Pondok Pesantren Ta-bata Terbakar

Seratus Dua Puluh Kamar Santri dan Perpustakaan Jadi Arang

Pondok Pesantren (ponpes) terbesar di Kabupaten Pamekasan, Ponpes Bata-Bata, Desa Potoan, Kecamatan Palenga'an, Pamekasan, ludes dimakan api. Sebanyak 120 kamar yang dihuni sekitar 1.200 santri di blok S dan ruang perpustakaan hangus tinggal puing-puing, Jumat (22/8), pukul 02.00 WIB dini hari.

Tak ada korban jiwa dalam musibah yang melahap bangunan terbuat dari separuh tembok dan separuh gedek. Namun seluruh buku dan kitab serta barang-barang milik santri tidak terselamatkan. Kerugian materiil ditaksir mencapai sekitar Rp 750 juta.

Kebakaran yang menimpa ponpes terbesar di Pamekasan ini terjadi di saat seluruh penghuni ponpes tidur pulas. Barang-barang santri tidak terselamatkan karena sebagian besar santri pulang kampung betepatan dengan libur puasa.

Penghuni ponpes kalang kabut menyelamatkan diri, setelah diberitahu warga yang tengah menyiram tanaman tembakau di sekitar ponpes. Warga segera menghubungi pengurus ponpes ketika melihat kepulan asap dan kobaran api dari atap blok S ponpes.

Setelah satu jam berusaha mengevakuasi barang barulah satu unit mobil PMK datang. Sialnya sekitar 300 meter menjelang lokasi kebakaran, mobil PMK yang sudah tua itu mogok di tengah jalan. Para santri bertambah panik. Akhirnya api berhasil dipadamkan sekitar 03.30 WIB setelah ada bantuan mobil PMK lainnya.

Ketua pengurus Ponpes Bata-Bata, Mahfud, hanya bisa tertunduk lesu seakan tidak percaya apa yang dilihatnya. “Saya tidak tahu pasti apa penyebab kebaran itu. Yang jelas sumber api itu berasal dari kamar santri yang kosong tanpa penghuni,” kata Mahfud. Dari informasi yang dihimpun Surya kebakaran itu akibat hubungan pendek arus listrik di kamar 16 Blok S. Kamar itu kosong ditinggal penghuninya yang sedang pergi ke masjid di areal ponpes. (st30)

Sumber: Surya, Saturday, 23 August 2008

Pondok Pesantren Bata-bata Terbakar

Pemondokan Santri Ludes dan Gedung Perpustakaan Hancur

Pondok Pesantren Bata-bata, Palengaan, Pamekasan, pagi dini hari, Jumat (22/8), terbakar. Lima unit pemondokan atau tempat tinggal yang dihuni sekitar 500 santri, yang terdapat di Blok S komplek pemondokan itu ludes dilalap api. Bahkan api juga sempat menyambar bagian atap gedung Perpustakaan Al Majidiyah yang kebetulan menyambung dengan pemondokan santri.

Beruntung buku dan kitab-kitab berharga di perpustakaan itu bisa diselamatkan. Namun, buku, kitab, dan pakaian para santri yang ada di dalam lima unit pemondokan yang terbangun dari kayu itu habis hangus terbakar jadi arang. Tidak ada korban jiwa dalam kebakaran ini, namun kerugian atas musibah yang menimpa pondok asuhan KH Abd Hamid Makhfud ini diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah.

Salah seorang santri yang berhasil ditemui Surabaya Post mengatakan, santri yang mengetahui asal api yakni Moh Dahri, kejadian bermula sekitar pukul 02.30 dini hari. “Dia yang pertama kali bangun dan tahu ada api di bangunan pondok dekat perpustakaan. Lalu dia bangunkan santri lainnya untuk memadamkan api, namun apinya cepat menjalar sehingga sulit dipadamkan,” katanya.

