Apakah keberadaan mereka tidak pernah berarti dalam membangun budaya Madura," tanya dia.


Sementara itu, Ketua Panitia Kongres Kebudayaan Madura, Yanuar Herwanto, membantah kalau kongres itu tidak melibatkan ulama. Menurut dia sejumlah kiai berpengaruh sudah diundang dan aktif ddalam sidang-sidang komisi yang membahas tentang pendidikan dan sastra keagamaan. "Memang terbatas, tidak bisa mengundang ulama se Madura yang banyak, namun sudah perwakilan KH Idris Jauhari dari Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep," katanya.


Dia menambahkan, kongres yang pertama digelar ini semula direncanakan akan menghadirkan 100 peserta. Ternyata permintaan banyak, akhirnya membludak menjadi 250 peserta. Mereka berasal dari elemen mahasiswa, perguruan tinggi, pesantren, pemerintah kabupaten se Madura, tokoh masyarakat Madura di daerah tapal kuda Jawa Timur, dan sejumlah tokoh masyarakat Madura di rantau. (mat)


Sumber: Surabaya Post, 10/03/07

Pelindo III Buka Jalur Probolinggo - Madura

Probolinggo, Surya - Sebagai rute alternatif warga Probolinggo ke Madura, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III Cabang Probolinggo bekerja sama dengan pemerintah kota setempat berencana membuka jalur penyeberangan baru yang menghubungkan dua wilayah itu. Pengelolaan jalur baru ini akan melibatkan kerja sama antara Pelabuhan Tanjung Tembaga Probolinggo dan pihak swasta.


Menurut Manager PT Pelindo III Cabang Probolinggo, Kosasih, selama ini warga yang akan pergi ke Madura harus menempuh perjalanan darat menuju ke Tanjung Perak Surabaya, sebelum menyeberang dengan kapal feri ke Madura. Total waktu yang diperlukan sekitar tujuh jam.


Bahkan, hampir sepuluh bulan ini butuh waktu lebih lama lagi setelah jalur darat
yang menghubungkan Jawa Timur bagian Timur dengan Surabaya terhambat lumpur Lapindo. “Nantinya, melalui jalur baru ini masyarakat hanya perlu waktu 1,5 jam untuk sampai Madura,” ujar Kosasih, Kamis (8/3).


Untuk sementara waktu, baru satu unit kapal akan dioperasikan. Dan setiap hari akan menempuh rute Probolinggo - Pelabuhan Berantan, Sampang (PP) dan Probolinggo - Pelabuhan Kalianget, Sumenep (PP). Setiap penumpang kelas ekonomi dikenai biaya Rp 55.000 sedang penumpang eksekutif Rp 60.000. “Kapal cepat yang digunakan dibeli dari Malaysia dan masih baru. Sekarang sudah ada di Batam tapi belum tahu kapan sampai ke Probolinggo,” ujarnya.


Dengan operasional kapal berkapasitas 200 penumpang ini, PT Pelindo III Cabang Probolinggo hanya akan menerima pendapatan dari penjualan tiket masuk penumpang dan pengantar saja. Sementara hasil penjualan tiket kapal akan diterima pihak swasta. “Kami hanya kebagian mempersiapkan terminal penumpang. Itu pun tidak perlu renovasi besar sebab hanya mengubah salah satu bangunan gudang saja,” imbuh Markasan, Kepala Kantor Adpel Probolinggo. ida


Sumber: Surya, 09/03/2007

Badai Dibalik Pesta Demokrasi Desa

Sumenep, Surya - Pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) di Kabupaten Sumenep masih belum berjalan sesuai harapan. Para calon kepala desa yang kalah masih belum legawa menerima kekalahannya secara ksatria. Akibatnya, sejumlah fasilitas umum seperti makam, sekolahan dan pasar desa menjadi sasaran konflik buntut pilkades. Berikut liputannya.


Tahun 2007 ini, Pemkab Sumenep mengagendakan 226 pemilihan kepala desa (pilkades), baik di wilayah daratan dan kepulauan. Dari jumlah itu yang terlaksana baru 128 desa, berarti masih ada 98 desa lagi yang akan menggelar pesta demokrasi pilkades.


Setelah separuh lebih desa yang melaksanakan pilkades, berbagai persoalan mulai bermunculan. Mulai perseteruan antarpendukung, perselisihan antarkeluarga, pertengkaran antara saudara yang berbeda pandangan dalam mendukung bakal calon kades, hingga pertikaian antar tim sukses masing-masing calon.


Tidak hanya itu, imbas dari pelaksanaan pilkades adalah rusaknya berbagai tatanan desa. Malahan antara kelompok massa pendukung saling unjuk kekuatan dengan cara mengerahkan massa. Misalnya, dengan berunjukrasa karena tidak puas dengan hasil pilkades di desanya.


Fenomena yang terjadi di Sumenep belakangan ini adalah rusaknya berbagai fasilitas umum milik masyarakat akibat dampak pilkades. Fasilitas umum yang menjadi itu seperti pembongkaran makam, penutupan sekolah termasuk penggusuran pasar desa.
Kasus pembongkaran 49 makam terjadi di Desa Ketawang Daleman, Kecamatan Ganding, Sabtu (27/1) lalu. Ini terjadi karena pihak calon yang kalah dalam pilkades tak rela tanahnya yang selama ini digunakan sebagai pemakaman umum tetap dihuni makam keluarga besar calon yang menang. Pembongkaran paksa 49 makam itu berawal dari pelaksanaan pilkades yang diselenggarakan dua hari sebelumnya yang menampilkan dua calon yakni H Ahmad (mantan kades) dan Achmad Wakid.


Namun pada perhitungan akhir suara, dari jumlah hak pilih sebanyak 1.736 suara, yang tampil sebagai pemenang H Ahmad dengan perolehan suara 831 suara sedangkan Achmad Wakid mengantongi 579 suara, sisanya tidak sah. Kontan saja kekalahan itu menimbulkan reaksi keras pihak yang kalah.


Sewaktu perhitungan suara belum usai, namun sudah dipastikan Achmad Wakid kalah, salah seorang saudaranya yakni H Tayyib mendatangi rumah K Wahed dan K Amir tokoh masyarakat setempat. H Tayyib meminta makam keluarga K Wahed dan K Amir yang dikebumikan di lahan miliknya di Dusun Nangger, Desa Ketawang Daleman dibongkar.


Menyusul desakan itu, K Amir dan K Wahed menyanggupi dengan penuh sukarela akan membongkar dan memindahkan makam keluarganya dari lahan milik H Tayyib. Dan akhirnya pembongkaran makam sebagaimana yang dijanjikan K Wahed direalisasikan oleh para ahli warisnya. "Kendati K Wahed dan K Amir netral, tapi keluarga calon yang kalah menilai biang kekalahan karena kedua tokoh itu memihak calon yang menang," ujar H Faqih,47, Ketua RT 1 Dusun Kon Kokon, Desa Ketawang Daleman.


Kasus lain yang timbul akibat pelaksanaan pilkades, terjadi di Dusun Bates Utara, Desa Bates, Kecamatan Dasuk. Kali ini sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) At-Tarbiyah yang telah bertahun-tahun menjadi prasarana pendidikan warga desa terpaksa ditutup oleh ahli waris pemilik tanah tempat sekolah berdiri. Pilkades Desa Bates sendiri digelar, Sabtu (24/2) lalu.


Akibat konflik itu, puluhan siswanya menjadi korban, sehingga proses belajar mengajar sempat terhenti. Pihak yang kalah dalam pilkades beralasan salah satu faktor kekalahan diduga peran salah seorang pengurus sekolah tersebut. Kebetulan sekolah itu dibangun di atas tanah wakaf dari keluarga calon yang kalah. Bangunan sekolah yang didirikan di atas lahan seluas 687 m2 ditutup oleh sebagian ahli waris dan pendukung calon kades yang kalah. Selain pintunya ditutup, sebagian halaman sekolahnya ditanami puluhan pohon pisang dan kelapa.


Menurut Kepala Sekolah (Kasek) MI At-Tarbiyah, Moh Salamet, bangunan sekolah yang didirikan sejak tahun 1964 itu dibangun di atas tanah milik Adam alias Citro Laksono. Adam yang saat itu menjabat kepala desa merupakan sesepuh Moh Syafiudin calon kades yang kalah. Tanah itu diberikan cuma-cuma untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan.


Dari tahun ke tahun tidak pernah ada perselisihan sehingga keberadaan MI diminati warga karena kualitasnya tak kalah dengan sekolah negeri. "Pada 1991, atas inisiatif ahli warisnya, tanah itu diwakafkan kepada madrasah dan selanjutnya murni menjadi milik madrasah," jelas Salamet.


