Selamat Ulang Tahun, Pak Noer


Mohammad Noer hari ini (13/1) genap berusia 90 tahun. Sejak dua hari lalu, keluarga besar M. Noer berkumpul di Surabaya untuk merayakan hari kelahiran mantan gubernur Jawa Timur (1967-1976) itu. Perayaan dilangsungkan secara sederhana di sebuah hotel malam nanti.

"Tidak ada acara apa-apa, kok. Yang penting anak-menantu, cucu, buyut, dan keluarga semua kumpul. Itu saja," ujar Pak Noer - panggilan Mohammad Noer - Jumat (11/1) lalu.

Keluarga Pak Noer menyadari bahwa saat ini kondisi sebagian masyarakat Jawa Timur dan bangsa Indonesia sedang kesusahan akibat bencana banjir dan tanah longsor. Karena itu, kurang bijaksana bila perayaan ulang tahun pria 8 anak, 21 cucu, dan tiga buyut tersebut dilangsungkan secara berlebihan.

"Pada acara itu saya akan mengajak keluarga untuk mendoakan saudara-saudara kita yang sedang kesusahan karena terkena banjir dan longsor. Juga untuk kesehatan Pak Harto (mantan Presiden Soeharto, Red) yang sedang sakit," tuturnya. "Intinya, berkumpul bersama keluarga dan mensyukuri nikmat-Nya," kata Pak Noer.

Prinsip hidup sederhana memang diterapkannya sejak masih kanak-kanak. Ketika menjadi bupati Bangkalan, gubernur Jatim, dan duta besar Republik Indonesia untuk Prancis pun, dia tetap memegang prinsip hidup itu. "Kalau melihat ke atas terus bisa stres, lalu stroke. Masih banyak orang yang nasibnya tidak sebaik kita. Kita harus bersyukur dengan keadaan sekarang ini," katanya. Kesederhanaan Pak Noer itu pula yang berkesan di benak dan hati masyarakat Jawa Timur. Tak heran, bila mantan anggota DPR, MPR, dan DPA, itu tetap dihormati hingga kini.

Kepemimpinan suami Mas Ayoe Siti Rachma di Jawa Timur memang fenomenal. Gaya kepemimpinannya yang merakyat membuatnya lekat di hati seluruh lapisan masyarakat, mulai pejabat, pengusaha, politikus, hingga tukang becak.

Saat menjabat bupati dan gubernur, Pak Noer dikenal rajin turba (turun ke bawah) di desa-desa untuk melihat langsung kondisi masyarakat. Dia ingin tahu secara langsung apa yang dikehendaki rakyat. Dia tidak mudah memercayai laporan yang diberikan bawahannya. Dia merasa perlu memastikan sendiri bahwa keadaan rakyatnya baik-baik saja sesuai laporan bupati atau wali kota yang memimpin daerah itu. Nyaris separo waktunya dihabiskan untuk blusukan di desa-desa, mendengarkan suara rakyat. Bukan duduk manis di kantornya yang ber-AC.

Berbagai fasilitas mewah pun tidak serta merta diterimanya. Ketika menjadi gubernur, Trimarjono (Sekdaprov waktu itu, Red) pernah menawari Pak Noer untuk menggunakan helikopter bila melakukan kunjungan ke daerah-daerah. Tapi, tawaran itu ditolak dengan halus. Pak Noer memilih jalur darat.

"Waktu itu saya sempat heran dan bertanya kenapa Bapak (panggilan Pak Noer oleh bawahannya, Red) tidak mau dipermudah. Beliau hanya tersenyum," kenang Trimarjono.

Pertanyaan Trimarjono itu terjawab beberapa hari setelah kunjungan selesai. Pak Noer menyerahkan setumpuk kertas berisi data kilometer jalan yang rusak dan berlubang kepada Trimarjono. Dia meminta Trimarjono memperbaikinya.

"Rupanya itulah alasan Bapak tidak mau menggunakan helikopter. Bapak ingin mengetahui kondisi jalan provinsi sehingga bisa langsung diperbaiki kalau ada yang rusak. Benar-benar gubernur yang luar biasa," kesan Trimarjono.

Mungkin tidak banyak sosok pemimpin yang berdedikasi tinggi terhadap kondisi rakyat seperti Mohammad Noer. Seorang pemimpin yang benar-benar mau bekerja keras, memperhatikan kesejahteraan wong cilik, dan tetap hidup dalam kesederhanaan. Selamat ulang tahun, Pak Noer, gubernur Jawa Timur sepanjang masa. (cie/ari)

Sumber: Jawa Pos, 13/01/08

Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (7)

Pengungsi Sampit Tidak Bisa Diusir Begitu Saja

Fungsi pasar sebagai tempat jual beli tergeser dengan adanya pengungsi dari Sampit, Kalimantan Tengah. Namun, PD Pasar Surya sendiri masih bingung mengambil langkah untuk mengembalikan lagi fungsi pasar sebenarnya. Percakapan di warung kecil Matdu'i masih berlanjut.

Masiroh berhasil mengungsi dari Sampit menuju Surabaya bersama lima anaknya. Dua anak lainnya masih terpisah. Masiroh tak sempat mencari mereka. “Kami baru bertemu lagi di Sampang. Tak ada suami tidak apa-apa, asal anak ketemu,” katanya seperti yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Matdu'i.

Panas matahari semakin terasa. Satu per satu perempuan Madura yang tidur di dekat warung Matdu'i bangun tidur, kucel sekali penampilannya. Penasaran, mereka mendekat ke arah Matdu'i dan Masiroh duduk. Sambil lewat menuju kamar mandi umum, mereka nyeletuk, menggoda Masiroh.

Saiki Marsiye kawin maneh (sekarang Masiroh menikah lagi),” seloroh Nur. Nama Masiroh dilafalkan menjadi Marsiye menurut lidah orang Madura. Si pemilik nama menundukkan kepala sambil tersenyum. Kemudian kepalanya mengangguk. “Ya, saya menikah lagi. Suami tinggal di Sampang, bertani. Anak-anak juga tinggal di sana, dirawat sama nini-nya (neneknya),” imbuhnya.

Jauh dari keluarga, Masiroh bekerja mreteli (memisahkan) bawang putih. Dalam sehari, dia mendapat penghasilan Rp 3.000-5.000. Hitungannya, satu kilo seharga Rp 300. “Itu juga kalau dapat pekerjaan,” ujarnya.

Tentu saja, penghasilan Masiroh tidak bisa menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap kali mandi, buang air kecil, atau buang air besar bayar Rp 500. Beli nasi Rp 3.000, pakai ayam jadi Rp 4.000. Meski demikian, Masiroh tidak merasa kapok. Daripada tinggal di Sampang tidak ada kerjaan, lebih baik tinggal di Pasar Keputran. Tidur di sembarang tempat tidak menjadi masalah. Seringkali di atas atau kolong meja yang kosong.

