Puting Beliung Terjang Galis

18 Rumah Rusak, 1 Kandang Ternak Rata Tanah

Pamekasan, Jawa Pos - Seperti menjadi siklus tahunan, bencana alam angin puyuh kembali terjadi di wilayah Kabupaten Pamekasan. Minggu (25/2) lalu, sekitar pukul 16.15, puting beliung menerjang Desa Konang, Kecamatan Galis.

Akibatnya, 18 rumah milik warga setempat rusak. Kebanyakan rumah rusak pada bagian atap, genteng, penyangga hingga jendela rumah. Hingga kemarin siang, beberapa rumah warga belum diperbaiki oleh pemiliknya.

Selain mengakibatkan kerusakan rumah, puting beliung juga menumbangkan sejumlah pohon. Beberapa pohon sempat menghalangi jalan desa. Juga beberapa areal tanaman jagung juga banyak yang roboh.

Hingga kemarin, belum ada keterangan resmi mengenai total kerugian akibat puting beliung. Namun, perkiraan sementara, kerugian mencapai puluhan juta rupiah. Asumsinya, meski kerusakan rumah warga bervariasi, namun rata-rata mengalami kerusakan pada bagian vital.

Berdasarkan pantauan di lokasi bencana menunjukkan, sebagian besar genteng rumah penduduk porak-poranda. Sebagian teras rumah juga rusak. Meski relatif bervariasi, kerusakan banyak menimpa genteng, atap, penyangga rumah dan sebagainya.


Salah satu rumah warga, Havid, 30, rusak atapnya, genteng, dan tiang penyangga rumah. "Kebanyakan belum ada yang diperbaiki. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan rumah saya," ujarnya kepada wartawan, kemarin.

Yang cukup parah dialami keluarga Rasyid, 45,. Selain kerusakan pada rumah, kandang ternak miliknya juga rusak berat. Dari jarak jauh, kandang ternak milik Rasyid ini sudah bisa terlihat rata dengan tanah. Genteng-gentengnya pecah dan berhamburan. Begitu juga dengan penyangga utama bangunannya.

"Sebenarnya, kami ingin agar ini bisa langsung dibangun. Namun, bagaimanapun juga ini memerlukan biaya yang tidak sedikit," ujar Rasyid kepada wartawan.

Puting beliung di Desa Konang tidak berlangsung menyeluruh. Angin kencang itu hanya merusak rumah warga secara sporadis.

Bagaimana awal mula angin puyuh terjadi? Menurut informasi yang dihimpun koran ini dari warga, angin terjadi sesaat setelah hujan deras. Ketika itu, kebanyakan warga berada di dalam rumah, karena hujan. Namun, setelah hujan berlangsung disertai angin kencang, warga pun memilih keluar rumah.

Mereka khawatir angin puyuh menerjang rumahnya. Dan benar. Tak berapa lama, angin kencang bergerak dari arah barat daya. Puncaknya saat situasi tiba-tiba gelap. Pada saat bersamaan, puting beliung langsung menghajar. Hujan yang disertai angin menderu itu kemudian menghantam rumah-rumah penduduk.

"Saking kerasnya angin, pintu rumah yang terkunci sampai jebol," ujar Havid.
Menurut Havid yang juga dibenarkan oleh Rasyid, angin kencang tersebut hanya berlangsung singkat, sekitar 5 menit. "Setelah gelap, langsung angin. Hanya 5 menit sudah selesai. Baru setelah itu terlihat rumah-rumah rusak," ungkap Rasyid.

Puting beliung di Desa Konang, menjadi perhatian serius Pemkab Pamekasan. Bupati Ach. Syafii langsung mengintruksikan jajarannya untuk turun melihat ke lokasi. "Laporannya sudah kita terima dari camat Galis. Kita upayakan meninjau lokasi langsung," ujarnya usai rapat paripurna di gedung DPRD, kemarin siang.

Banyaknya rumah warga yang mengalami kerusakan tak luput dari perhatian bupati. Dalam waktu dekat, Syafii berjanji akan memberikan bantuan sesuai kemampuan pemkab. "Insya Allah, dalam waktu dekat ini kita akan menyerahkan bantuan," katanya.

Berdasarkan catatan koran ini, puting beliung memang kerap menerjang di Desa Konang. Tahun lalu, tepatnya 18 Februari 2006, puting beliung juga menerjang desa setempat. Saat itu, belasan rumah rusak berat.