Namun pelaksanaan pilkades yang berbuntut kalahnya calon yang berasal dari keluarga ahli waris tanah wakaf tidak terima. Lalu, mereka meminta lahan yang ditempati sekolah ditarik kembali dan sekolah disegel kemudian halamannya ditanami pisang dan pohon kelapa. "Padahal saya selaku kepala sekolah dalam pilkades bersikap netral.
Apalagi saya menjabat Ketua Panitia Pilkades. Jadi tidak boleh memihak salah satu calon," tegasnya.
Ditambahkan, selaku kepala sekolah pihaknya tidak bisa berbuat banyak. Karena sekolah telah ditutup, agar kegiatan belajar mengajar tidak terhenti, sekolah terpaksa dipindah ke rumahnya. Puluhan siswanya melaksanakan kegiatan belajar mengajar darurat di teras rumah dan musholla miliknya. "Semoga ini tidak berlanjut karena kami berharap ada musyawarah kekeluargaan yang mengarah agar proses pendidikan bisa normal kembali," pungkasnya.


Belakangan penutupan sekolah itu, bukan atas perintah calon kades yang kalah Moh Syafiudin. Syafiudin mengaku tidak tahu menahu tentang aksi penutupan sekolah itu, kendati tidak mengelak kalau dugaan penutupan sekolah dilakukan para pendukungnya. "Kami tidak mau karena kalah pilkades kemudian berimbas pada penutupan sekolah," tandas Syafiudin.


Hanya saja niat baik Moh Syafiudin berbeda dengan maksud para pendukung dan keluarganya. Mereka tetap ngotot tanah itu dikosongkan dan sekolah MI At-Tarbiyah dipindah. Karena sebagian keluarga itu tidak tahu serta tidak pernah mewakafkan tanahnya kepada siapapun.


Sementara kasus serupa juga terjadi di Desa Pagar Batu, Kecamatan Seronggi. Sebuah bangunan pasar desa dibongkar paksa oleh pendukung mantan kades Soedarso yang terjungkal dalam pilkades. Kades lama mengaku dana pembangunan pasar itu berasal dari uang pribadinya.


Dibongkarnya pasar desa itu merupakan buntut dari pelaksanaan pilkades hari, Rabu (28/2) lalu. Mantan kades Soedarso yang mengaku mempunyai andil besar pada pendirian pasar desa kalah telak dari calon kades lain. Sudarso mengaku sejak dibangunnya pasar desa semua material bangunan pasar sebagian besar berasal dari uang pribadinya. "Ketika kalah pilkades dia menarik lagi kontribusinya pada pembuatan pasar desa dengan cara membongkar alat-alat bangunan yang terdiri dari kayu dan genteng," ungkap salah satu warga.


Saat ini bangunan pasar ukuran 5 x 15 meter dan beberapa kios non permanen hanya tinggal tiang-tiangnya saja. Para pedagang yang hendak berjualan di pasar yang dibangun tahun 2000-an itu terpaksa menggelar dagangannya di pinggir jalan sekitar pintu masuk ke pasar desa.


Menurut Karso,40, tokoh masyarakat Desa Pagar Batu, sebetulnya tanah pasar desa itu bukan milik mantan kades, tetapi milik Nasra. Pemilik tanah tak keberatan tanahnya digunakan untuk pasar desa, karena sejak dulu dipergunakan sebagai pasar. Nasra sendiri tak menginginkan pasar itu dibongkar. "Ini bentuk ketidakberesan kita dalam menjunjung tinggi proses demokrasi. Mestinya kalau kalah jangan sampai mengganggu kepentingan masyarakat umum," tandasnya.


Pada pilkades di Desa Pagar Batu yang digelar 28 Februari lalu, ada empat calon yakni, Alwi sebagai pemenang memperoleh 992 suara, Imam Daud 933 suara, Sudarso 831 suara dan Agus Salim 197 suara.


Calon Tidak Siap Kalah


Munculnya aksi tidak terpuji dibalik pelaksanaan pilkades sangat disesalkan. Apalagi Pemkab Sumenep jauh sebelum pelaksanaan pilkades telah beberapakali memberi pengarahan untuk menerima apapun hasil keputusan yang diambil masyarakat.
"Calon harus siap kalah dan siap menang. Kesanggupan itu tidak saja diucapkan oleh masing-masing calon, tapi juga dilakukan secara tertulis," ujar Drs H Achmad Amsuri, Kabag Pemerintahan Desa Pemkab Sumenep.


Ditambahkan, berbagai upaya agar pelaksanaan pilkades berjalan mulus dan tanpa hambatan sudah dilaksanakan. Mulai dari penyuluhan hukum ke masing-masing kecamatan dengan menyertakan sejumlah calon kades hingga secara persuasif kepada sejumlah tokoh masyarakat.


Selain itu, lanjut Amsuri, aksi tidak terpuji itu bukan karena kehendak dari calon kepala desa yang kalah saja, melainkan dilakukan para pendukungnya yang tidak terima atas kekalahan jagonya. Berbagai upaya dilakukan sebagai aksi emosional kepada calon yang menang.


"Mestinya, jika ada di antara calon atau pendukung yang tidak terima dengan kekalahan dapat menempuh jalur hukum. Bukan malah melampiaskan ke hal-hal yang justru dapat merugikan masyarakat umum," katanya.


Belum Siap Berdemokrasi


Sekretaris Komisi A DPRD Sumenep, Drs H Achmad Mawardi, menilai berbagai aksi tidak terpuji dibalik pilkades merupakan indikator masyarakat masih belum siap untuk berdemokrasi. Para calon masih belum siap kalah dan belum siap menang.
"Faktor penyebabnya mungkin mereka tidak terima, karena biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti pilkades itu cukup besar," ujar Achmad Mawardi.


Dikatakan, kejadian pembongkaran makam, penutupan gedung sekolah dan pembongkaran pasar, bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintahan desa dan proses demokrasi selanjutnya. Karena itu, kasus ini harus mendapat perhatian khusus dari pemkab untuk melakukan berbagai upaya agar kasus serupa tidak terulang kembali.


"Jika hal ini tidak segera diantisipasi, pasti akan muncul lagi kasus yang sama jika salah satu calon yang dijagokan ternyata kalah," katanya. Selain itu, lanjut Mawardi, kejadian itu tidak akan terjadi jika pelaksanaan pilkades dilakukan sesuai dengan peraturan daerah (perda) yang ada. Karena sesuai pengamatannya, justru banyak pelaksanaan pilkades yang keluar dari ketentuan perda.


Salah satunya tidak dilakukan pilkades secara serentak. "Kami berkeyakinan jika pilkades dilakukan serentak lebih menekan berbagai konflik yang akan timbul," tambahnya. Selain itu faktor kurang cermatnya pemerintah seperti camat dan panitia pilkades melakukan pendekatan secara persuasif kepada masing-masing calon untuk menekan para pendukungnya. Lebih-lebih jika para tokoh membentu memberikan pengertian kepada masyarakatnya.


Disulut Para Petaruh


Ketua LSM Syiar Madura, Drs HM Sajali SH MM, erpendapat munculnya anarkisme dengan sasaran fasilitas umum pasca pilkades akan membuat orang luar menilai masyarakat Sumenep belum siap berdemokrasi. "Kasus ini menjadi contoh masyarakat kita masih sangat awam dalam berdemokrasi. Masyarakat masih gampang tersulut emosinya hanya karena kalah dalam pilkades," tandas Sajali.


Menurut Sajali, aksi anarkisme pasca pilkades lebih banyak dipanas-panasi oleh orang luar. Seperti dari kalangan petaruh yang kalah karena jagonya yang menjadi taruhan dalam pilkades ternyata kalah.


Karena itu munculnya aksi anarkis dibalik pilkades tidak serta merta dari calon yang kalah saja, tapi juga dari bisikan orang luar. "Karena itu perlunya penegakan hukum dalam setiap pelaksanaan pilkades. Karena hampir pasti, setiap ada pilkades biasanya dibarengi dengan praktik perjudian," ungkapnya.


Menurutnya, perlunya sosialisasi tentang pendidikan berdemokrasi dan pengetahuan hukum ke desa-desa. Karena selama ini penyuluhan hukum yang digagas bagian hukum pemkab hanya dilakukan di kecamatan yang diikuti oleh segelintir orang saja. "Mestinya di desa-desa juga dilakukan penyuluhan hukum dan demokrasi," pungkasnya.st2


Sumber: Surya, 09/03/2007

Jajaki Pembangunan Pelabuhan Pantura

Aspirasi masyarakat menyangkut pembangunan pelabuhan di kawasan pantura, mendapat angin segar. Itu, setelah pemkab menyetujui dibangunnya dermaga pantura untuk menguatkan ekonomi rakyat. Bahkan, rombongan pemkab kemarin meninjau lokasi yang hendak dibangun dermaga di Desa Batu Kerbuy, Kecamatan Pasean.