Tiba-tiba, beberapa orang berjalan terburu-buru mengarah ke warung Matdu'i. Mereka segera mengambil tongkat panjang yang disandarkan di salah satu tiang bangunan. Di belakang mereka berjalan petugas PD Pasar Surya. Tiada senyum di wajah lelaki berkumis itu. Tangan kanannya membawa sebatang bambu sepanjang dua meter. Salah satu ujungnya dipasang besi.

Batang bambu itu disodok-sodokkan ke atas. Berusaha mengambil pakaian yang tergantung di langit-langit lantai dua. “Ayo, dukno! (turunkan!)” teriaknya kepada beberapa orang. Masiroh pun ikut pergi ke tempatnya tidur semalam. Dia segera mengambil pakaiannya yang digantungkan di seutas tali terbentang. Letaknya tidak terlalu tinggi sehingga tangannya masih bisa menjangkau. “Obrakan cucian atau baju digantung itu rutin dilakukan petugas,” terang Matdu'i. Tak ada yang bisa dilakukan PD Pasar Surya selain penertiban dan pembersihan lingkungan komunitas pengungsi Sampit di Pasar Keputran.

Fatma Irawati Malaka, Direktur Pembinaan Pedagang PD Pasar Surya, yang akrab dipanggil Etik ini, mengatakan bahwa selain merapikan baju tergantung, kadang petugas juga operasi kompor. “Melihat tiap kamar apa masih ada api kompor yang menyala. Kalau lengah dan terjadi kebakaran, bagaimana? Bisa habis seluruh lantai,” tukas Etik.

Awal 2008 ini PD Pasar Surya sudah menggelar kerja bakti. Toko-toko yang ditinggalkan pedagangnya dibersihkan dan harus dikosongkan. Kerjasama dengan Dinas Sosial dan Dispol PP juga sudah dilakukan. Tapi, membersihkan lantai dua itu tak semudah yang dikira kebanyakan orang. “Orang Madura sudah ada lama di sana. Sebagian besar berdagang. Nah, waktu pengungsi Sampit sampai di Jatim pada 2001, semakin bertambah komunitas mereka,” jelas Etik. Atas ajakan saudara, teman, atau tetangga, pengungsi Sampit sampai di Pasar Keputran juga. “Rasa kekeluargaan mereka kental sekali,” tegas Etik.

Saat ini sekitar 70 kepala keluarga tinggal di sana. Rata-rata satu kepala keluarga terdiri dari tiga hingga empat orang. Jumlah ini berkurang dibanding pada 2001-2002. Transaksi sewa rumah dengan pedagang pemilik toko, yang sekarang dimanfaatkan sebagai rumah kos, dilakukan tanpa campur tangan PD Pasar Surya. Sayangnya, transaksi itu dilakukan tanpa tanda bukti atau kuitansi. Jadi posisi pengungsi Sampit itu lemah dengan sendirinya. “Kami tidak bisa mengusir mereka begitu saja. Ini berkenaan dengan masalah sosial. Harus ada penyelesaian komprehensif,” katanya lebih lanjut.

Keinginan mengembalikan fungsi pasar sebagai tempat berjual beli pedagang dan konsumen tetap ada. Sebab, bangunan pasar tidak dikonstruksikan sebagai tempat tinggal. Di samping, PD Pasar Surya harus meningkatkan pengawasan dan keamanan dibanding pasar-pasar lainnya.

Kerusuhan Sampit menyisakan kepedihan dan kesusahan bagi semua pihak. Akibat peristiwa itu, sekitar 100.000 suku Madura meninggalkan provinsi Kalimantan Tengah. Sebagian besar pulang ke Pulau Jawa.

Gerry van Klinken, Indonesianis asal Belanda, menulis bahwa 1,8 juta suku Madura pernah tinggal di Kalimantan Tengah. Sekarang hanya tersisa sekitar 45.000 jiwa saja yang tinggal di Pangkalanbun, sebelah Barat Sampit. Sekitar 6-7 persen suku Madura 'bersih' karena kejadian itu. (Marta Nurfaidah) (tamat)

Sumber: Surya, Friday, 18 January 2008

Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (6)

Pikiran Masiroh Hanya Satu, Selamatkan Kelima Anaknya

Kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Masiroh telah kehilangan suami dan harus berpisah dengan dua anaknya. Babak baru dalam hidup kini dijalaninya. Mengais rejeki di Pasar Keputran.

Hari Rabu (9/1). Seperti hari-hari biasa, perempuan-perempuan Madura bersantai di antara meja tempat berjualan jeruk nipis dan empon-empon, bumbu masak seperti jahe, kunyit, atau lengkuas. Matdu'i menyapa seorang perempuan yang duduk agak berjauhan dari tempatnya berdiri. Masiroh namanya. Dia mengenakan baju biru dan sarung, selembar kain motif menutup sebagian kepalanya, terikat ke belakang. Kulitnya kuning langsat.

Arapa'a, Mat! (Ada apa, Mat!),” kata Masiroh. Matdu'i meminta Masiroh untuk bercerita bagaimana dia pada 2001 itu menyelamatkan diri dari Sampit menuju Sampang, Madura. Masiroh menggelengkan kepala. Keberatan karena tidak dapat berbahasa Indonesia. Matdu'i mengatakan kalau dirinya yang akan jadi penerjemah. Barulah Masiroh mau.

Percakapan berlangsung di warung kecil Matdu'i. Masiroh duduk di bangku panjang. Tiga perempuan yang sedang tidur di atas meja, belakang Masiroh duduk, erbangun. Nada bicara Matdu'i dan Masiroh yang nyaring mengganggu ketenangan mereka.
Selama di Sampit, suami Masiroh berprofesi sebagai pencari rotan, dan dia menanam konjui (sebutan ketela oleh orang Kalimantan).

Saat terjadi kerusuhan, Masiroh berlari meninggalkan Desa Termiling, Sampit, bersama tujuh anaknya. Mereka menuju hutan. Anak paling besar berusia tujuh tahun. Paling kecil berumur enam bulan. “Yang besar lari sendiri, yang masih bayi saya gendong,” katanya.

Orang Dayak yang menjadi tetangganya ada pula yang ikut mengejar. Masiroh lari terbirit-birit dengan anak-anaknya. Masuk jauh ke dalam hutan. Dua anaknya lepas dari pengawasannya. Mereka terpisah.

Ketika lari ke arah hutan itulah, sang suami terkena mandau orang Dayak. Posisinya tak jauh dari Masiroh. Tahu demikian, Masiroh mempercepat langkahnya. Sempat dia menoleh ke belakang, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. “Ya, mon atanya, takok engkok mateh kiyah (ya, kalau bertanya, takut saya mati juga),” sanggah Masiroh.