Mengetahui ada kebakaran, semua santri dibantu masyarakat sekitar pondok bergotong royong memadamkan api dengan menggunakan air seadanya. Akhirnya, sekitar pukul 04.00, api bisa diblokir untuk tidak menjalar ke kawasan pemondokan santri lainnya. Namun semua barang barang milik santri yang meliputi, pakaian, buku dan kitab pelajaran semuanya ludes terbakar.

KH Hasan Abdul Hamid, putra pengasuh Pondok Pesantren Bata Bata mengatakan, hingga saat ini masih belum diketahui latar belakang penyebab kebakaran itu. Dia memperkirakan api menjalar dimulai dari kamar kosong dari pemondokan santri. “Jumlah kamar disini ratusan dan tidak berpenghuni semua karena sekarang banyak yang pulang liburan. Untungya tidak ada korban jiwa,” kata kia muda yang akrab dipanggil Lora Hasan ini.

Sepanjang berdirinya Pondok Persantren Bata-Bata, yang hingga kini tercatat memiliki sekitar 6.000 santri laki-laki dan perempuan, yang dibangun diatas lahan sekitar 5 ha ini, sudah dua kali mengalami kebakaran. Pertama pada 1980. Waktu itu sekitar 80% pemondokan santri ludes terbakar. Beruntung juga tidak ada korban jiwa pada saat itu.

“Saat itu saya masih kecil, usia saya mungkin baru 4 tahun. Kebakaran terjadi juga tepat bulan Agustus malam Jumat setelah baru selesai memeriahkan HUT kemerdekaan RI, sama dengan kebakaran saat sekarang, hanya tanggalnya berbeda. Jika 1980 lalu terjadi pada 25 Agustus malam Jumat, saat ini terjadi Kamis malam Jumat 22 Agustus,” ungkapnya. (mas)

Sumber: Surabaya Post, Jumat 22/08/2008

Kabar lain terkait kabar ini:
Pondok Pesantren Ta-bata Terbakar

Mahasiswa Baru Unijoyo Kesurupan

Diduga Kelelahan Tiga Hari Diplonco

Sebanyak 12 mahasiswa baru (maba) Universitas Trunojoyo (Unijoyo) Bangkalan kesurupan dan 23 maba lain pingsan saat mengikuti rangkaian Orpamaba di Gedung Auditorium Unijoyo, Bangkalan, Kamis (21/8). Kesurupan yang menimpa maba laki dan perempuan itu terjadi di hari ketiga sejak mereka masuk kampus dan mendapat gemblengan dari senior. Salah seorang dari maba kondisinya cukup parah sehigga dilarikan ke Puskesmas Kamal.

Dari informasi yang dihimpun Surya, di awal materi acara berlangsung biasa-biasa. Namun satu jam kemudian, beberapa maba perempuan mengaku pusing-pusing. Sejurus kemudian maba yang lain berteriak histeris memanggil nama-nama yang tidak dikenal.

Kejadian itu maba dan senior yang berdiri di bagian depan panik. Apalagi ketika ada maba yang mencoba menolong rekannya malah ikut menjerit-jerit dan ambruk. Sehingga sebagian besar maba berhamburan keluar gedung.

Mahasiswa senior mencoba membawa maba kesurupan ke ruang lain untuk disadarkan. Namun usaha itu gagal. Kondisi mulai membaik setelah pihak Unijoyo mengundang orang 'pintar' untuk mengobati mereka. Dua jam kemudian, satu-persatu mereka berangsur pulih meski ada yang belum bisa diajak bicara.

Dian, salah seorang maba kesurupan yang sudah siuman, tidak mengerti kenapa kejadian itu menimpa dirinya. Hanya saja, kata Dian, sejak hari pertama hingga hari ketiga kegiatan maba itu padat, selain menguras fisik, juga tegang lantaran perlakuan seniornya yagn di luar batas.