Saat meninjau lokasi, Bupati Pamekasan Ach Syafii menilai pembangunan dermaga di pantura cukup rasional. Sejauh ini, perahu nelayan atau kapal yang mengarungi pantura bersandar secara alamiah di dekat pesisir Pasean. Di masa mendatang, katanya, direncanakan sirkulasi dan transportasi pantura lebih baik dari saat ini. Khususnya, pasca dibangunnya dermaga di pantura.


Dia bilang, aspirasi terkait dibangunnya dermaga di pantura, diakui Bupati sudah lama muncul. Tetapi, pihak terkait di pemkab masih survey, mendialogkan bersama, sampai akhirnya dapat menyetujui dermaga tersebut dibangun. Selanjutnya, kata Bupati, diseriusi dengan beberapa agenda. Diantaranya, pemkab menyetujui dermaga tersebut setelah melalui beberapa kajian. Baik menyangkut studi kelayakan dan survey. "Termasuk, kami datang ke lokasi untuk melihat dari jarak dekat," paparnya di Pantai Pasean kemarin.


Menurut Bupati, pembangunan dermaga di Pantura, dijadwalkan untuk jangka pendek dulu. Yakni, pelabuhan akan dibangun berskala regional dulu. Pada perkembangan selanjutnya, direncanakan berkembang dari regional dan nasional. Ini, menindaklanjuti kebutuhan masyarakat terutama menyangkut pertumbuhan ekonomi. Dengan pelabuhan, katanya, diyakini sirklulasi dan arus transportasi lebih cepat dibanding yang terjadi secara alamiah selama ini. "Insyaalah (segera dibangun dermaga, Red.), mohon dukungan dan doa restu," pungkasnya.


Saat tinjau lokasi pelabuhan kemarin, Bupati didampingi hadir bersama Ketua DPRD A. Kholil Asyari. Selain itu, turut mendampingi Bupati Kadishub, Sahlan Efendi, pihak terkait di Kecamatan Pasean, dan Kades Batu Kerbuy H. Yanto. (abe)


Sumber: Jawa Pos, Minggu, 11 Mar 2007

Kongres Kebudayaan Madura Dibuka

Ada Orasi Budaya 4 Bupati, Dimeriahkan Tarian Tradisional


Even yang akan mempertemukan budayawan dan elemen di Madura, ajang digelar mulai hari ini di Sumenep. Kongres Kebudayaan Madura ini diharapkan sebagai tonggak kemajuan Madura. Bagaimana persiapannya?


Secara teknis, persiapan pelaksanaan sudah hampir tuntas. Baik persiapan kongres itu sendiri, maupun gelar seni budaya dan pameran yang juga akan memeriahkan arena kongres.


"Sudah 99 persen siap. Yang 1 persen, hal-hal lain yang terkait dengan nonteknis. Kami mohon dukungan dari seluruh masyarakat Madura, baik yang ada di Madura sendiri maupun yang di luar Madura, sehingga kongres berjalan lancar dan sukses," kata Ketua Panitia Kongres Januar Herwanto, kemarin siang.


Kongres akan dimulai nanti sore pukul 14.00, yaitu paripurna I oleh peserta kongres. Kemudian, malam harinya, pembukaan kongres yang rencananya akan dibuka oleh Menteri Budaya dan Pariwisata (Menbudpar).


Yang menarik, saat pembukaan nanti malam, juga diisi dengan orasi budaya oleh 4 bupati se Madura. Juga dimeriahkan oleh kesenian khas Madura. "Pembukaan akan digelar di halaman depan Hotel Utami Sumekar. Siapa saja boleh nonton. Ini pesta rakyat," kata Januar.


Selanjutnya, selama 2 hari berturut-turut, kongres digelar. Pada Sabtu malam besok, juga digelar pesta rakyat lagi di panggung terbuka di Hotel Utami.


Yang tak kalah pentingnya adalah respons dari peserta kongres dari emapt kabupaten di Madura. Di Pamekasan, kemarin peserta yang akan menjadi duta ke konngres secara khusus di-briefing oleh budayawan Kadarisman Sastrodiwirjo. Ini agar delegasi Pamekasan ikut menyukseskan kongres yang dinilai momen penting untuk menentukan masa depan peradaban Madura yang lebih baik.


Salah seorang peserta briefing Khalifaturrahman mengatakan, budayawan senior meminta delegasi asal Pamekasan serius dan tuntas mengikuti kongres. Dalam briefing yang digelar di Pendopo Budaya Jl Jakatole Pamekasan, puluhan delegasi kongres mendapat pembinaan dan pengarahan. Secara umum, peserta kongres asal Kota Gerbang Salam ini berkomitmen terhadap pengembangan peradaban Madura.

Selain itu, poin penting yang disampaikan budayawan senior Pamekasan, agar peserta tidak hanya datang, diam, duduk, dan tanpa ide. "Intinya, ya diminta ikut menyukseskan kongres," tegasnya di Pendapa Budaya, kemarin.


Selain diminta menyukseskan, peserta kongres dibagi ke beberapa komisi. Diantaranya, komisi kebahasaan, kependidikan, dan kesenian yang dimungkinkan muncul pada saat kongres. Pembagian ini dinilai dapat memudahkan koordinasi antardelegasi dari Pamekasan. Begitu kongres memutuskan job discription sesuai komisi, Pamekasan telah siap lebih dulu. "Kami juga menyiapkan beberapa butir pemikiran tentang kebudayaan Madura," ungkapnya.


Menurut dia, pemetaan peserta yang melibatkan DKM (Dewan Kesenian Mekkasen) dinilai mempermudah koordinasi. Sehingga, semua peserta telah saling kenal lebih dulu sesuai kompetensinya masing-masing. Berdasarkan daftar undangan yang disodorkan panitia kongres kebudayaan di lokal Pamekasan, terdapat berbagai bidang. Diantaranya, menyangkut teater, art photography, tari tradisional, pendidikan ala pesantren, sastra, dan kompetensi lainnya. "Kami sudah menyiapkan konsep pasca pra kongres jilid II," ternagnya.


Sementara di Sumenep, dukungan terus mengalir demi sukesenya kongres. Termasuk juga dari pemkab. Bahkan, pemkab berharap kegiatan yang kali pertama digelar di Madura ini dapat mengrubah anggapan negatif masyarakat luar terhadap budaya Madura.


Wakil Bupati Sumenep Moch. Dahlan mengharapkan pelaksanaan kongres dapat memberikan sesuatu yang positif terhadap masyarakat dan perkembangan budaya Madura. Dia juga merasakan, di era globalisasi dan keterbukaan informasi, budaya asli Madura mulai banyak terkikis, karena tingkah laku masyarakat Madura sendiri.


Dia mencontohkan, budaya adab asor yang mulai jarang ditemui di masyarakat. "Saya ingat ada pribahasa bupa’ babu’ guru rato. Pribahasa kuno ini sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat kita sendiri. Ini yang membuat kita prihatin," ujarnya.


Mantan pejabat Pemkab Bangkalan ini membandingkan dengan masa beberapa tahun yang silam. Menurut dia, budaya Madura saat ini mengalami degradasi, terutama pada moral dan tingkah laku. "Yang muda tidak lagi menghargai yang tua dan anak tidak lagi menghormati orangtua. Ini juga merupakan bagian dari krisis budaya kita," katanya.


Untuk itu, dia berbesar harapan dengan adanya Kongres Kebudayaan Madura dapat memperbaiki prilaku budaya dan citra masyarakat Madura, baik dari dalam maupun masyarakat luar Madura. "Kongres ini bukan hanya sebatas wacana dan opini, namun juga harus ada action," tandasnya.


Aksi untuk mengubah budaya negatif masyarakat Madura ini, sambungnya, perlu adanya peranserta dari seluruh lapisan masyarakat. Baik itu pemerintah, tokoh masyarakat, dan para pendidik. "Selain itu, masyarakat Madura yang ada di luar juga perlu menjaga budaya Madura yang positif dan meninggalkan yang negatif, seperti budaya carok," harapnya.


Sedangkan Kepala Badan Komunikasi dan Informasi (Bakominfo) Sumenep Drs Didik Untung Samsidi juga menyambut baik kongres. Dia mengharapkan konres dapat memperbaiki citra dan meluruskan anggapan negatif masyarakat dalam maupun luar Madura terhadap budaya Madura.


"Mudah-mudahan, kongres ini tidak hanya mengubah anggapan masyarakat luar Madura, tapi juga warga Madura sendiri lebih mencintai dan melestarikannya," harapnya. (A. ZAHRIR RIDLO)


Sumber: Jawa Pos, Jumat, 09 Mar 2007

Kepulauan Tolak OPM

Sumenep, Jawa Pos - Beras untuk keluarga misin (raskin), tampaknya paling tepat dijadikan senjata untuk mengintervensi harga beras di pasaran. Indikasinya, sedikitnya tiga kecamatan di kepulauan menolak pelaksanaan operasi pasar murah (OPM) beras murah.