Da'ramma, ja' tang lakeh tekukung mateh da' iya (Saya melihat suami jatuh tertelungkup),” ungkapnya. Bola mata Masiroh bergerak ke sana kemari mengikuti goyangan kepala ketika berbicara. Cara bertuturnya tenang. Tak terbersit kesedihan. Tetapi, siapa tahu hati manusia. Mungkin, dia memendam kesedihan mendalam sehingga seolah tak nampak kedukaan.  “Ya, engkok buruh ka dalem rimba (ya saya tetap lari ke dalam hutan),” lanjutnya.

Saba' ka dalem aing ruwa, ja' tak gellem mateh. I antengin ulin ruwa (Dia dimasukkan ke dalam air, karena belum mati. Tubuhnya diberi kayu ulin sebagai pemberat),” terang Masiroh.

Masiroh tetap harus berjalan. Meski sedih, tapi tak ada air mata. Pikirannya hanya satu, mencari keselamatan untuk dirinya sendiri dan kelima anaknya. Dua yang lain belum diketahui nasibnya.

Masiroh dan puluhan orang Madura tinggal di hutan sementara waktu. Hutan dianggap sebagai tempat aman kala itu. Tujuh hari lamanya di sana. Tapi, mereka harus bergerak terus. Jangan sampai ketahuan orang Dayak. Maka, kadang mereka keluar dari persembunyian, mencari jalan menuju lokasi pengungsian.

Apes. Mereka bertemu lagi dengan orang Dayak. Tak ada jalan lain kecuali berlari sekuat tenaga ke dalam hutan lagi. “Buru ka dalem hutan, petong are keluar ketemu ban reng Dayak (Tujuh hari setelah lari lagi ke dalam hutan, bertemu dengan orang Dayak,” ujarnya. Sesekali kalimatnya disisipi Bahasa Indonesia.

Orang Dayak itu memberinya nasi dan air minum. Perjalanan masih berlanjut. Hingga terlihat bundaran dan kerumunan orang. Truk-truk bergantian membawa mereka dan sampailah kaki menginjak tanah pengungsian. Sehari di sana, Masiroh turut kapal laut yang membawanya ke Tanjung Perak, Surabaya. Kemudian, diantar ke kamp pengungsi di Sampang, Madura. (Marta Nurfaidah) >>bersambung

Sumber: Surya, 17/01/08

Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (5)

Menunggu Jatah Pemerintah Bisa Mati Kelaparan

Berjualan makanan dan minuman di Pasar Keputran tidak mampu menutupi seluruh kebutuhan hidupnya. Berawal dari sekadar ikut teman, Matdu'i pun menambah pendapatan sebagai perias pengantin.

Selasa (8/1). Beranjak sore. Pendapatan yang diperoleh dari usaha warung kecilnya tak seberapa besar. Sehari sekitar Rp 10.000. Maka, dia memanfaatkan kesempatan ketika bersosialisasi dengan teman-temannya. Berulangkali membantu teman merias pengantin, muncul keinginan Matdu'i untuk mempelajarinya. “Bisa lah lama-lama. Menambah penghasilan,” kata Matdu'i.

Tangan kirinya menyelipkan seuntai rambut di belakang daun telinganya. Rambut itu tak mau diatur. Angin agak kencang sore itu, rambut sebahu Matdu'i pun diterpanya.
“Kapan hari anginnya kencang sekali. Sampai atap seng di sana terangkat semua,” ujar Matdu'i mengalihkan topik pembicaraan. Jari telunjuknya mengarah ke luar bangunan pasar. Dari lokasi yang terbuka, bisa dilihat beberapa atap toko di bagian belakang kompleks Pasar Keputran Surabaya.

Kembali Matdu'i bercerita tentang pekerjaan barunya. “Sekali pesan, seharga Rp 3,5 juta. Hitungannya sudah jadi satu dengan kuade dan baju pengantin untuk ganti beberapa kali. Ini nih fotonya,” tutur Matdu'i.

Dua lembar foto berwarna yang menempel di etalase warungnya diambil. Keduanya merupakan foto pengantin perempuan mengenakan baju pengantin ala Eropa. Make up menyolok, rambut digelung modern dan sebuah mahkota bertabur berlian tiruan tersemat. Satu di antaranya tampak sosok Matdu'i dalam dandanan 'cantik'nya sedang pasang gaya bersama pengantin.

Selama bulan Desember 2007 lalu, sudah lima pesta pernikahan di Madura yang menggunakan jasa Matdu'i dan teman-temannya. Memasuki area Madura, patokan tarif disesuaikan. Matdu'i memaparkan perbedaan perekonomian antara masyarakat Madura kebanyakan dengan penduduk Kota Surabaya. “Orang di sana makannya ketela saja. Bisa beli beras sudah untung. Kecuali yang kaya, mereka ya nggak makan ketela, tapi makan nasi,” katanya. Itu pula yang mendorong dia meninggalkan tanah leluhurnya. Sudah jadi bahan pembicaraan umum di Madura. Sebagian besar bantuan bagi pengungsi Sampit sampai ke orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

“Bantuan dari atasan ada. Begitu masuk ke Madura langsung diterima kepala desa. Lha, dari kepala desa ini kadang-kadang jatah untuk pengungsi tidak keluar,” sahut Ridho, anak laki-laki Sa'diyah. Dia duduk tak jauh dari Matdu'i berdiri. Sedari tadi dia diam mendengarkan Matdu'i berbicara. Menurutnya, jatah beras dikasih separo saja. Ada yang dikasih, ada yang tidak. Berapapun jumlah anggota keluarga, semua dipukul rata, diberi beras 10 kilogram.

Terus nek gak dikeki, gak golek dewe, yok opo? Nek ngenteni pemerintah, yo mati kelaparen (Lalu kalau tidak diberi, tidak cari sendiri, bagaimana? Kalau menunggu pemerintah, ya mati kelaparan),” ujar Matdu'i dalam Bahasa Jawa berdialek Madura.

Lagipula, dengan bekerja maka bisa mencari makan. Dengan makan, tubuh jadi kuat dan penyakit enggan mendekati. Matdu'i sendiri menyimpan setiap receh uang yang diperolehnya. “Kalau sakit nanti bagaimana? Nanti mati dibuang kalau tidak punya uang,” kata Matdu'i. Begitulah alasan mengapa dia harus menabung. Dia tidak ingin nasibnya seperti orang yang meninggal di tengah ketidakberuntungan hidup.