"Sejak hari pertama tenaga saya diforsir dan pikiran kalut. Berangkat pukul 05.00 WIB dan pulang pukul 18.00. Bahkan selama ini tidak sempat sarapan khawatir terlambat dan mendapat hukuman dari seniornya," papar Dian.

Seperti diberitakan Surya sebelumnya, maba Unijoyo 2008 sempat unjuk rasa memprotes kegiatan Orpamaba 2008 yang dinilai sarat perploncoan yang tidak mendidik. Bahkan menjurus ke arah penyiksaan fisik maba.

Atas kejadian itu panitia Orientasi Maba, Seksi Kesehatan, Mamang mengatakan, kejadian itu diduga maba kelelahan dan makannya tidak teratur. Sehingga mereka mengalami depresi ringan dan kemudian pingsan dan kesurupan. "Nah, sekarang mereka pingsan dan kesurupan sudah sadar. Hanya seorang yang masih dirawat di puskesmas,” ujar Mamang. (st30)

Sumber: Surya, Friday, 22 August 2008

Pemilik Sumur Bensin Tolak Jual Lahan

Diam-Diam Dijual Rp 3.000/Liter

Setelah hasil uji laboratorium Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pusat menyebutkan bahwa kandungan minyak yang keluar dari sumur warga di Dusun Karang, Desa Mandala, Kecamatan Rubaru, Sumenep adalah bensin atau premium murni, pemiliknya pun mulai pasang target. Selain tidak mau menjual lahannya itu ke pemerintah, pemilik lahan diam-diam menjual hasil minyak di dalam sumur itu ke warga Rp 3.000 per liter. Sebab, ketika minyak itu dipakai sebagai bahan bakar sepeda motor, ternyata kendaraan bisa berfungsi normal.

Hal itu terungkap ketika Surya bertandang ke sumur milik Sutamar (bukan Sutarman seperti berita sebelumnya, -Red), Rabu (20/8). Kepastian lahannya tak akan dijual kepada pemerintah, diungkapkan oleh Ahmad Huseini, anak Sutamar, selaku ahli warisnya. Dia lebih sreg bila lahannya hanya dikontrakkan kepada siapa saja yang akan mengelola lahan minyak tersebut.

"Hasil keputusan keluarga, tanah ini tak akan dijual. Karena tanah ukuran100 x 60 meter itu satu-satunya peninggalan turun temurun dan satu-satunya tanah milik keluarga," kata Huseini. Selama ini, lanjutnya, lahan itu menjadi penopang kehidupan keluarganya.

Di atas lahan ini dia bercocok tanam mulai jagung, ketela pohon, dan tembakau. "Keluarga kami tidak punya lahan lain yang bisa menghidupi kami, selain tanah itu. Jadi terus terang, saya keberatan bila ini kami jual," lanjutnya.

Meskipun tak akan dijual, namun Heseini mempersilakan jika Pemkab Sumenep mengeksploitasi kandungan minyak yang ada di sumurnya. "Kalau nantinya mau dieksploitasi, kami hanya berharap pemerintah daerah memikirkan nasib keluarga besar kami", katanya. Huseini mengakui, sejak sumur itu mengeluarkan bensin, pihaknya terpaksa menjual hasil penampungan minyak yang mengalir dari dinding sumur itu kepada warga, kendati sumur itu telah diberi garis polisi (police line). Hal itu dilakukan demi menopang kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.

Dikatakan, warga yang membutuhkan hingga 1 liter, Huseini menjualnya dengan harga Rp 3.000. "Terus terang ini kami lakukan, karena waktu menggali sumur dulu juga banyak mengeluarkan biaya hingga Rp 2 juta," tuturnya. Sejauh ini, rata-rata selama 12 jam, sumur tersebut mampu menghasilkan premium sebanyak 10 liter.