Ketiga kecamatan kepulauan yang menolak OPM itu adalah Kecamatan Ra’as, Arjasa, dan Masalembu. Rupanya, ketiga kecamatan tersebut telah menebus raskin dan telah mendistribusikan kepada masyarakat luas.


Itu pantas saja terjadi, karena harga raskin dijual lebih murah, yaitu Rp 1.000 per kg. Sedangkan harga beras OPM sebesar Rp 3.700 per kg. Apalagi, tiap bulannya raskin yang dikucurkan ke sejumlah daerah pada tahun ini lebih besar dari OPM yang dikeluarkan Dolog.


Itu diungkapkan Kepala Bagian Perekonomian Pemkab Sumenep Drs Moh. Sadik kepada sejumlah wartawan kemarin. Sebenarnya, kata dia, ketiga kecamatan itu bukan menolak OPM begitu saja. "Mereka hanya khawatir, jika pemkab menggelar OPM di pulau, kemungkinan beras murah itu tidak akan terbeli. Sebab, masyarakat telah membeli raskin dengan harga yang jauh lebih murah, sedangkan kualitasnya sama dengan beras OPM," ujarnya.


Penolakan beras OPM itu, rupanya menimbulkan persoalan baru bagi pemkab, terutama untuk Kecamatan Raas. Sebab, beras OPM untuk kecamatan itu telah tiba di lokasi. Sementara untuk mengangkut lagi ke Sumenep daratan dibutuhkan biaya transportasi yang tidak sedikit.


"Kami akan mencari solusi untuk mengalihkan OPM ke kepulauan terdekat, seperti Kecamatan Gayam dan Nong-Gunong. Apalagi, di Gayam Raskin masih belum ditebus, katanya.


Sadik menambahkan, OPM beras yang belum dikirim ke daerah-daerah, akan tetap disimpan di gudang dolog. "Sewaktu-waktu kita akan keluarkan jika ada daerah yang membutuhkan," ungkapnya. (zr)


Sumber: Jawa Pos, Rabu, 07 Mar 2007

Kongres Kebudayaan Madura

Sebuah Langkah Penyelamatkan Kebudayaan Adiluhung


HIDUP yang keras dan kekerasan telah menjadi stereotipe etnis bagi orang Madura yang melekat sampai sekarang. Seperti carok, yakni perkelahian dengan menggunakan senjata tajam, yang masih kerap terjadi hingga sekarang, menperkuat pandangan negatif orang luar kepada orang Madura.


Padahal, banyak orang luar Madura yang pernah singgah di Pulau Garam ini mengaku bahwa orang Madura adalah orang yang ramah, jauh dari sangkaan negatif tersebut. Sesungguhnya, masih banyak nilai-nilai adiluhung dari kebudayaan Madura yang belum dikenal oleh orang luar.


Sesungguhnya pula, banyak nilai-nilai budaya dan karya-karya seni-budaya bertebaran di Pulau Madura. Nilai-nilai dan karya-karya budaya itu sampai sekarang masih hidup di tengah masyarakat. Bahkan, dengan sejarah tingginya migrasi orang-orang Madura, nuansa Madura masih sangat terasa di Jawa Timur bagian timur, mulai Bangil hingga ke Banyuwangi. Jadi, kebudayaan Madura telah mengalami difusi ke luar.


Kongres Kebudayaan Madura yang bakal digelar di Songennep (Sumenep) pada 9-11 Maret 2007, sebagai salah satu langkah menyelematkan kebudayaan Madura. "Kita berharap bisa melihat konvigurasi kebudayaan kita dewasa ini dan menyiapkan strategi kebudayaan untuk masa depan masyarakat Madura yang lebih baik dalam berbagai aspeknya. Dalam kehidupan global dewasa ini, dimana kebudayaan cenderung bersifat maya dan mengambang, tradisi dan kebudayaan lokal merupakan tanah tempat kebudayaan kita begitu konkret dan berakar kuat, serta mungkin menjuntaikan buah yang ranum ke dunia luar. Dengan cara itu, kebudayaan Madura akan memberikan sumbangan berarti pada kebudayaan nasional, bahkan kebudayaan global," kata Jamal D. Rahaman, Pemred Majalah Horison yang merupakan putra Sumenep.


Perlu diakui pula, arus modernisasi lambat laun telah menggerus nilai-nilai budaya masyarakat Madura. Kita tidak bisa menyalahkan arus modernisasi itu, kecuali kita punya kearifan lokal yang bisa membendungnya. Salah satu contohnya, Bahasa Madura yang menjadi salah satu unsur penting dari kebudayaan Madura, nyaris tak dipakai lagi dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, dalam konsep kebudayaan, bahasa menunjukkan bangsa.


Begitu juga dengan masih rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar dari masyarakat Madura, menjadi salah satu faktor tidak berkembangnya kebudayaan Madura. Dari tahun ke tahun, kebudayaan Madura mengalami stagnasi. Belum ada upaya serius dari pemerintah atau masyarakat Madura sendiri untuk menggali, mengembangkan, dan melestarikan kebudayaan dan hasil karya kebudayaan Madura.


Masyarakat Madura yang mayoritas bergama Islam, dikenal sebagai penganut Islam yang kuat. Corak kehidupan masyarakat dilandasi agama dan kultur Islam yang masih kuat dalam pola hidup kesehariannya. Di masyarakat Madura, menurut Abdurahman (1991), tidak dikenal Islam abangan. Sebab, katanya, golongan yang bukan santri hampir tidak ada, karena orang Madura hampir semuanya pernah mengaji di pondok pesantren/madrasah-madrasah atau langgar.


Seiring dengan arus modernisasi yang terus menggempur masuk Madura, tidak mengubah tradisi dan kultur masyarakat Madura secara besar-besaran. Namun demikian, benturan antara budaya tradisional dengan modern memang tidak dapat dielakkan. Di sinilah pondok pesantren punya peranan penting bagi masyarakat dan kebudayaan Madura, terutama dalam pendidikan moral dan agama.


Begitu juga dengan pembangunan jembatan Suramadu, akan semakin membuka Madura dari dunia luar. Arus barang, jasa, juga orang akan lebih padat, yang bisa membawa peradaban baru masuk Madura. Apalagi jika kemudian muncul industrialisasi Madura. Tentunya, itu adalah tantangan bagi masyarakat Madura untuk berusaha agar kulturnya tidak terkikis. Jika bukan masyarakat Madura sendiri yang melakukan, siapa lagi? Jawabnya, orang Madura sendiri yang bertanggung jawab terhadap kebudayaannya.


Maka, tantangan bagi penyelamatan kebudayaan Madura sungguh sangat besar. Dengan berbagai kompleksitas di atas, dalam Kongres Kebudayaan Madura bakal membahas secara komprehensif 3 pokok pikiran. Yakni, Orang Madura, Pendidikan dan Pesantren, dan Seni Budaya, dan Bahasa Madura. Ketiga pokok pikiran itu akan dibahas dalam 3 komisi pula.


Perkembangan yang menarik, setelah diadakan pra kongres di Pamekasan pada 3 Maret lalu, budayawan yang hadir dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep sangat merespons dan mendukung Kongres Kebudayaan Madura ini. Saat pra kongres, yang banyak dibahas adalah soal Bahasa Madura dan seni budaya Madura. Dengan memprediksi bakal "beratnya" pembahasan, maka di Komisi Seni, Budaya, dan Bahasa dipecah lagi menjadi tiga komisi, yakni subkomisi kesenian, subkomisi budaya, dan subkomisi Bahasa Madura.


Yang menarik juga, para peserta pra kongres mengingatkan tindak lanjut pasca kongres. Mereka berharap, selain menghasilkan keputusan-keputusan dan rekomendasi, ada tindak lanjut konkret pasca Kongres Kebudayaan Madura. Ada yang mengusulkan perlu dibentuk Dewan Kebudayaan Madura, yang anggotanya para pegiat seni dan budaya se Madura.


Sesungguhnya, masih banyak pekerjaan rumah bagi masyarakat Madura untuk menyelematkan dan mengembangkan kebudayaannya. Hal ini bukanlah tanggung jawab orang perorang, lembaga perlembaga, tapi tanggung jawab semua elemen masyarakat Madura. Baik yang berada di Madura sendiri maupun yang di luar Madura sana. Tanpa suntikan "darah" semangat itu, mustahil kebuadayaan Madura bisa diselamatkan dari gerusan kebudayaan global. Mengutip judul puisi D. Zawawi Imron: "Madura Akulah Darahmu". (mat)


Sumber: Jawa Pos, Senin, 05 Mar 2007

Kepemimpinan Informal di Madura

Oleh : Abdur Rozaki


DI SAAT melakukan penelitian tentang tokoh informal di Madura, sebagian besar para akademisi selalu memiliki kesimpulan yang tunggal, yakni para kiai atau tokoh agamalah yang memiliki pengaruh dominan sebagai informal leader di Madura. Kesimpulan itu memang tidak salah, namun tidak cukup lengkap.