Ridho mengangguk membenarkan tiap perkataan Matdu'i. Kesepuluh jemarinya mulai memainkan gitar yang dibawanya. Lirik lagu Munajat Cinta milik The Rock, kelompok musik Ahmad Dhani yang baru selain Dewa, digumamkan perlahan. Matdu'i melanjutkan kisahnya. Ketika ibu meninggal dunia, dia diberi pesan supaya menjaga adik bungsunya. Sebab, hanya dia yang bisa bekerja layak dan mencari uang dibanding saudara-saudara lainnya. Maka, dia selalu mendisiplinkan diri untuk menabung. Sebagai simpanan di masa sulit.

Hidup di Surabaya juga tidak murah-murah sekali. Biaya rumah kosnya Rp 1 juta per tahun. Tapi uang itu diberikan kepada si pemilik stan, bukan kepada PD Pasar Surya. Selain itu, beberapa rupiah disisihkan untuk dua ponsel yang dimilikinya. (Marta Nurfaidah) >>bersambung

Sumber: Surya, Wednesday, 16 January 2008

Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (4)

Terbiasa Bau Tak Sedap dan Bawang Putih Menyengat

Rasa kekeluargaan yang tinggi dimiliki oleh komunitas Madura dimanapun berada. Jika satu orang tertimpa kesusahan, yang lain akan menolong. Penghuni Pasar Keputran saling membantu untuk dapat bertahan hidup.

Selasa siang (8/1). Perempuan bernama Sa'diyah yang dibangunkan Matdu'i, beranjak ke kamar mandi umum di sebelah Utara lantai dua Pasar Keputran. Ajakan Matdu'i untuk ngobrol bareng ditolak. “Mandi dulu,” katanya seraya mengambil handuk dan peralatan mandi.

Matdu'i menjawab dengan anggukan kepala. Lalu, cerita bergulir lagi. “Saya dulu ingin ke Malaysia, ingin seperti kakak yang pergi ke Arab Saudi. Tapi, tidak jadi karena orang yang mau ajak sudah berangkat terlebih dulu. Makanya, saya ke sini,” ucap Matdu'i. Hanya delapan hari dia tinggal di tempat pengungsian di Sampang, Madura.

Matdu'i meninggalkan saudara dan ayahnya. Keinginan keluarga mendirikan sebuah rumah pupus. Tidak ada uang untuk mewujudkannya. Harta keluarga itu hilang bersamaan dengan seluruh keturunan yang sudah beranak pinak puluhan tahun di Sampit. Dulu, keluarga Matdu'i memiliki rumah panggung besar. Adiknya juga baru saja membangun rumah serupa di belakang rumah orangtuanya. Dua rumah berbahan kayu ulin itu hancur terbakar. Begitu pula lima ekor sapi yang milik Matdu'i. Mati terbantai. Kesedihan mereka bertambah dengan terbunuhnya seorang bibi yang tidak selamat dari kejaran orang Dayak.

Sementara itu, untuk menyambung hidup, sekarang mereka bekerja sebagai buruh tani atau nelayan. Untuk makan, nasi jagung atau ketela menjadi menu andalan. Nasi sudah jarang mereka makan. Kalau ada jatah bantuan dari pemerintah saja baru bisa dinikmati. Sepuluh kilogram per KK. Itu pun tidak rutin tiap minggu diberi.

Nasib Matdu'i sedikit lebih beruntung. Bersama orang Sampitan, sebutan orang Madura yang mengungsi dari Sampit, lainnya, Matdu'i tidur, mandi dan bekerja di lantai dua Pasar Keputran. Tawaran seorang teman Madura yang membawanya kemari. Semula, Matdu'i bekerja sebagai koki di Gresik. Kadang, dia mencari hiburan di Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Ketika itulah, Matdu'i berdandan sebagai seorang perempuan.

Sebuah foto di etalase warungnya memperlihatkan gaya Matdu'i saat dandan. Rambut palsu sebahu menutupi rambut keriting kakunya. Bedak putih tebal melapisi kulit sawo matangnya. Lipstik merah tua, eye liner hitam, dan bulu mata palsu menambah kesan 'cantik'nya. “Tapi sekarang saya sudah jarang dandan. Hanya kalau ada kerjaan merias orang,” ungkap Matdu'i.

Usai mandi, dia sibuk membersihkan warung kecilnya. Wadah-wadah kotor bekas memasak dan makan masih tergeletak di atas meja. Lalat berterbangan di atasnya. Matdu'i membawa wadah kotor itu di ujung anak tangga teratas. Dengan cekatan, Matdu'i mulai menjerang air dalam panci di atas kompor, dan mencuci beras siap ditanak di dalam dandang. Air bekas cucian beras dibuang ke tumpukan wadah kotor di ujung tangga.

Sejenak dia berpamitan membeli tomat di lantai satu. Tomat merah itu hendak dibelah dan digoreng untuk bahan sambal penyetan. Menu tetap warung Matdu'i adalah nasi penyet tempe, bandeng atau lele. Tersedia pula kopi, teh, es Extra Joss, dan berbagai jenis minuman instan. Berkat Sa'diyah, Matdu'i jado mahir masak. Lebih pandai dari sebelumnya. Sa'diyah  pula yang membantu mencari meja dan bangku untuk warungnya.

“Buk Sa'diyah itu tetangga saya. Bisa bertahan hidup di sini ya berkat dia,” katanya sesampai di warung lagi. Tomat yang sudah digoreng ditaruh di sebuah wadah plastik.

“Kalau sudah ada pembeli baru dibuat sambalnya,” ucap Matdu'i. Air bersih yang dimasak untuk memasak dan minum sudah ditaruh dalam timba besar tertutup. Agar aman dari tangan jahil, semua barangnya dimasukkan pada kotak kayu yang terkunci. “Saya pernah kehilangan dandang dan panci,” ungkapnya. Tiga kompor kecil dibiarkan di luar,

Dari warung Matdu'i tercium bau tidak sedap dan kulit bawang putih yang menyengat. Bagi yang sudah terbiasa hidup di sana, bau itu tidak mengganggu nafsu makan. Namun, bagi yang tidak tinggal di sana, semoga bau sedap masakan Matdu'i mampu menimbulkan nafsu makan. (Marta Nurfaidah) >>bersambung

Sumber: Surya, Tuesday, 15 January 2008

Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (3)

Anak Istri Tidur di Lantai Suami di Atas Meja

Mengenang sejarah kelam. Pertikaian di Sampit, Kalimantan Tengah, lebih disebabkan adanya konflik etnis belaka. Muatan politik sempat tercium. Apapun itu penyebab utamanya, kehidupan antar etnis di Indonesia belum seterbuka seperti yang berlangsung saat ini.

Selasa, 20 Februari 2001. Puncak pertikaian antara etnis Dayak dan etnis Madura. Disulut perselisihan dua keluarga dari etnis berbeda, menjalar menjadi sebuah peristiwa pembunuhan besar. Semula terpusat di ibu kota provinsi, Sampit, lalu menyebar hampir di seluruh kawasan provinsi.