Dikatakan, warga membeli minyak itu antara lain untuk bahan bakar mesin penggilingan jagung atau untuk bensin sepeda motor. "Beberapa kali diujicobakan ke sepeda motor, hasilnya sangat bagus dan mesinnya juga tidak rusak," imbuh Huseini yang dibenarkan oleh kerabat lainnya.

Hal sama diakui Kepala Desa Mandala, Mudellir, bahwa minyak mentah yang keluar dari sumur milik Sutamar itu bisa dimanfaatkan sebagai BBM. Minyak mentah itu sudah digunakan sebagai BBM kendaraan bermotor atau mesin berbahan bakar premium.

Namun, warga belum berani memanfaatkan untuk kompor sebagai pengganti minyak tanah, karena minyak mentah tersebut bersifat "keras". "Kalau didekatkan dengan api, minyak mentah yang keluar dari sumur warga kami itu langsung menyala dan gampang terbakar. Makanya, kami mengganggap minyak mentah itu sebagai bensin", katanya.

Sumur Peninggalan Belanda

Perkembangan terbaru menyebutkan bahwa di sekitar ditemukannya sumur minyak milik Sutamar, 60, juga terdapat sumur tua peninggalan Belanda yang konon juga mengeluarkan minyak dan saat ini ditutup karena takut membahayakan lingkungannya. Jaraknya sekitar 300 meter dari sumur milik Sutamar.

Hal itu disampaikan Kepala Kantor ESDM Sumenep Drs Moh Fadhilah MM, Rabu (20/8). Menurutnya, sumur tua yang sudah ditutup itu diyakini masih berisi minyak mentah sejenis temuan di sumur milik Sutamar namun hingga kini belum dibuka.

"Konon sumur tua itu oleh Belanda diberi nama blok Mandala 1. Termasuk juga adanya dua sumur yang digali warga namun bukan minyak tetapi mengeluarkan cairan kental sejenis aspal," ujar Fadhilah.

Selian itu, masih di kawasan blok Mandala 1, lanjut Fadhilah, di sekitar daerah itu juga ada dua sumur minyak yang sempat digali pemerintah Belanda, namun tidak berlanjut ke proses eksploitasi. Dua sumur itu berada di Desa Gunung Gembar, Kecamatan Manding, Sumenep.

"Walaupun tidak ada kaitannya, namun dengan ditemukannya beberapa sumur yang mengeluarkan minyak, aspal, dan bekas sumur Belanda itu, maka menunjukkan di daerah itu adalah ladang minyak. Tetapi itu masih perlu survei," lanjutnya.

Karena itu, pihaknya akan bekerjasama dengan Pemprov Jatim untuk upaya lanjutan. Jika benar bisa dieksploitasi, maka bisa menambah pendapatan daerah Sumenep dan bisa bermanfaat untuk masyarakat.

Sementara itu, geolog dari Fakultas Teknik Sipil Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya Ir Amien Widodo MSi menjelaskan, kondisi yang terjadi di sumur milik Sutamar tersebut biasa disebut seepage, yaitu rembesan minyak di permukaan bumi layaknya mata air.

Gejala ini muncul karena daratan tempat sumur digali berupa lipatan antiklin. Akumulasi minyak dan gas bumi biasanya ada pada struktur lipatan antiklin ini. Minyak memiliki sifat migrasi, bergerak ke atas karena berat jenisnya lebih kecil dibanding air. Jadi, minyak lebih mudah mengambang. "Bila ada air dan minyak dalam satu lapisan tanah, minyak akan berada di bagian atas. Sebab, air menekan minyak tersebut," katanya, Rabu.

Dikatakan, daratan Jatim memang memiliki kandungan minyak tinggi. Menurut Amien, lokasi itu memanjang dari Sumenep hingga Cepu. Surabaya juga termasuk area kaya minyak.