Saat melakukan penelitan untuk tesis master di UGM, saya menemukan temuan baru dalam konteks kajian akademis-meskipun bagi orang Madura sendiri bukan hal yang baru-bahwa tidak hanya kiai yang menjadi bagian penting bagi elite masyarakat pedesaan, informal leader yang signifikan, tapi juga para blater. Blater adalah elite pedesaan yang memiliki social origin dan tradisi yang berbeda dengan kultur kiai. Bila kiai dibesarkan di dalam kultur keagamaan, sedangkan blater dibesarkan dalam kultur jagoanisme, dekat dengan ritus kekerasan. Bila kiai dekat dengan tradisi tahlilan dan pengajian, maka blater dengan dengan tradisi sandur, remoh dan kerapan sapi. (Rozaki:2004).


Memang istilah blater hanya popluer di Madura bagian barat (Bangkalan dan Sampang). Sedangkan di Madura bagian timur (Pamekasan dan Sumenep) lebih populer dengan sebutan bajingan. Dari sekian banyak elite jagoan yang saya wawancarai, kesimpulan yang dapat dipetik, ternyata ada tingkatan dan kelas tersendiri yang membedakan pengertian bajingan dengan blater. Potret bajingan lebih kental bermain pada dunia hitam dan memiliki perangai yang kasar dan keras. Sedangkan blater sekalipun dekat dengan kultur kekerasan dan dunia hitam, namun perangai yang dibangun lebih lembut, halus dan memiliki keadaban. Di kalangan mereka sendiri dalam mempersepsikan diri, blater adalah bajingan yang sudah naik kelas atau naik tingkat sosialnya.


Untuk menyebut informal leader selain kiai, saya lebih senang mempopulerkan istilah blater dibandingkan bajingan. Bahasa blater adalah khas Madura yang tidak ditemukan di berbagai daerah lainnya bila menyebut sosok istilah jagoan. Bila di Banten ada jawara, Betawi ada jagoan, maka di Madura ada blater. Sedangkan istilah bajingan hampir ditemukan di banyak tempat, khususnya di Jawa.


Proses waktu memberikan gambaran pada kita bahwasannya komunitas blater sudah menjadi fakta sosial (social fact) yang tidak dapat dibantah. Sekalipun Islam mendominasi percaturan sosial politik, ekonomi, dan budaya di Madura, tetapi dalam perkembangan Islam di masyarakat kenyataannya tidak saja melahirkan elite kiai semata, namun tumbuh kultur lain yang selalu beririsan antara dialektika Islam dan adat atau kebiasaan lokal yang embrionya tumbuh sebelum Islam populer di Madura. Tradisi carok dan kerapan sapi embrionya sebenarnya berasal dari kultur adat atau tradisi lokal Madura. Kedua tradisi ini sampai saat ini kalau dikritisi menjelaskan masih adanya ketegangan simbolik antara kultur Islam dengan kebiasaan lokal. Namun, ketegangan ini diselesaikan dengan secara "sinkretis", yakni keduanya diakomodasi sebagai nilai kemaduraan.


Sudah waktunya kini orang Madura merefleksikan ulang, carok yang seperti apakah yang ’islami’ dan ’kafiri’ agar tidak terjadi gebyah uyah seolah membunuh orang itu dilegalisasi oleh adat dan tradisi bahkan Islam. Terlebih kalau didialogkan dengan hukum bernegara di Indonesia.


Ranah Sosial Kiai dan Blater


Melihat perkembangan sosial budaya peran kiai dan blater ini menarik untuk terus dicermati. Bila kiai di masa lalu sebatas menjadi elite di masyarakat pedesaan, untuk konteks Madura pasca reformasi, kini kiai juga menjadi bagian penting dari elite perkotaan, karena posisi kekuasaan formal yang kini disandangnya. Banyak kiai yang duduk di jabatan formal, baik sebagai bupati dan anggota dewan. Jadi dalam perkembangan sekarang, ada dua pilah kiai, yakni mereka yang benar-benar murni sebagai informal leader. Meminjam istilah terbaru Gus Dur, yakni kiai kampung. Kiai kampung adalah kiai yang sangat dekat dengan aktifitas keseharian rakyat, jauh dari politik kekuasaan. Sedangkan kiai politik menempel di kekuasaan.


Peran kiai politik sebagai informal leader bergeser menjadi pemimpin formal (formal leader). Kiai kampung konsisten berada di jalur kultural sedangkan kiai politik berada di jalur struktural. Perkembangan ini sebenarnya sesuatu yang wajar saja dalam alam berdemokrasi.


Permasalahannya adalah bila kiai politik ini gagal menjalankan politik pemerintahan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka akankah nasib komunitas kiai akan serupa dengan nasib para kaum priyayi di Madura yang mengalami kebangkrutan kultural dan struktural menjelang akhir abad 19? (Mansoornor:1995). Saat itu kaum priyayi memegang kendali kekuasaan formal di Madura, birokrasi dikuasai dan dikendalikan para priyayi. Tapi jabatan yang diemban tidak untuk membuat masyarakat sejahtera malah sengsara sehingga rakyat lebih cinta pada kiai yang posisinya kala itu sebagai informal leader. Sejarah akan menguji akankah nasib kiai akan sama dengan para priyayi? Para kialah yang dapat menjawabnya.


Lalu bagaimana dengan komunitas blater? Kaum blater masih dominan di posisi sebagai elite pedesaan, belum merangkak secara cepat layaknya kiai yang begitu eksis dan tampil dominan sebagai elite perkotaan. Blater sebagai orang kuat di desa masih tampil cukup dominan. Di pedesaan, komunitas blater masih memainkan peran sebagai broker keamanan dalam interaksi ekonomi dan sosial politik. Selain itu, tak sedikit yang bermain di dua kaki, selain sebagai broker keamanan juga sebagai tokoh formal, yakni menjadi state apparatus dengan cara menjadi klebun (kepala desa). Di banyak tempat di pedesaan Madura, tak sedikit klebun desa berasal dari komunitas blater atau dipegaruhi oleh politik perblateran.


Jebakan Krisis


Tanda-tanda adanya krisis di kalangan informal leader di Madura mulai tampak ke permukaan. Ironisnya, justru terjadi di era reformasi. Padahal, di era ini terdapat nilai desentralisasi dan otonomi daerah yang orientasinya mendekatkan negara terhadap masyarakatnya melalui kebijakan pemerintahan yang partisipatif, akomodatif terhadap aspirasi masyarakat sehingga kebijakan daerah berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pendapatan ekonomi masyarakat meningkat. Akses pendidikan, kesehatan, perumahan dan pekerjaan menjadi semakin mudah dan murah.


Ada kecenderungan praktik desentralisasi dan otonomi daerah justru semakin meningkatkan beban dan biaya hidup masyarakat. Kebutuhan pokok terus meningkat naik tanpa disertai pendapatan rakyat yang meningkat pula. Berbeda balik dengan para pejabat formal yang terus menaik pendapatannya. Kini ada jurang yang semakin lebar antara masyarakat dengan elitenya, baik formal leader ataupun informal leader.


Visi kepemimpinan mereka kini tak lagi berorietasi ke bawah, tapi terus menjulang ke atas menggapai impian diri, bukan mewujudkan impian rakyatnya. Bila kondisi ini terus memburuk, maka tidak menutup kemungkinan trust masyarakat yang dulunya tinggi terhadap kiai secara berlahan akan melemah. Bila laju politik dan sosial ekonomi pemerintahan tak lagi membela dan melindungi masyarakat, tokoh informal yang selama ini diandalkan tak lagi menemaninya. Kemana lagi rakyat harus mencari pemimpin yang dapat mengayominya? Akankah ’ratu adil’ itu akan datang? Dari mana ratu adil itu akan berasal? Jawabannya, ratu adil itu kini harus dicari di dalam kalbu dan inisiatif rakyat sendiri untuk memulai langkah baru yang kritis, inovatif mendorong perubahan ke arah yang lebih baik. Wallahua’lam bissowab.


Penulis: Abdur Rozaki, dosen di UIN Jogjakarta


Sumber: Jawa Pos, Rabu, 07 Mar 2007

Siswa SMP Al-Irsyad Juara I

Sampng, Jawa Pos - Setelah melewati seleksi ketat, Solikin akhirnya ditahbiskan sebagai Juara I Lomba Matematika 2007 se-Madura dalam ajang khawarism competitions. Pada lomba yang digelar Sabtu (3/3) oleh BEM F-MIPA Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan tersebut, siswa kelas 9 SMP Al-Irsyad ini mampu menyisihkan 289 siswa terbaik duta SMP negeri/swasta se-Madura.