Claire Q Smith PhD, Kandidat Development Studies Institute di London School of Economics and Political Science, menerangkan dalam papernya bahwa tidak jelas berapa jumlah orang yang meninggal akibat konflik dua etnis selama pertengahan Februari hingga pertengahan April 2001 tersebut. Bahkan masih terjadi sampai setahun berikutnya.

Paper Claire berjudul The Roots of Violence and Prospects for Reconciliation, A Case Study of Ethnic Conflict in Central Kalimantan, Indonesia (Akar Kekerasan dan Prospek melakukan Rekonsiliasi, Studi Kasus Konflik Etnik di Kalimantan Tengah, Indonesia). Sumber resmi menyatakan 431 orang Madura meninggal dunia. Sumber tidak resmi melaporkan sekitar 1.500-3.000 orang Madura meninggal. Peristiwa ini sendiri seperti 'lanjutan' dari penyerangan etnik Madura yang terjadi di Kalimantan Barat, pada 1996-1997 dan 1999.

Sebelum orang Dayak dari pedalaman berdatangan ke Sampit, etnis Madura sempat menguasai kota. Tercatat, saat itu tanggal 19 Februari 2001. Mereka bergerombol menggunakan motor sambil membawa jeriken berisi bensin. Sembari beraksi di jalanan, mereka sesumbar 'Jadikan Sampit sebagai Sampang kedua!'. Pembakaran dan pembunuhan terjadi dimana-mana.

Tanpa disadari puluhan orang Dayak menyusup ke semua sisi Kota Sampit. Mereka melakukan tindakan balasan. Tidak kenal ampun, orang Dayak yang digambarkan sebagai pasukan penyerang itu membunuh orang Madura secara sadis. Bersenjatakan mandau (senjata tradisional sejenis parang berasal dari budaya Dayak), sebagian besar langsung menebas leher korbannya.

Selasa, 8 Januari 2001, tujuh tahun sejak kejadian brutal di Sampit. Dua ribu mil dari tempat pembantaian. Matdu'i menuturkan apa yang dirasakan dan dialami sepanjang peristiwa itu. "Orang Dayak baik hati memberi saya tempat pengungsian dan memberitahu waktu pasukan Dayak yang kejam datang," ungkap Matdu'i.

Orang Dayak sendiri terbagi menjadi dua. Ada yang baik hati, ada yang tega hati. Orang Madura yang bisa bertahan berminggu-minggu di tempat persembunyian di hutan, tak lepas dari bantuan orang Dayak yang baik hati.

Semua ingatan dituturkan Matdu'i sambil duduk santai di atas meja kayu. Meja itu merupakan bagian dari warung milik sesama orang Madura yang mengungsi dari Sampit.
"Ini warung miliknya orang Sampitan juga," ucap Matdu'i. Istilah Sampitan itu diberikan kepada semua orang Madura yang pernah tinggal di Sampit.

"Buk, jaga buk!" teriak Matdu'i. Dipukul-pukulnya sebuah meja yang lebih besar di depannya. Bong, bong, bong! Suaranya mengusik tidur nyenyak si buk (panggilan ibu pada orang Madura). "Apa (Apa), Mat!" sahutan terdengar dari bawah meja. Selembar kayu triplek yang menutup celah di salah satu sisi meja terbuka. Sebuah kepala melongok keluar. Seorang perempuan berselimut sarung dan baju kumal keluar. Rambutnya kusut. Tangannya menarik sarung yang membalut tubuhnya lebih erat lagi.

"Gi' tedung, Mat! Arapa'ah?" (Masih tidur, Mat! Ada apa?) tanya si buk. Meja tak berfungsi sebagai meja semata. Meja bisa dijadikan tempat tidur bagi komunitas Madura yang tinggal di lantai dua Pasar Keputran. Di dalamnya, kasur atau busa yang sudah melesak digelar. Supaya tidak bersentuhan langsung dengan lantai pasar yang berdebu, kardus bekas yang sudah disobek ditata di bagian bawahnya.

Anak-anak dan ibu-ibu biasa tidur di sana. Sementara kaum laki-laki kebanyakan memakai bagian atas meja. Tidur berganjal sebuah bantal di kepala dan berselimut sarung. Atau tidak sama sekali. Udara dingin di malam hari tak menjadi kendala. Mereka tetap bisa tidur nyenyak sembari merangkai mimpi. Berharap esok ada pekerjaan yang bisa dilakukan. Entah mengupas kulit bawang putih atau mencuci jeruk nipis. (Marta Nurfaidah) >>bersambung

Sumber: Surya, Monday, 14 January 2008

Bersambung

Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (2)

Tak Betah Makan Ketela Pohon, Pindah ke Surabaya

Kerusuhan di Sampit, Kalimantan Tengah, dipandang sebagai tindakan kejam dan sadis. Komnas HAM pun membentuk komisi penyelidikan sebab ditengarai konflik itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Apapun langkah yang diambil pemerintah Indonesia saat itu hingga sekarang, Matdu'i tetap berpegang pada prinsipnya. Bekerja untuk hidup.

Kamis siang. Sekitar pukul 14.00. Seorang teman berteriak. "Mat, lari Mat! Orang Dayaknya sudah datang!" Suara si teman itu terdengar keras. Mengagetkan Matdu'i yang sibuk masak di dapur. Penggorengan yang memanas di atas kompor ditinggal Matdu'i begitu saja. Hanya satu yang terpikir oleh Matdu'i. Lari secepatnya menuju sungai di belakang rumah pengungsian.

Sementara, kantor Kecamatan Pasar Kuala dialihfungsikan sebagai tempat penampungan orang Madura saat konflik terjadi di Kalimantan Tengah pada 20-23 Februari 2001. Matdu'i tahu tempat itu berkat teman Dayak baik hati yang dimilikinya.

Matdu'i tidak sendirian ketika melarikan diri. Tiga orang teman sesama suku Madura mengikutinya di belakang. Samar-samar, suara pasukan suku Dayak meneriakkan sesumbar peperangan terdengar semakin dekat. Tombak menghunus di tangan. Seperti mencium mangsanya, mereka mengejar Matdu'i dan teman-temannya.

Lincah menyusuri sungai, sampailah Matdu'i dan temannya di hutan. Membuatnya selamat dari kejaran orang Dayak. Duri dan cabang pohon yang menggores kulit tak dihiraukan. Perih. Tapi, Matdu'i tak ingin meninggal di tangan orang Dayak. Lari beberapa kilometer membuatnya lelah. Kadang, mereka berhenti sejenak. Mengistirahatkan badan. Hingga datang sebuah kapal feri yang datang menyelamatkan mereka. Menuju Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur. "Ada 250 orang yang ada di atas kapal. Saya dan teman-teman adalah pengungsi terakhir dari Kuala Pambuang," tutur Matdu'i.