"Sekitar tahun 1980-1990an, minyak pernah keluar dari tanah di area SMA Dr Soetomo," ujar Amien. Namun, mungkin sekarang tidak keluar lagi karena tekanan air berkurang. Karena kandungan air di sana juga sudah tidak ada lagi atau kering. st2/ida

Sumber: Surya, Thursday, 21 August 2008

Ledakan SMEC: Dua Puluh Dua Rumah Retak

Langsung Didata, Diberi Ganti Rugi

Kegiatan recording yang dilakukan PT South Madura Exploration Company (SMEC) di Kecamatan Burneh pada Kamis (7/8) siang hingga petang, menimbulkan masalah. Sebanyak 22 rumah warga di dua desa rusak akibat getaran ledakan. Pemilik rumah pun melaporkan kepada kepala desanya.

Berdasarkan catatan koran ini, lima rumah warga rusak di Desa Burneh, tepatnya Kampung Burneh Barat; dan lima rumah lagi di Kampung Pancar. Dinding rumah mereka retak akibat adanya getaran yang dihasilkan dari bahan peledak SMEC.

Sedangkan 11 rumah lagi retak di Desa Langkap. Termasuk pagar rumah H Mansyur yang sedang dibangun sampai roboh dua kali.

"Padahal rumah saya baru saja dibangun. Masak sekarang atap dan dindingnya sudah retak-retak," kata Juley, warga Dusun Kangean Timur, Desa Langkap.

Di rumah H Syaiful, sedikitnya terdapat lima retakan. Retakan terparah terlihat di tembok dapur. "Pamitnya SMEC itu kan mau cari minyak. Kami pikir ngebor ke dalam tanah, eh ternyata pakai dinamit yang bikin rumah di sini bergetar. Kalau masih ada ledakan lagi, bisa roboh rumah kami," keluhnya.

Warga yang rumahnya rusak atau retak-retak langsung berkumpul hingga larut malam. Mereka yang awalnya berencana berunjuk rasa, akhirnya bisa diredam kepala desa setempat. Kepala Desa Burneh Rasiman dan Kepala Desa Langkap Jufri langsung turun lapangan. Pihaknya mendata rumah warganya yang rusak.

Malam itu juga dua Kades itu langsung menuju perwakilan PT SMEC. Keduanya mendesak SMEC bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi yang sepadan kepada warga yang rumahnya rusak.

Pagi harinya, pihak SMEC yang diwakili bagian humas dan pendataan didampingi aparatur Kecamatan Burneh dan perwakilan desa turun ke lapangan. Mereka meninjau setiap rumah yang rusak dan bermusyawarah soal besarnya ganti rugi.

Dalam proses ganti rugi ini, SMEC memasang biaya ganti rugi biaya seorang tukang Rp 50 ribu, asisten tukang Rp 40 ribu, dan sesak semen Rp 43 ribu. Jadi, setiap rumah yang retak rata-rata mendapatkan ganti rugi sebesar Rp 133 ribu. Sedangkan H Mansyur yang pagar rumahnya roboh mendapatkan penghitungan ganti rugi berbeda.

"Di rumah kami yang rusak kan pagarnya. Apalagi roboh hingga dua kali. Jadi, berdasarkan hasil musyawarah, saya dapat ganti Rp 266 ribu. Sebab, diperkirakan tukang kerja dua hari memerbaiki kerusakan itu," ujar Mansyur.

Humas PT SMEC Soni Mas yang dijumpai di sela-sela pendataan rumah warga yang rusak menyatakan, pihaknya akan bertanggung jawab penuh bila ada pihak yang dirugikan akibat rangkaian kegiatan SMEC.

"Kita akan melakukan musyawarah secara baik-baik dengan warga perihal nominal ganti rugi. Sehingga tidak ada masalah ke belakang hari. Namun hari ini (kemarin, Red) kita hanya mendata saja. Pembayaran uangnya akan kita upayakan besok (hari ini, Red)," katanya. (ale/mat)

Sumber: Jawa Post, Sabtu, 09 Agustus 2008

Di Tanah Merah, Alat SMEC Dirusak

Polisi Selidiki Pelaku Perusakan

Penolakan survei seismik oleh PT South Madura Exploration Company (SMEC) tidak hanya terjadi di Kecamatan Burneh. Sebelumnya, Minggu (3/8) kasus yang sama terjadi di Tanah Merah.