Untuk menyandang predikat nomor wahid, tahapan yang dilalui siswa kelahiran Jakarta 11 Mei 1991 ini cukup berat. Pertama, harus lolos dalam lomba pra-semifinal yang diikuti 89 siswa SMP negeri/swasta asal Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Setelah itu, dipertemukan dengan peserta hasil seleksi pra-semifinal dari Kabupaten Pamekasan dan Sumenep.


Klimaknya, Sabtu (3/3) kemarin, putra ketiga pasangan H Nasir dan Hj Aisyiah ini mengikuti fase semifinal dan final di UIM Pamekasan bersama 39 siswa SMP pilihan se Madura. Hasilnya, panitia lomba menetapkan Solikin Juara I Lomba Matematika. Untuk Juara II diraih Abrory (SMPN 2 Pamekasan) dan Juara III disabet Doni Habibur Rahman (SMPN 1 Pamekasan).


Namun demikian, keberhasilan ini tidak lantas membuat Solikin tinggi hati. Siswa yang dikenal pendiam dan murah senyum ini, menganggap prestasi tersebut sebagai "kado" atas kerja keras kepala sekolah dan dewan guru. Termasuk, dukungan penuh jajaran yayasan Tanwirul Islam tempat dia mondok untuk menempa ilmu.


Yang menarik, ada cerita unik di balik kesuksesan Solikin. Selain ditempa beragam materi oleh guru pembimbingnya, Fathor Rohman, selama sebulan dia juga punya kiat khusus guna mengoptimalisasi daya serap dan pemahaman terhadap mata pelajaran eksakta.


"Saya pengagum Suwah Sembiring (salah seorang penulis asal Bandung, Red). Karya bukunya tentang mata pelajaran Matematika pasti saya koleksi. Kalau menjumpai kesulitan pelajaran, pasti berkonsultasi via handphone dengan beliau," ujar Solikin polos sambil menunjukkan foto Suwah Sembiring.


Kepala SMP Al-Irsyad Moh. Kholil SPd MMPd mengatakan, pihaknya mengaku sangat bangga sekaligus terharu atas keberhasilan anak didiknya. Selain tampil juara, dia bangga melihat Solikin bisa bersaing bersama utusan siswa berlabel Sekolah Berstandar Internasional (SBI) dan Sekolah Standar Nasional (SSN).


"Kesuksesan ini benar-benar tidak kami sangka. Meskipun berasal dari siswa SMP pelosok, dia (Solikin, Red.) bisa sukses dan mengharumkan almamater. Buktinya, Solikin bisa mengungguli peserta dari SMPN 1 Pamekasan dan SMPN 2 Pamekasan," kata Kholil terharu.


Lalu, Kholil menjelaskan, meski mengaku tidak mempunyai target khusus, pihak sekolah tetap membekali murid-muridnya dengan beragam materi ilmu eksakta. "Seminggu tiga kali selama sebulan, kami bekali mereka dengan les tambahan," ujarnya.


Sementara Ketua Yayasan Tanwirul Islam, KH Jama’ah, menandaskan, selain ditopang kemampuan daya serap, Solikin sukses berkat permohonan do’a kepada Allah SWT. "Kami selalu bemunajat agar yayasan ini bisa mencetak generasi berprestasi yang berahlaqul karimah," tandas kyai simpatik ini. (fiq)


Sumber: Jawa Pos, Senin, 05 Mar 2007

Musik Madura di Citra Raya

Surabaya, Jawa Pos - Suara musik hasil kolaborasi berbagai alat memecah keheningan suasana sore hingga malam di kawasan Citra Raya kemarin. Sekitar 30 pemusik yang bergabung dalam Kelompok Perkusi Keramat dari Pamekasan, Madura, memainkan musik kolaborasi di depan Dream of Kahyangan Art Resto.


Mereka tampil memeriahkan Kahyangan Art Festival (KAF). Tak ayal, aksi mereka mencuri perhatian warga sekitar. Bahkan, tidak sedikit pengendara yang berhenti karena penasaran mendengar suara rancak tersebut.


Sebanyak 30 pemusik itu memang tampil all-out. Mereka datang dari Madura tak hanya memainkan berbagai alat musik, tapi juga melengkapi dengan pakaian khas Pulau Garam itu. "Mereka khusus didatangkan untuk memperkaya esensi budaya dalam festival ini," jelas Heri Lentho, programmer KAF.


Kennong tello', terbang, saron, kendang, gong , dan dug-dug Madura adalah alat-alat yang mereka bawa ke Surabaya. Untuk lebih memunculkan ciri khas Madura, kelompok tersebut juga membawa saronen, alat musik tiup khas pulau tersebut.


Pertunjukan itu menarik karena tak hanya lagu-lagu daerah Madura yang dibawakan, tapi juga lagu nasional dan lagu populer. Tanduk Majeng, Yale-Yale, Nyello' Aeng, hingga Surabaya dimainkan satu demi satu.


"Penampilan mereka cukup memikat. Sangat jarang ada pertunjukan seperti itu. Mereka membawa nuansa seni yang kental di daerah ini," ujar Jimmy Tan, salah seorang warga Citra Raya, yang kebetulan lewat dan mampir.


Kahyangan Art Festival digagas untuk melestarikan dan menunjukkan budaya Indonesia. Ajang tersebut akan terus dilakukan hingga akhir 2007. (ode)


Sumber: Jawa Pos, Minggu, 04 Mar 2007,

Terbang ke Madura Tak Sekadar Mimpi

Sumenep, Surya - Setelah Jember dan Banyuwangi, ada lagi lapter perintis yang tengah dirancang di Jatim, yakni Lapter Trunojoyo dan Lapter Pagerungan di Sumenep. Rencananya, kedua lapter terakhir sudah bisa beroperasi tahun 2007. Bagaimana nasib dua lapter ini, berikut laporannya.


Sama dengan warga Jember dan Banyuwangi, warga Madura juga bermimpi memiliki sarana tranportasi alternatif yang lebih cepat dan murah. Mimpi ini memang tengah direalisasi, dengan merancang Lapangan Terbang (Lapter) Trunojoyo dan Lapter Pagerungan Besar di Sumenep.


Awal tahun 2007 ini, sejumlah maskapai dikabarkan mulai melirik dua lapter perintis di Madura ini. Mereka antara lain Pelita Air, Merpati, Riau Airland, dan Susi Airland.


Para calon investor tertarik terhadap kedua lapter ini karena Madura memiliki sedikitnya 22 kontraktor production sharing (KPS) di bidang minyak dan gas.
Para kontraktor dan karyawannya yang berada di pulau-pulau kecil sekitar Madura merupakan pasar perusahaan penerbangan.


Lapter Trunojoyo dirancang berada di Desa Marengan, Kecamatan Kalianget. Desa ini berbatasan dengan Desa Pabian, Kecamatan Kota Sumenep. Saat ini, di Marengan sudah ada landasan pesawat yang kerap dipakai mendarat pesawat-pesawat jenis helikopter maupun pesawat kecil lainnya. Landasan itu dibangun sekitar tahun 1974-an.
Kunjungan-kunjungan pejabat negara yang menggunakan pesawat terbang, bahkan kerap menggunakan lahan di Marengan ini sebagai landasan landing maupun take off pesawat.
Begitu pula di Desa Pagerungan, Kecamatan Sapeken, Sumenep. Di Pulau Pagerungan ini sudah ada landasan udara milik PT Energi Mega Persada (EMP) Kangean Limited. Selama ini, landasan di base camp PT EMP telah digunakan sendiri oleh karyawan perusahaan.


"Saat ini mobilisasi para pekerja, terutama kalangan ekspatriat, di KPS-KPS itu menggunakan pesawat sewaan. Tentu saja, cost mereka jauh lebih besar dibanding jika di Madura sini sudah ada penerbangan umum," ujar Kadis Perhubungan Sumenep Drs H Achmad Aminullah, Jumat (2/2).


Oleh karena itu, keberadaan lapangan terbang yang memenuhi syarat untuk jalur penerbangan udara sangat dibutuhkan, kendati besarnya tidak harus sama dengan bandara internasional. "Melihat masih terbatasnya pasar dan kondisi lapter yang tengah dibangun, maka mungkin hanya pesawat jenis tertentu yang dapat mendarat," papar Aminullah. Jenis pesawat yang mungkin cocok untuk dua lapter di Madura ini adalah Twin Otter, Casa 212, atau pesawat ringan Britten-Norman, yang berkapasitas tidak lebih dari 20 penumpang.