"Kondisi cuaca yang demikian ini harus menjadi perhatian warga agar lebih berhati-hati. Sebab, bahaya bencana alam sewaktu-waktu mengancam," imbau Syafii. (zid)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 27 Feb 2007

Potret Sukses Desa Mortajih

Sukses Jalankan Program Polmas, Diusulkan Jadi Desa Unggulan

"POKOKNYA saya minta persoalan air ini segera diselesaikan. Sebab, ini menyangkut hajat hidup orang banyak disini," ujar Suliman, warga Desa Mortajih, Kecamatan Pademawu, Pamekasan. Pernyataan itu disampaikan menanggapi pernyataan tetangganya yang berseberangan dengan dirinya terkait salah paham soal pengairan.

"Tetapi, kalau pemilik lahan masih bertahan tanpa mau kompromi tidak akan selesai-selesai persoalan ini," jelas tokoh setempat yang mencoba menengahi. "Saya mau saja kompromi, asalkan Suliman juga berkompromi. Dengan catatan, airnya diatur dengan baik karena sama-sama membutuhkan di musim tanam tembakau ini," kata Marto, warga yang bersalah paham dengan warga Suliman.

Kemudian, kedua belah pihak mendapat pencerahan dari Forum Kemitraan Perpolisian Masyarakat (FKPM) setempat. Intinya, agar kedua belah pihak sama-sama mengalah terkait pembuatan saluran air untuk menyirami tembakau yang sama-sama melewati saluran drainase kedua pihak.

Lalu, oleh FKPM dibuatkan surat kesepakatan untuk berdamai dan tidak akan memproses hukum. Dengan sepengetahuan polmas (perpolisian masyarakat) dan kepala desa setempat, akhirnya persoalan saluran air yang sempat berbuntut saling ancam itu tuntas.

Cerita tersebut salah satu penggal saja dari dialog penyelesaian konflik air warga Desa Mortajih yang diselesaikan oleh FKPM setempat. Dialog tersebut diperagakan oleh warga setempat di depan Kapolwil Madura, Kombes Pol Badrun Aripin, disela-sela peresmian polmas beberapa waktu lalu.

Penggalan dialog tersebut mengesankan adanya peran penting dari FKPM dalam menangani persoalan ditingkat bawah. FKPM sebagai organisasi kemasyarakatan yang independen ternyata mampu menyelesaikan persoalan. Khususnya, menyangkut persoalan tindak pidana ringan (tipiring).

Kapolres Pamekasan, AKBP R. Adang Ginanjar S., menjelaskan, FKPM dibangun atas dasar kesepakatan bersama masyarakat yang bertujuan membantu persoalan ditingkat bawah (desa). "Setelah membantu dengan musyawarah, FKPM bersama-sama polmas membuat kesepakatan agar suatu persoalan tidak sampai proses hukum. Namun, catatannya menyangkut kasus tipiring," katanya.

"Sedangkan polmas sendiri merupakan anggota polisi dari polsek setempat yang bertugas sebagai babinkamtibmas. Makanya, polmas berperan dalam menyelesaikan secara kekeluargaan, namun tetap prosedural dan mengacu pada ketentuan," imbuh kapolres.

Untuk konteks Pamekasan, sambung perwira kelahiran Tasikmalaya ini, Desa Mortajih merupakan pilot project polmas. Sebab, selain sudah memiliki kelengkapan dari segi fisik dan administrasi, Desa Murtajih termasuk salah satu desa yang diunggulkan dalam lomba desa se Jawa Timur. "Di Murtajih hanya pilot project yang sudah bagus tentunya. Di tempat hanya belum ada tempat saja," tandasnya.

Pemilihan Desa Murtajih sebagai pilot project polmas memang cukup berasalan. Sebab, selain dinilai memiliki kelengkapan sarana dan prasarana, polres juga melihat program polmas dapat berjalan masif di desa setempat lantaran kondisi warganya yang relatif dinamis.

Apalagi, Desa Mortajih memang termasuk salah satu desa yang diusulkan menjadi desa unggulan se Jawa Timur dalam lomba desa tahun 2007. Sebelumnya, Desa Mortajih pernah menjadi juara harapan Jawa Timur dalam lomba desa. "Selain itu, SDM dan sarana prasarananya sudah mendukung. Semua program pemerintah juga berjalan lancar," ujar Sekkab Pamekasan Djamaludin Karim.

Sementara, Kepala Desa Mortajih, M. Rai, kepada wartawan mengatakan, pihaknya siap untuk mengawal program polmas. Menurutnya, program polmas akan menambah semangat bagi warga setempat menjadi desa unggulan tingkat nasional.