Sekelompok orang di Desa Buddan, Kecamatan Tanah Merah, Bangkalan, nekad mencabuti kabel milik SMEC saat survei seismik dilakukan. Bahkan, peristiwa itu berujung perusakan. Setelah kabel dicabut paksa, massa membakarnya. Kini kasus itu diusut kepolisian.

Kapolres Bangkalan AKBP Drs Aris Purnomo yang dikonfirmasi melalui Kapolsek Tanah Merah AKP Mahmud menjelaskan, peristiwa itu diawali protes kelompok orang. Mereka menolak survei seismik oleh PT SMEC, karena khawatir imbasnya seperti Lapindo di Sidoarjo.

Kemudian, warga mencabuti kabel milik SMEC. Malah, ada peralatan yang dirusak. Karena kejadian itu, kegiatan lapangan di wilayah Kecamatan Tanah Merah untuk sementara dihentikan. "SMEC menghentikan kegiatan hingga situasinya dingin," kata Mahmud.

Mestinya, lanjut mantan Kapolsek Modung ini, penghentian kegiatan survei seismik tidak perlu terjadi. Sebab, sebelumnya pemilik lahan yang menjadi lokasi peledakan sudah menyetujui. Soasialisasi juga dilaksanakan. Namun, ketika kegiatan lapangan, massa menolak hingga berujung penghentian paksa dan perusakan peralatan.

"Kejadian ini masih diselidiki. Proses lidiknya (penyelidikan, Red) kita limpahkan ke Polres Bangkalan. Barang buktinya juga sudah diserahkan ke polres," terangnya.

Mahmud menduga, ada orang yang sengaja menggerakkan massa untuk menolak dan merusak peralatan SMEC. Bahkan, ada sinyalemen penggeraknya warga asal Desa Buddan yang tinggal di luar desa.

Sementara Kasat Reskrim Polres Bangkalan Iptu Sulaiman mengatakan, pihaknya masih menyelidiki kejadian tersebut. Hanya, yang diproses polisi bukan penolakan masyarakat terhadap survei seismik, tapi perusakan peralatan. "Survei itu kan sudah disetujui. Tapi kenapa sampai ada perusakan?" tukasnya.

Setelah di Tanah Merah, pada Selasa (5/7) proses pemasangan kabel penghubung (recording) yang dilakukan SMEC di Kecamatan Burneh menemui kendala. Puluhan warga Kampung Burneh Barat, Desa/Kecamatan Burneh, mencabuti kabel penghubung yang melintasi pekarangan mereka.

Aksi warga itu dipicu ledakan dan getaran yang ditimbulkan dari bahan peledak saat PT SMEC membuat lubang di daerah Tunjung. Meski berjarak sekitar 1 km dari Kampung Burneh Barat, namun suara dan getarannya masih dirasakan keras oleh warga setempat. (tra/mat)

Rakyat Tidak Paham Istilah Asing

Sehari pasca penolakan warga Kampung Burneh Barat, Desa/Kecamatan Burneh terhadap tahapan recording yang dilakukan PT South Madura Exploration Company (SMEC), langsung direspon aparat pemerintahan setempat guna mencari penyebabnya. Kurangnya pengetahuan masyarakat menjadi salahsatu penyebab utama pencabutan kabel-kabel penghubung yang ada di sekitar pekarangan warga.