Pemkab Sumenep, lanjut Aminullah, telah menangkap dengan baik peluang membangun dua lapter perintis itu. Berbagai upaya pembenahan untuk menjadikan Lapter Trunojoyo layak dilalui jalur penerbangan udara telah dilakukan, antara lain dengan menganggarkan dana APBD 2006 sebesar sekitar Rp 2,8 miliar.


Tak hanya itu. Demi terwujudnya impian memiliki lapter perintis, pemkab juga sudah menjalin kerja sama dengan TNI-AL dan LKPM Unibraw Malang. Itu sebabnya, sejak akhir 2006 berbagai sarana vital lapter telah dikerjakan, meski hingga kini belum rampung sepenuhnya.


Beberapa item bangunan yang sedang dalam proses pembenahan adalah runway (landasan pacu) dan tempat parkir. Selain itu, tahun 2007 juga akan dibangun tower dan diadakan alat-alat navigasi serta komunikasi udara.


"Sesuai maket, kami masih akan membangun landasan baru yang lokasinya di samping runway Lapter Trunojoyo saat ini. Sedangkan landasan lama akan dijadikan take way (landasan pacu lambat)," terang Aminullah.


Dihentikan


Pembangunan runway Lapter Trunojoyo yang dimulai sejak Oktober 2006 sempat terhenti sejenak. Ini terkait temuan yang menyatakan pengerjaan bangunan tidak sesuai dengan bestek. Menurut Aminullah, pembangunan dihentikan setelah pihak Dishub Sumenep menerima laporan dari konsultan pengawas bahwa ada sebagian pekerjaan yang tidak sesuai dengan rencana. Ini terkait kualitas hotmix landasan.


Mendapat laporan itu, pihak Dishub bersama konsultan pengawas dan Dinas Teknis PU Binamarga Sumenep mendatangi lokasi proyek. Lewat surat tertanggal 12 Januari 2007 yang ditujukan kepada PT Sumber Muda Jaya, Dishub menghentikan pengerjaan proyek sambil menunggu hasil tes laboratorium.


"Jika dalam uji laboratorium terbukti bahwa hotmix tidak sesuai bestek, maka kami akan meminta PT Sumber Muda Jaya untuk memperbaikinya," tandas Aminullah.
Direktur PT Sumber Muda Jaya Abdul Rozaq saat ditemui dalam sidak mengaku siap memperbaikinya, jika proyek tidak sesuai bestek. Pembangunan ranway Lapter Trunojoyo sepanjang 850 meter menelan anggaran Rp 1,6 miliar.


Cocok untuk Bisnis


Anggota Panggar DPRD Sumenep Malik Effendi SH menyambut baik terobosan Pemprov Jatim -- yang didukung Pemkab Sumenep -- untuk mengoperasikan Lapter Trunojoyo.
"Lapter ini diprediksi bisa membantu meringankan biaya transportasi, karena biaya yang dikeluarkan untuk transporasi darat justru lebih mahal," ujar Malik, Jumat (2/3).


Perjalanan udara, katanya, juga lebih hemat waktu. Para pebisnis akan lebih mudah dan cepat bertransaksi. "Intinya, mereka pasti memilih jalur ini, karena lebih menguntungkan," tambahnya. Lebih dari itu, keberadaan Lapter Trunojoyo, juga akan membuka peluang pengembangan obyek-obyek wisata di Madura, terutama pasca pembangunan jembatan Suramadu.


Cita-cita membangun Sumenep sebagai kota wisata akan semakin gampang terwujud, jika di Madura ada lapter. "Link wisata dengan obyek-obyek wisata lain di Jatim akan lebih mudah dijalin jika ada lapter," paparnya. Hanya saja, tambah Malik, Sumenep perlu betul-betul mempersiapkan sarana dan prasarana bagi beroperasinya Lapter Trunojoyo.


Penyelesaiannya Bakal Molor


Kendati pemprov menargetkan tahun 2007 ini lapter di Madura, terutama Lapter Trunojoyo, bisa rampung, namun dalam praktik dipastikan molor. "Hingga kini keberadaan sarana dan prasarana kelengkapan lapter masih belum ada. Bahkan, penggarapan runway masih baru mulai," ungkap Ketua Komisi C DPRD Sumenep Drs Achmad Hanafi, Jumat (2/3).


Menurut Hanafi, kendati runway atau landasan pacu bisa dimungkinkan dapat diselesaikan tahun 2007, tetapi sejumlah peralatan penunjang untuk sebuah lapter sederhana pun masih belum ada. Karenanya, sangat kecil kemungkinan Lapter Trunojoyo bisa dioperasikan sesuai rencana. "Mestinya, sarana penunjang seperti alat komunikasi dan menara pengawas, sudah ada. Kalau sekarang yang ada hanya runway ya nggak mungkin-lah," ungkap Hanafi.


Lapter Trunojoyo, lanjutnya, mungkin baru bisa dioperasionalkan tahun 2008. Tetapi, itu pun masih perkiraan. Sebab, jika pengerjaan proyeknya belum juga selesai taun 2007, maka mungkin bisa molor lagi hingga tahun berikut. Apalagi, rencana bantuan dana pembangunan Lapter Trunojoyo dari pemprov sebesar Rp 600 juta hingga kini belum ada kepastiannya kapan cair. "Khusus masalah hotmix runway yang sempat dihentikan karena tidak tidak sesuai bestek, sekarang sudah tidak ada masalah lagi, sudah jalan," tuturnya.


Sebelum dioperasikan, kata Hanafi, lapter akan disurvei Dirjen Perhubungan untuk menentukan layak-tidaknya beroperasi, terutama menyangkut keselamatan penumpang dan maskapai penerbangan yang akan beroperasi. "Kalau maskapainya, itu sangat mudah, bahkan sudah banyak yang antre," tuturnya. Hanafi berharap, pihak Pemprov Jatim maupun Pemkab Sumenep serius menyelesaikan proyek itu. (st2)


Sumber: Surya, Monday, 05 March 2007

Achmad Musa: Kolektor Benda Pusaka

Dititipi Pusaka Sariwangi dari Mimpi


Bagi kalangan penggemar dan kolektor benda-benda pusaka, nama Achmad Musa tidak asing lagi. Dia mengoleksi puluhan dan beragam pusaka. Apa saja?


Deretan pusaka yang ditata secara apik dan diberi bingkai buffet itu ada di hampir seluruh ruang di rumah Ach. Musa, jalan Trunojoyo Gg III/37 Bangkalan. Koleksinya mulai dari ruangan tamu, ruang makan, hingga kamar tidurnya. Pusaka-pusaka hampir kesemuanya berupa keris (sken).


Sedikitnya 140 pusaka kini dimiliki Musa. Mulai dari keris berukuran kecil, mata tombak, trisula, cakra, clurit, hingga pedang. Juga ada keris berbentuk pisau dan keris berukuran besar sekitar 1 meter di rumahnya.


Yang menarik, dari koleksi-koleksi itu merupakan pusaka kerajaan dari berbagai kerajaan kuno di Indonesia. Seperti Kerajaan Sumenep, Sampang, Mataram (Jogjakarta), Singosari, hingga Tuban dan Kahuripan di Kediri.


Tidak ketinggalan pula dari Kerajaan Madura Barat atau Bangkalan. Musa berhasil mengoleksi keris Sengkelat atau dikenal keris Luk 13, Cakra, dan Sariwangi yang konon kabarnya merupakan pusaka yang dimiliki Sultan sebagai benteng keharuman sekaligus penjaga Bangkalan.


"Alhamdulillah, sebagai kolektor saya bisa mengoleksi keris-keris Kerajaan Bangkalan ini dengan baik," tutur Musa kala ditemui di rumahnya, kemarin siang.


Untuk mendapatkan pusaka-pusaka kerajaan ini, kolektor yang juga memiliki profesi memandikan pusaka ini membelinya atau memaskawini-istilah di dunia koleksi benda pusaka-dari orang-orang yang memiliki garis keturunan dengan Sultan Abdul Kadir (raja Bangkalan) yang berhasil dikumpulkannya. Namun, khusus pusaka Sariwangi, dirinya tidak membelinya melainkan dititipi oleh orang yang datang dalam mimpi yang mengaku bernama Kadirun.


"Untuk satu pusaka ini (Sariwangi, Red) saya harus menjaganya, betapun ada kolektor yang tertarik. Sebab, itu kan titipan," kataya sembari tersenyum.
Musa mulai mengoleksi pusaka sejak usia 16 tahun. Sejak itu dia melanglang untuk mencari pusaka-pusaka di berbagai daerah. "Bagi kami (kolektor, Red), ada keasyikan tersendiri sekaligus tertarik bila mendengar atau melihat benda-benda pusaka yang bagus. Ini telah saya lakukan sekitar 20 tahun," tandasnya.


Tentu saja, sebagai kolektor, Musa pun sering didatangi oleh orang, baik yang ingin pusakanya dengan memaskawini hingga sekadar ingin tahu benda-benda pusaka yang dimilikinya.