Niat pulang ke kampung tempat orangtua dan saudara tinggal, urung dilakukan. Uang Rp 200.000 yang ditawarkan ke pengemudi kapal tidak digubris. Tidak ada yang berani mendekati Desa Bandaran Jaya, Bepinang Hilir, Buluhan Naot, Sampit. Di sana, pertikaian berlangsung sengit. Orang Dayak sudah menguasai Sampit. "Saya lupa hari apa itu. Pokoknya bulan Ruwah menurut orang Madura. Uang yang ada di kantong celana saat itu hanya Rp 85.000," kenang Matdu'i.

Sebagai waria, penampilan Matdu'i sederhana. Warna kaus dan celana jinsnya sudah pudar. Rambut sebahu juga ditata seadanya. Bagian tengah diikat menjadi satu di belakang. Wajah pun minim make up. Cuma bedak dan pelembap bibir yang menempel di sana. Lambaian tangan dan gaya bicara yang mirip perempuan membuatnya berbeda dengan laki-laki kebanyakan. Ketika berada di Kuala Pambuang, Kalimantan Tengah, Matdu'I bekerja sebagai pengasuh kantin di sebuah pabrik kayu.

Dia tidak tahu menahu tentang apa sebenarnya yang terjadi di Sampit sejak 18 Februari hingga pertengahan April 2001. Kabar yang terdengar, orang Dayak membunuh banyak orang Madura. Pencarian suku Madura dilakukan di mana-mana, merata di seluruh Kalimantan Tengah. Matdu'i terlahir sebagai anak ketujuh dari 13 bersaudara. Namun, yang hidup tinggal delapan orang. Kedua orangtunya berasal dari Sampang dan menikah di sana. Waktu berada di Sampit, orangtuanya tinggal bersama anak, menantu, dan cucu.

Matdu'i merupakan sosok yang mandiri. Meski dia menjalani kehidupan cross gender. Saat konflik, Matdu'i terpisah dari keluarga. Tengah mengadu nasib di Kuala Pambuang. Jarak rumah dan tempat bekerja lumayan jauh. Empat jam lewat jalur darat dan seharian lewat laut.

Keluarga Matdu'i sampai lebih dulu di Sampang setengah bulan lamanya. Pada rentang waktu itu, keluarganya sudah menggelar Tahlilan. Dikiranya, Matdu'i sudah meninggal dunia. "Ibu saya sakit waktu itu. Begitu saya datang, ibu langsung bangun dan mampu duduk," ujar Matdu'i. Sebagai anak yang memiliki perilaku seksual berbeda dengan saudara lainnya, Matdu'i menjadi anak kesayangan ibunya.

Kini, Matdu'i mencoba mencari peruntungan di Surabaya. Tidak pernah terbersit keinginan kembali ke Sampit. "Seorang teman yang melarikan diri dari Kuala Pambuang dan kakak saya sempat balik ke Sampit. Tapi akhirnya mereka juga mati oleh orang Dayak," ungkap Matdu'i. (Marta Nurfaidah) >>bersambung

Sumber: Surya, Saturday, 12 January 2008

Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (1)

Matdu'i Sungguh Menikmati Kampung Kecil Itu

Konflik antar etnis yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah, pada Februari 2001 membuat masyarakat suku Madura harus mengungsi. Pulang di tanah leluhur justru tak memuaskan hati mereka. Merantau tetap dipilih untuk melanjutkan kehidupan. Pasar Keputran Surabaya terpilih sebagai singgahan  mereka.

Oleh Marta Nurfaidah

Selasa siang (8/1), sekitar pukul 13.00 WIB. Pasar Keputran Surabaya sudah menunjukkan geliatnya. Terutama di bagian dalam pasar yang bertingkat dua itu. Meski dikenal sebagai pasar malam hari, namun penjual dan pegawai bawang putih dan jeruk nipis sudah bersiap-siap.

"Minggir! Minggir! Ono barang liwat! (ada barang lewat!),” teriak seorang laki-laki. Langkahnya setengah berlari. Pundaknya terbebani karung plastik warna putih.

Sekilas, tercium bau bawang menyengat. Mengulik hidung segera bersin. Rupanya, laki-laki bertubuh besar dan tegap itu kebagian tugas membawa berkilo-kilo bawang putih dari mobil pick up ke dalam pasar. Mendatangi tiap pemiliknya.

Bau bawang dan selokan yang penuh dengan sampah menambah tak sedap aroma di lantai satu Pasar Keputran. Semakin melangkah ke sisi dalam, semakin tercium bau busuknya. Onggokan sampah nampak di mana-mana. Di jalan masuk pasar, pojok stan-stan pedagang, atau beberapa anak tangga menuju lantai dua.

Kulit bawang putih, plastik pembungkus, tanah becek akibat buangan air pencuci jeruk nipis, sisa makanan, bercampur jadi satu. Kotor sekali. Menjadi tempat pesta kucing-kucing liar yang butuh makanan.
Kondisi itu tak dihiraukan penghuni pasar. Semua tetap melakukan tugas rutin yang sudah bertahun-tahun digelutinya. Sampah adalah bagian dari kehidupan mereka.

Dari anak tangga, nampak stan-stan bekas toko terbuat dari kayu. Berbagai jenis pakaian digantung pada kabel yang diregangkan di salah satu sisi stan. Atau pada beberapa paku yang tertancap. Sedikit beranjak dari anak tangga, terlihat peralatan dapur bertumpukan di meja kecil depan pintu stan. Ibu-ibu duduk di bangku. Ada yang mengenakan sarung, ada juga yang bercelana tiga perempat dan berdandan menor. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Madura. Sedangkan seorang anak kecil sedang mengendarai sepeda mungilnya.

Melangkah lebih ke dalam lagi, di antara jajaran stan, terdapat ruang luas. Pada bagian tengahnya terdapat beberapa warung. Etalase-etalasenya menawarkan berbagai menu masakan. Orang-orang berkumpul di sana. Tiduran sambil bercanda atau sekadar cangkruk menyeruput minuman kopi yang masih panas.

Inilah perkampungan kecil komunitas Madura dan Jawa yang ada di lantai dua Pasar Keputran Surabaya. Di antara stan-stan itu, terdapat rumah kos Matdu'i. Orang keturunan suku Madura yang mengaku sebagai seorang waria.

"Iki omahku (ini rumahku). Sempit. Tapi sik iso gawe turu (Tapi masih bisa untuk tidur),” ucapnya sembari melepas sandal merahnya yang sudah robek di sana-sini.

Terhitung, sudah tujuh tahun dia tinggal di kamar kos berukuran 2 x 3 meter itu. Untuk menghibur diri, dindingnya ditempeli berbagai poster artis. Mulai dari aktor pemain film My Heart, Irwinsyah, kelompok musik Ungu, Veri dan Mawar AFI, hingga Radja.