Warga Burneh yang awalnya mengaku tidak pernah ada pemberitahuan dari pihak terkait, tentang adanya proses peledakan juga ditampik Camat Burneh Ismed Efendi SSos. Menurut Ismed, sebenarnya pemberitahuan dan sosialisasi telah dilakukan, hanya saja masyarakat tidak mampu menerjemahkannya. "Sekdes sebenarnya telah bilang ke warga kalau ada pemasangan kabel dan recording. Tapi saya saja tidak mengerti kalau recording tersebut ada peledakan. Kita pikir hanya rekaman apa gitu," ujar Ismed.

Dirinya sendiri mengaku baru mengerti setelah adanya kasus kemarin (Rabu, 5/8), red), kalau proses recording di dalamnya juga ada peledakan menggunakan bahan peledak untuk menghasilkan getaran yang selanjutnya ditangkap oleh kabel-kabel sehingga terekam alur minyak yang ada di bawah tanah.

Mantan Camat Labang ini sedikit menyayangkan sikap PT SMEC yang tidak menggunakan bahasa setempat agar masyarakat mengerti seluruh rangkaian ekplorasi yang dilakukan di daerahnya.Karenanya, dirinya akan mengumpulkan seluruh warga Kampung Burneh Barat, Desa/Kecamatan Burneh untuk kembali memberikan penjelasan pada warga agar mau memberikan kesempatan PT SMEC melaksanakan tugasnya.

Pada agenda pertemuan itu, juga akan dibicarakan perihal proses ganti rugi yang berhak diterima setiap warga yang dilalui kabel. "Warga selama ini kan beranggapan kalau uang ganti rugi sudah diberikan SMEC lalu diambil camat dan lurah. Padahal, sebenarnya uang tersebut baru diberikan tiga hari setelah dilakukan proses recording ini," imbuhnya.

Sementara itu, Imam Sujudi dan Agus Sagiono dari PT SMEC yang berencana menggelar jumpa pers kemarin memilih tidak berkomentar. Mereka hanya memberikan nama dan nomor telepon Hubmas BP Migas Jakarta. "Silahkan hubungi bapak Amir Hamzah, kami sudah dapat perintah agar tidak memberikan keterangan. Beliau yang akan bicara terkait segala masalah yang terjadi di lapangan," ujar Imam Sujudi. Namun sayang, ketika coba ditelepon, Amir Hamzah sedang rapat. (ale/rd)


Sumber: Jawa Pos, Kamis, 07 Agustus 2008

Ekspansi SIER ke Madura

Pengelola kawasan industri PT SIER (Surabaya Industrial Estate Rungkut) mulai mempertimbangkan wilayah Madura sebagai sasaran ekspansi usaha. Hal ini memperhitungkan kemungkinan rencana pengembangan pelabuhan Tanjung Perak di wilayah Pulau Madura. “Kami menyesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang disusun pemerintah. Jika pelabuhan baru akan dibangun di Madura, ekspansi SIER juga akan ke sana,” kata Yoke C Katon, Direktur Pemasaran & Pengembangan PT SIER, Selasa (5/8).

Sebelumnya, di wilayah Mojokerto, PT SIER berencana membangun KI seluas 300 hektare. Namun tahun lalu, rencana ini urung diteruskan setelah dinyatakan tidak fisible dari hasil studi oleh konsultan PT SIER.

Menurut Yoke, wilayah Madura menjadi salah satu alternatif setelah hasil studi menunjukkan bahwa rencana pengembangan SIER di Mojokerto dinyatakan tidak fisible atau tidak layak secara bisnis. Di sisi lain, Madura sangat berpotensi dikembangkan Kawasan Industri (KI), seiring penyelesaian pembangunan jembatan Suramadu dan pengembangan pelabuhan Tanjung Perak.

Oleh sebab itu, hingga kini, PT SIER belum melakukan langkah lebih lanjut mengenai pengembangan tersebut. Padahal, sejumlah pihak telah mengajukan tawaran kerja sama. "Belum ada action misalnya terkait pembebasan lahan, meski sudah ada beberapa pihak yang datang kepada kami mengajak kerja sama," ungkap Yoke.