Apakah ada hal-hal aneh ketika dirumahnya berada puluhan benda pusaka? "Biasa saja. Kalau ada suara geludak-geluduk atau suara barang jatuh, itu biasa," kata pria yang juga ahli membuat sarung keris pusaka ini. (RUSLI DJUNAIDI)


Sumber: Jawa Pos, Minggu, 04 Mar 2007

Budayawan Madura Mantapkan Kongres

Pamekasan, Jawa Pos - Meski Kongres Kebudayaan Madura (KKM) masih dihelat 9 Maret mendatang, kemarin budayawan se Madura berkumpul di Pamekasan. Itu terkait dengan hal-hal penting yang akan dibahas dalam helat KKM mendatang. Pada kongres ini, akan dipertajam materi di komisi-komisi manusia Madura, pendidikan dan pesantren, dan seni, budaya, dan bahasa daerah.


Saat memberi sambutan, budayawan asal Pamekasan Kadarisman Sastrodiwirjo, menilai KKM sebagai harapan. Alasan dia, sejauh ini banyak pihak yang prihatin terhadap kebudayaan Madura. Baik menyangkut kebahasaan, perilaku, dan hal lain menyangkut SDM Madura. Apalagi, katanya, sebagian warga Madura terkesan kurang memiliki nasionalisme atas tanah kelahirannya. Ini dibuktikan dengan enggannya warga Madura mengakui kemaduraan dirinya ketika berada di luar Madura. "Kongres, barangkali tonggak kebangkitan menuju Madura yang lebih baik," Wabup Pamekasan ini.


Sementra Ketua Dewan Kesenian Mekkasen Syafiudin Miftah mengatakan, KKM memang diperlukan muncul untuk lebih mendisain Madura masa depan. Baik yang berkait dengan kebahasaan, kesenian, dan hal lainnya menyangkut kebudayaan. Tetapi, katanya, dalam sisa waktu sebelum kongres digelar 9 Maret mendatang, budayawan pantas bila bersilaturahim agar lebih fokus saat berada di arena kongres. "Bahwa kongres perlu dapat dipahami, tetapi apa yang akan disumbangkan, tidak kalah penting," katanya.


Menanggapi masukan budayawan se Madura, Ketua Panitia Januar Herwanto mengaku dapat memahami. Dia bilang, kongres dibuat sederhana dengan mengedepankan esensi bahwa Kebudayaan Madura penting dikukuhkan secara kultural. Dalam KKM, katanya, ada beberapa bidikan awal yang hendak diusung. Yakni, mengenai kebahasaan, kemanusaiaan, pendidikan pesantren, dan kesenian etnik lainnya di Madura.


Dia bilang, beberapa pihak telah dihubungi baik yang berada di dalam dan luar negeri. Bahwa ada kemungkinan ada kekurangan, budaywan Madura dirasa penting membuat KKM lebih sempurna. "Kami ingin dalam kongres mengalir dulu, karena kami yakin akan ketemu muaranya," katanya.


Dalam silaturahim budayawan se Madura ini, dari Bangkalan hadir antara lain Hasan Sastra, Sunarto Rastarja, Eroni, Khairul Anwar, dan Eroni. Dari Sampang, terlihat M. Syahid, Solahur Rabbani, dan Daud Bey. Sedangkan dari tuan rumah Pamekasan, DR A. Djamaludin Karim, M. Yusuf Suhartono, Chairil Basyar, Muakmam, Dradjit, dan Khalifaturahman. Dari Sumenep, Edy Setiawan, Fauzil Adim, Faaizi, dan Pemred Radar Madura M. Tojjib. (abe)


Sumber: Jawa Pos, Minggu, 04 Mar 2007

Sampang - Omben Lumpuh

Sampang, Jawa Pos - Hujan deras yang mengguyur Desa Panggung dalam 2 hari terakhir, mengaikbatkan jalan raya akses Sampang-Omben tergenang banjir, air bah luapan Sungai Kali Kemoning. Akibatnya, akses jalan provinsi tersebut lumpuh total.


Puluhan kendaraan roda dua dan mobil penumpang umum (MPU) pun mogok. Salah satunya yang ikut mogok adalah mobil pribadi Kakan Depag Sampang H Imron Rosyidi SH.


Menurut penuturan seorang warga, Syamsul Arifin, air bah mulai menggenangi jalan-jalan dan rumah penduduk sekitar dini hari kemarin, pukul 02.30. Karena datangnya air sangat tiba-tiba, banyak harta benda milik warga yang tidak bisa diselamatkan.


Luapan air bah ini juga menggenangi Pasar Bunten Desa Panggung, Kecamatan Kota Sampang. Akibatnya, sebagian barang dagangan milik pedagang tidak bisa diselamatkan dan rusak. "Karena air bah datang tiba-tiba, dagangan ibu saya terendam air," ujarnya.


Sampai pukul 08.00, ketinggian air di Jalan Raya Panggung masih setinggi lutut orang dewasa. Sehingga, banyak MPU dan kendaraan roda dua yang memaksa menerjang arus mogok. Akibatnya, arus lalu lintas di sepanjang jalan tersebut macet total selama 2 jam.


Menurut Kasubdin Perumahan dan Penyehatan Lingkungan Dinas Permukiman Wilayah (Kimwil) Sampang SB Utomo MT, banjir yang terjadi di Desa Panggung disebabkan curah hujan yang sangat tinggi. "Sedangkan saluran pembuangan (kanal) tidak berfungsi secara maksimal. Sebab, semakin tahun kondisinya semakin sempit dan dangkal," terangnya.


Karena itu, untuk menghindari banjir susulan, perlu dilakukan perbaikan kanalisasi di daerah sekitar Desa Panggung. Sebab, kondisi tanahnya berlumpur (alifial), sehingga daya serap (infiltrasi) tidak banyak berpengaruh.


"Khusus untuk daerah-daerah berlumpur seperti ini, keberadaan daerah serapan air tidak begitu berpengaruh," terangnya. (fiq)


Sumber: Jawa Pos, Kamis, 01 Mar 2007

IPM Sampang Terendah di Jatim

479 Sekolah Rusak Berat


Surabaya, Kompas - Sebanyak 479 sekolah negeri yang berkapasitas 1.381 ruang kelas di Kabupaten Sampang, rusak berat. Dari jumlah itu, baru 118 sekolah yang diperbaiki pada tahun 2006. Kerusakan sekolah dianggap mengakibatkan rendahnya indeks pembangunan manusia dan indeks pendidikan di Sampang.


Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sampang Kustar Effendi menuturkan, sekolah yang rusak terdiri dari 426 SD (1.275 ruang kelas) dan 53 SMP (106 ruang kelas). "Kami fokus di sekolah rusak berat dulu. Meskipun ada juga sekolah rusak ringan hingga sedang," tutur Kustar di Surabaya, Rabu (7/2).


Tahun lalu Sampang mendapatkan dana untuk memperbaiki 118 gedung sekolah. Dana itu bersumber dari dana alokasi khusus (DAK) untuk 58 sekolah, APBD Jatim untuk 8 sekolah, dan dana alokasi umum untuk 52 sekolah.


Adapun tahun ini belum ada kepastian jumlah dana rehabilitasi. Pihaknya baru memperoleh dana sebagian sejumlah Rp 19 miliar dari DAK. "Yang lain masih menunggu pembahasan anggaran selesai," tuturnya.


Tingginya angka sekolah rusak ditengarai ikut menyebabkan indeks pembangunan manusia (IPM) Sampang rendah. Bahkan, Sampang memiliki IPM terendah di Jatim selama lima tahun terakhir.


Sampang menjadi satu-satunya kabupaten dengan indeks pendidikan di bawah 60. Sampai tahun 2005, indeks pendidikan Sampang tercatat hanya 54,50. Bondowoso yang menduduki tempat kedua terendah saja mencatat indeks 62,18.


Lebih ironis lagi, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Sampang hanya 3,64 tahun. Dengan waktu sesingkat itu, masyarakat Sampang bahkan tidak menyelesaikan kelas 4 SD. "Bagaimana bisa sekolah dengan baik jika sarana tidak bisa diakses," ujar Kustar.


Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim Rasiyo mengemukakan bahwa tidak mudah menyelesaikan rehabilitasi sekolah di Jatim. Keterbatasan anggaran menjadi penyebab utama. Menurut perhitungan, awal tahun 2006 Jatim membutuhkan dana Rp 1,058 triliun untuk memperbaiki 5.737 sekolah.


Setiap tahun Jatim hanya sanggup mengalokasikan dana sekitar Rp 370 miliar. Selama proses rehabilitasi, ada pula kemungkinan sekolah rusak bertambah. Pertambahan itu bersumber dari sekolah dalam keadaan rusak ringan hingga sedang. (RAZ)


Sumber: Kompas, 08/02/07