Sebuah televisi berukuran 15 inci mengisi lemari yang berfungsi ganda sebagai meja. Matdu'i berusaha menata kamar kecil bekas stan toko itu senyaman mungkin. Dari tidak layak ditempati hingga membuat kerasan penghuninya.

Berbagai jenis make up mengisi wadah plastik bulat di pojok ruang, bersebelahan dengan tempat membakar obat nyamuk. Lipstik dan bedak Spalding termasuk di dalamnya. Memang kurang cocok kalau Spalding dipakai untuk bedak wajah. Tapi, Matdu'i tak peduli. Asal buat wajah terasa segar, itu sudah cukup.

Kamar Matdu'i hanya ditempati kala hari sudah malam. Selebihnya, laki-laki kelahiran 1972 itu berada di warung makan, usahanya untuk mendapat penghasilan bulanan. "Aku lali tanggal lairku. Disimpen emak kabeh. Saiki emak wis gak onok, mati (Aku lupa tanggal lahirku. Disimpan ibu semua. Sekarang ibu sudah tidak ada, meninggal)," tuturnya. Senyumnya mengembang terus. Ketika berkata, kepalanya digerakkan ke kiri dan kanan. Tangannya sibuk memegang segala barang yang ada di dekatnya.

Matdu'i adalah salah seorang dari ribuan suku Madura yang mengungsi dari Sampit, Kalimantan Tengah. Hanya tujuh hari dia berada di lokasi penampungan di Sampang, Madura. Keinginan mencari nafkah sendiri begitu kuat, membuatnya merantau ke Surabaya. Menjadi salah satu penghuni kampung kecil lantai dua Pasar Keputran. (Marta Nurfaidah)

bersambung

Sumber: Surya, Friday, 11 January 2008

Stok Semen Kosong di Sapeken

Sejak perairan Kabupaten Sumenep, dinyatakan bahaya bagi transportasi laut, berakibat pada stok semen di kepulauan Sapeken. Tiga toko yang menjual semen di pulau yang berpenduduk sekitar 40 ribu jiwa tersebut saat ini mengalami kekosongan stok semen, akibatnya sejumlah pekerjaan bangunan milik masyarakat setempat dihentikan.

Tokoh masyarakat setempat, Ust Dailami Khurairah menyebutkan, Rabu (2/1), jika tiga toko penjual semen saat ini mengalami kekosongan stok, sebab, pengiriman semen yang biasanya dilakukan dari pelabuhan Kalianget, Sumenep, maupun dari Jangar, Situbondo dan dari Bali terhenti akibat cuaca buruk. Menurut dia, pada cuaca normal pengiriman semen setiap pekan pada tiga toko yang ada di daratan Sapeken tidak kurang dari 50 ton, tapi saat ini tidak ada pengiriman sama sekali. "Tingkat kebutuhan semen di pulau Sapeken saat ini sangat tinggi," katanya. Ia berharap, pada pemasok semen dan kebutuhan bangunan lainnya agar memulai aktivitasnya, sebab, kondisi gelombang diperairan Sumenep mulai tenang.

Ia menambahkan, untuk kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako) juga perlu mendapat perhatian dari pemerintah kabupaten, sebelum berujung pada kehabisan stok seperti semen. (ant)

Haji Pulau Talango Terlantar

Meski jaraknya hanya beberapa mil dari Pelabuhan Kalianget, Kab Sumenep. Jamaah haji asal Kepulauan Talango tidak mau pulang. Pasalnya ombak besar dan badai yang berhembus di sekitar selat itu, membuat mereka ketakutan. Menurut Ahmad Yani, keluarga haji asal Desa Kombang, Kec. Talango, ketakutan yang dirasa keluarganya, karena beberapa perahu yang melayani angkutan di selat kecil itu ketakutan membawa keluarga jamaah. Ombak di lau antara Kalianget-Talango mencapai tinggi 3 meter.

Disamping itu ada satu perahu Rabu (26/12) siang tenggelam, setelah bocor terhempas gelombang perahu menghantam batu karang di tepi selat Talango-Kalianget. "Badai kali ini baru terjadi sepanjang 20 tahun, sehingga mahu menyeberang berpikir sepuluh kali," ujar guru ngaji asal Talango itu.

Akibat ketakutan menyeberang, sejumlah jamaah haji asal Talango terpaksa menginap di sekitar Pelabuhan Kalianget. Ia berharap badai dan ombak segera berakhir. Sebab jika gelombang tinggi berlangsung lama, maka kepulangan mereka akan tertunda lagi. Buntutnya biaya hidup di Sumenep membengkak. "Seharusnya Pemkab tanggap dengan persoalan ini, misal memberi bantuan bagi keluarga haji yang kini keleran di kota Sumenep dan sekitar pelabuhan Kalianget," ujarnya.

Sementara itu di pusat kota Sumenep, juga terlihat sejumlah keluarga haji terpaksa tidur di depan Masjid Agung, Masjid Al Marwah, Masjid Fatimah Kebunan karena tidak bisa pulang. Hal itu lantaran KMP Amukti Palapa, KMP Padi, dan KMP Dharma Bhakti Sumekar, terjebak di pulau Masalembu, Kangean, dan Pulau Saobi. Padahal kapal mereka mengandalkan kapal itu sebagia transpotasi pulang ke rumahnya.

Menurut Muhni, usai menunaikan ibadah haji asal Masalembu, ia dan keluarganya yang menjemput terpaksa istirahat sementara di masjid. Karena untuk menginap di hotel bersama kelaurganya tak punya biaya. "Kami tak punya anggaran nginap di hotel, terpaksa memilih di masjid saja," ujarnya.

Hal yang sama juga dialami Samsudin, jamaah haji asal Saobi. Meski perjlanan pulang dari tanah suci sampai ke tanah air terbilang lancar. Namun sesampainya di Sumenep ia tak bisa langusng pulang ke rumah. Ia terpaksa memilih tidur di Masjid Fatimah dengan pertimbangan untuk menghemat dana. Sebab dana yang ada saat ini untuk persiapan acara syukuran di kampung halamannya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. "Untung ada kebaikan pengurus takmir masjid, sehingga kami diperkenankan menginap di masjid ini. Tapi jika ada warga yang mau menampung kami, maka kami sangat senang," ujarnya.

Untuk makan minum selama di masjid menunggu pulang kampung bersamaan dengan meredanya cuaca di laut, lanjut dia, terpaksa ia bersama keluarganya membeli di warung terdekat. Ia sangat berharap Pemkab mau membantu haji asal kepulauan dengan diperkenakan menggunakan fasilitas yang dimiki Pemkab. Sebab kemungkinan kedatangan haji asal kepulauan lainnya yang tergabung dalam kloter 2 dan 3, akan menambah persoalan baru bagi haji asal kepulauan.