Kendati belum melanjutkan ekspansi lahan, Yoke mengatakan, PT SIER masih memiliki lahan kosong 280 hektare yang terletak di KI PIER (Pasuruan Industrial Estate Rembang). Adapun total lahan PIER seluas 518 hektare. Sementara ,di wilayah SIER dengan luas lahan 245 hektare berlokasi di Rungkut, Kota Surabaya, dan 87 hektare di Brebek, Sidoarjo, seluruhnya telah laku terjual.

Menurut Yoke, dari segi bisnis potensi pengembangan KI makin cerah jika pemerintah mengesahkan RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) tentang KI. Dalam ketentuan yang kini tengah dibahas itu, pemerintah mewajibkan investasi sektor industri yang baru masuk ke Indonesia bergabung ke KI. Dalam kondisi demikian, harga jual atau tarif sewa KI berpotensi naik sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. (ytz)

Sumber: Surya, Wednesday, 06 August 2008

Kabel PLN Membahayakan

Warga di sekitar Dusun Kampong Barat, Desa Gro'om, Kecamatan Proppo dibuat resah dengan kabel milik PLN keberadannya memrihatinkan. Maklum, sudah lebih dari sebulan terakhir kabel milik PLN tersebut melorot kebawah. Sehingga, keberadaannya cukup mengkhawatirkan.

Berdasarkan pantauan koran ini, kabel yang jaraknya tinggal satu meter lagi dari permukaan tanah itu kondisinya sangat rawan. Keberadaannya sangat dikhawatirkan, terutama bila tersangkut kendaraan atau karena udara panas musim kemarau putus yang bisa memelorotkan. Sehingga, akan sangat membahayakan jiwa manusia yang ada di dekatnya.

Dari beberapa penuturan warga, sudah beberapa kali mereka mengingatkan pihak PLN. Sebab, jika musim hujan datang, tiang yang menahan kabel akan tergeser dan tingkat kemiringan semakin menjadi.

Namun, anehnya belum ada tindak lanjut dari PLN. Padahal, kabel yang juga digunakan mengaliri listrik pada PJU (penerangan jalan umum) itu sudah mengenai beberapa tanaman tembakau milik warga. Tentu saja, hal tersebut sangat membahayakan.

Jakfar, 35, warga yang kesehariannya melintas di sekitar kabel melorot tersebut mengatakan, dirinya sangat mengkhawatirkan kondisi kabel tersebut. Sebab, jaraknya yang sudah dekat dengan permukaan tanah rawan terhadap keselamatan jiwa manusia.

Apalagi, lanjutnya, saat ini para petani tembakau sedang sibuk untuk memanen tembakaunya yang kebetulan tidak jauh dari lokasi. "Saya khawatir kabel induk tersebut ada yang terbuka. Apalagi, kalau kabel mengenai tanaman tembakau milik petani. Bayangkan saja, saat petani memanen tembakaunya dan mengenai kabel tersebut, kan berbahaya," katanya.

Jakfar menambahkan, jika keadaan tidak segera diantisipasi dikhawatirkan benar-benar mengakibakan korban jiwa warga sekitar. "Saya menimbau agar pihak PLN segera mengambil alih masalah ini. Mestinya, hal ini diperhatikan sebagai pelayanan konsumen dan perlindungan bagi masyarakat," pungkasnya.

Sementara, penanggungjawab PLN UPJ Pamekasan Rifai berjanji akan segera menindaklanjuti kekhawatiran warga. Menurut dia, pihaknya sangat respon dengan laporan warga tersebut. Karena itu, dalam waktu cepat PLN dipastikan segera bertindak.

"Saya belum tahu. Makanya, akan ditanyakan dulu pada warga. Yang pasti, sekarang juga akan ditindaklanjuti," katanya kemarin sore. (c9/zid)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 04 Agustus 2008