Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (6)

Pikiran Masiroh Hanya Satu, Selamatkan Kelima Anaknya

Kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Masiroh telah kehilangan suami dan harus berpisah dengan dua anaknya. Babak baru dalam hidup kini dijalaninya. Mengais rejeki di Pasar Keputran.

Hari Rabu (9/1). Seperti hari-hari biasa, perempuan-perempuan Madura bersantai di antara meja tempat berjualan jeruk nipis dan empon-empon, bumbu masak seperti jahe, kunyit, atau lengkuas. Matdu'i menyapa seorang perempuan yang duduk agak berjauhan dari tempatnya berdiri. Masiroh namanya. Dia mengenakan baju biru dan sarung, selembar kain motif menutup sebagian kepalanya, terikat ke belakang. Kulitnya kuning langsat.

Arapa'a, Mat! (Ada apa, Mat!),” kata Masiroh. Matdu'i meminta Masiroh untuk bercerita bagaimana dia pada 2001 itu menyelamatkan diri dari Sampit menuju Sampang, Madura. Masiroh menggelengkan kepala. Keberatan karena tidak dapat berbahasa Indonesia. Matdu'i mengatakan kalau dirinya yang akan jadi penerjemah. Barulah Masiroh mau.

Percakapan berlangsung di warung kecil Matdu'i. Masiroh duduk di bangku panjang. Tiga perempuan yang sedang tidur di atas meja, belakang Masiroh duduk, erbangun. Nada bicara Matdu'i dan Masiroh yang nyaring mengganggu ketenangan mereka.
Selama di Sampit, suami Masiroh berprofesi sebagai pencari rotan, dan dia menanam konjui (sebutan ketela oleh orang Kalimantan).

Saat terjadi kerusuhan, Masiroh berlari meninggalkan Desa Termiling, Sampit, bersama tujuh anaknya. Mereka menuju hutan. Anak paling besar berusia tujuh tahun. Paling kecil berumur enam bulan. “Yang besar lari sendiri, yang masih bayi saya gendong,” katanya.

Orang Dayak yang menjadi tetangganya ada pula yang ikut mengejar. Masiroh lari terbirit-birit dengan anak-anaknya. Masuk jauh ke dalam hutan. Dua anaknya lepas dari pengawasannya. Mereka terpisah.

Ketika lari ke arah hutan itulah, sang suami terkena mandau orang Dayak. Posisinya tak jauh dari Masiroh. Tahu demikian, Masiroh mempercepat langkahnya. Sempat dia menoleh ke belakang, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. “Ya, mon atanya, takok engkok mateh kiyah (ya, kalau bertanya, takut saya mati juga),” sanggah Masiroh.

Da'ramma, ja' tang lakeh tekukung mateh da' iya (Saya melihat suami jatuh tertelungkup),” ungkapnya. Bola mata Masiroh bergerak ke sana kemari mengikuti goyangan kepala ketika berbicara. Cara bertuturnya tenang. Tak terbersit kesedihan. Tetapi, siapa tahu hati manusia. Mungkin, dia memendam kesedihan mendalam sehingga seolah tak nampak kedukaan.  “Ya, engkok buruh ka dalem rimba (ya saya tetap lari ke dalam hutan),” lanjutnya.

Saba' ka dalem aing ruwa, ja' tak gellem mateh. I antengin ulin ruwa (Dia dimasukkan ke dalam air, karena belum mati. Tubuhnya diberi kayu ulin sebagai pemberat),” terang Masiroh.

Masiroh tetap harus berjalan. Meski sedih, tapi tak ada air mata. Pikirannya hanya satu, mencari keselamatan untuk dirinya sendiri dan kelima anaknya. Dua yang lain belum diketahui nasibnya.

Masiroh dan puluhan orang Madura tinggal di hutan sementara waktu. Hutan dianggap sebagai tempat aman kala itu. Tujuh hari lamanya di sana. Tapi, mereka harus bergerak terus. Jangan sampai ketahuan orang Dayak. Maka, kadang mereka keluar dari persembunyian, mencari jalan menuju lokasi pengungsian.

Apes. Mereka bertemu lagi dengan orang Dayak. Tak ada jalan lain kecuali berlari sekuat tenaga ke dalam hutan lagi. “Buru ka dalem hutan, petong are keluar ketemu ban reng Dayak (Tujuh hari setelah lari lagi ke dalam hutan, bertemu dengan orang Dayak,” ujarnya. Sesekali kalimatnya disisipi Bahasa Indonesia.

Orang Dayak itu memberinya nasi dan air minum. Perjalanan masih berlanjut. Hingga terlihat bundaran dan kerumunan orang. Truk-truk bergantian membawa mereka dan sampailah kaki menginjak tanah pengungsian. Sehari di sana, Masiroh turut kapal laut yang membawanya ke Tanjung Perak, Surabaya. Kemudian, diantar ke kamp pengungsi di Sampang, Madura. (Marta Nurfaidah) >>bersambung

Sumber: Surya, 17/01/08