Sementara itu Kepala Dinas Kesejahtraan Sosial Sumenep, H Syaiful Anwar, Kamis (27/12) pagi, sulit dihubungi lewat HP-nya. Namun sekretaris Dinas Kesos, Drs Achmad Baidawi, terkejut dengan informasi yang diterimanya. ”Ya nanti kami akan koordinasi dengan Pak Kadis, Insya Allah pagi ini (Kamis, 27/12) kami akan melaporkan ke bupati,” ujarnya.

Menurut mantan Direktur Umum PDAM Sumenep itu, jika ada jamaaah haji asal kepulauan yang baru pulang dari tanah suci kemudian terlantar di Kota Sumenep, bupati pasti memerintahkan untuk memberi bantuan kepada mereka, meski hanya untuk makan minum mereka selama di Kota Sumenep.

Kepala Dinas Perhubungan Sumenep, Drs R Ach. Aminullah M.Si, hingga kini belum bisa memastikan kapan tiga KMP yang melayani rute kepulauan, bisa beroperasi mengangkut kepulangan jamaah haji. Sementara ombak laut masih tinggi mencapai 3 - 6 meter. "Saya tidak bisa memaksa mereka, karena mereka juga takut. Dan saya tidak tahu pasti sampai kapan badai ini reda. Jadi mohon ada pengertian semua pihak untuk bersabar," pungkasnya. (far)

Sumber: Surabaya Post, Kamis 27/12/2007

Di Kepulauan Sumenep Bensin Melambung

Tingginya gelombang dan hujan yang terus menerus, membuat sejumlah kapal pengangkut BBM dan sembako, tidak berani berlayar ke sejumlah kepulauan di wilayah Kabupaten Sumenep. Akibatnya, harga BBM di sejumlah kepulauan di Sumenep mulai melambung.
Di Pulau Sapeken, Masalembu dan Pulau Kangean misalnya, sejak beberapa hari lalu berbagai jenis BBM sudah merambat naik. Seperti premium harganya sudah mencapai Rp 7.500/liter, solar Rp 5.750/liter sedangkan minyak tanah sudah mencapai Rp 4.000/liter.

Diperkirakan, harga tersebut akan semakin naik bila cuaca kapal tidak bisa berlabuh di pelabuhan kepulauan tersebut. "Bila terus begini bukan tidak mungkin BBM, sembako atau kebutuhan pokok lainnya harganya semakin naik karena persedian menipis karena sulitnya distribusi ke pulau-pulau,” ujar Fathorrahiem, anggota BPD Pulau Kangean.

Sementara itu, sebanyak 248 jiwa warga Pulau Salarangan Desa Paliat Kecamatan Sepeken Pulau, hingga Selasa (1/1) masih mengungsi di Pulau Paliat. Mereka belum berani kembali ke tempat tinggalnya, karena ombak masih tinggi.

Seperti diberitakan sebelumnya, sebanyak 248 jiwa atau 74 KK yang menghuni di 76 rumah di Pulau Salarangan, Desa Paliat, Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep terpaksa mengungsi ke Pulau Paliat karena pulau tempat tinggalnya nyaris tenggelam akibat diterjang ombak.

Samhari, warga setempat menuturkan, atas saran tokoh masyarakat dan perangkat desa setempat, warga Pulau Salarangan diminta untuk bersabar dan menetap sementara di tempat pengungsian kaerna tinggi gelombang masih mencapai 4 meter. “Yang penting menyelamatkan diri, mungkin satu atau dua hari ini ombak reda kita bisa pulang,” kata Samhari, Selasa (1/1).

Semua warga yang mengungsi belum mengecek kondisi rumah, yang mereka tinggalkan sejak Minggu (30/12). ”Kemungkinan banyak yang rusak, karena ditejang ombak besar,” duganya.

”Banyak warga mulai kehabisan bahan pangannya, sedangkan pasokan pangan terhenti karena kapal tidak berlayar,” tandas Hari juga warga Pulau Salarangan yang ikut mengungsi. (st2)

Sumber: Surya, Wednesday, 02 January 2008

Masjid Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Diruwat

Masjid STAIN Pamekasan yang dinamai Darul Hikmah diruwat kemarin (10/01). Ritual istighotsah yang menandai peresmian masjid ini berlangsung khidmat. Selain itu, para qari (pembaca Alquran) khusuk tadarus bergantian sampai khatam.

Saat sambutan, Ketua STAIN Hj Mariyatul Qibtiyah menilai masjid sebagai pusat kegiatan Islam. Dia bilang momentum ruwatan dan peresmian masjid berada di saat yang tepat. Sebab, dia beralasan peresmian masjid bertepatan dengan malam 1 Muharram 1429 Hijriyah. Perempuan yang akrab disapa Maria ini menganggap masjid sebagai salah satu media pemersatu.

Diterangkan, masjid tak hanya berfungsi sebagai tempat salat. Tetapi, dia menilai masjid juga dapat menjadi sarana pencerahan. Termasuk juga berfungsi sebagai basis pengasahan intelektualitas muslim.

Dia bilang, aktivis kampus bisa berdiskusi seputar keislaman di dalam masjid. Tetapi, Maria minta agar dialog di dalam masjid tak sampai mengganggu orang lain yang beribadah. "Masjid juga bisa menjadi pusat perjuangan melawan kebodohan," katanya.

Penceramah muharraman yang disampaikan Zahid, meminta civitas STAIN waspada terhadap gerakan liberalisme. Pasalnya, kaum liberalis dapat mengaburkan pemikiran generasi muslim. Zahid mendesak generasi muda agar kembali ke dzikir. Sebab, dia yakin dzikir dapat membimbing umat kepada jalan yang benar.

Menurutnya, dzikir juga bisa membentengi muslim dari gerakan yang mengganggu akidah. "Di tahun baru (Islam) ini, kita murnikan niat untuk berbuat lebih baik lagi," paparnya.

Sementara humas panitia ruwatan dan peresmian masjid Malhum Ali Humaidi sengaja memilih waktu awal tahun Islam. Dia beralasan malam tahun baru sebagai tonggak bagi muslim untuk bertindak lebih arif. Dia inginkan, selain rumah ibadah masjid kampus termegah di Madura itu dikehendaki menjadi pusat kajian Islam. Menurut dia, masjid kampus di tempat lain menjadi ajang diskusi dan kajian keislaman. "Semoga masjid ini tak hanya ramai saat diresmikan saja," harapnya.

Hadir dalam ruwatan dan peresmian masjid ini dosen dan mahasiswa STAIN. Selain itu, tokoh masyarakat, ulama, dan jajaran terkait juga hadir dalam acara ini. (abe/*)

Sumber: Jawa Pos, Jumat, 11 Jan 2008