"Berbagai sarana dan prasarana sudah tersedia. Polmas menambah kekuatan kami menuju desa unggulan nasional," katanya. "Kami berterima kasih dipercaya kepolisian dan pemkab. Sesuai komitmen, kita akan terus melakukan pengembangan dan menjalankan program yang sudah dicanangkan," pungkasnya. (akhmadi yasid)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 18 Feb 2007

KKM Jangan Sebatas Seremonial

Sumenep, Jawa Pos - Sekkab Sumenep Fen A. Effendi Said memberikan dukungan penuh digelarnya Kongres Kebudayaan Madura (KKM) pada 9-11 Maret mendatang. Namun, poin penting pelaksanaan KKM sebenarnya terletak pada tindak lanjutnya. "Jadikan KKM sebagai starting point menggali dan menghidupkan kembali budaya lokal Madura," ujarnya lugas pada koran ini setelah menerima kedatangan Panpel KKM di ruang kerjanya.

Kemarin pukul 08.00, rombongan kecil Panpel KKM yang dikomandani Januar Herwanto sengaja menemui Fen untuk meminta keterlibatan Pemkab Sumenep di ajang KKM. Nah, dalam pertemuan sekitar satu jam tersebut, Fen juga memberikan pekerjaan rumah (PR). "Jangan sebatas KKM! Sebab, sesuatu yang berat justru setelah KKM selesai. Kalau hanya menggelar acara, ya boleh dibilang gampang," paparnya.

Tindaklanjut setelah KKM, lanjut mantan Kepala Bappeda Sumenep ini, adalah sebuah keharusan dalam rangka kepentingan melestarikan budaya lokal Madura. Dalihnya, tanpa adanya respon positif dan berkesinambungan untuk menerjemahkan hasil-hasil KKM, pelaksanaan KKM akan berakhir sia-sia. "Jangan berhenti pada aktifitas seremonial. KKM tanpa output kan tidak ada apa-apanya dalam upaya melestarikan budaya lokal," tandas Fen.

Untuk kepentingan teknis penyelenggaraan KKM, Fen meminta Panpel KKM melakukan koordinasi dengan Dinas Pariwisata dan Budaya maupun Dinas Pendidikan. "Sumenep sebagai tuan rumah tentunya berusaha menampilkan seni dan budaya kita sendiri. Kita berharap KKM mampu merumuskan langkah konkrit untuk menghidupkan lagi budaya lokal Madura. KKM jangan sampek tidak berbekas," pungkasnya.

Sedang Januar menegaskan, keterlibatan Pemkab Sumenep; Pamekasan; Sampang; dan Bangkalan sebenarnya merupakan keniscayaan dalam penyelenggaraan KKM sebagai konsekuensi antropologis. Dalihnya, KKM memang membedah; membahas; maupun merumuskan Madura secara utuh, mulai dari orangnya sampai budaya lokalnya. "Ini bentuk komitmen kita untuk melibatkan Pemkab se-Madura," tuturnya.

Pekan lalu, lanjut Koordinator Ngadek Sodek Parjuga (NSP) ini, pihaknya telah menemui Bupati Pamekasan A. Syafi’i dan Wabup Kadarisman Sastrodiwirdjo. "Alhamdulillah, Pamekasan memberikan respon positif. Hari ini (kemarin, Red), Sumenep juga memberikan hal serupa. Besok (hari ini, Red), kita akan menemui Bupati Sampang dan Bangkalan untuk kepentingan penyelenggaraan KKM ini," pungkas Januar. (yat)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 21 Feb 2007

Pemberdayaan Industri Batik di Kabupaten Pamekasan

Diberdayakan Seperti Pohon Faktor, Untung Dari Hulu Sampai Hilir

Tak ditemukan data yang jelas, sejak kapan kerajinan membatik mulai muncul di Pamekasan. Tetapi, warisan leluhur ini terus berlanjut dan jumlahnya pun menjamur di setiap kecamatan di kota yang dikenal dengan Gerbang Salam ini. Sampai kemudian Pemerintah Kabupaten Pamekasan tertarik untuk memberdayakan dari segi manajemen dan teknologi produksinya.

INDUSTRI batik di rumah-rumah warga, terus saja berlangsung. Dalam setiap kecamatan ada yang mencapai puluhan titik. Bahkan di kecamatan Proppo, industri batik kelas atas, menengah, dan bawah, mencapai 650 titik. Hasil produksinya, di kecamatan ini mencapai 165.000/lembar pertahun dengan omzet produksi mencapai lebih dari Rp 12 miliar rupiah. Tetapi, ada juga di Kecamatan Pademawu yang hanya teridiri atas 2 titik industri yang menghasilkan 1.150/lembar per tahun.

Kadisperindag Kabupaten Pamekasan H.M. Bahrun mengatakan, turunnya pemkab dalam pembinaan terhadap sentra batik ini, diawali dengan survey. Dari aspek kuantitas dan kualitas batik Pamekasan, dinilai pemkab memiliki prospek. Percepatan prospek ini, dianggap penting disertai pembinaan. Terutama, menyangkut manajemen industri dan teknologi industri. Pada pembinaan manajemen, industri kerajinan batik penting diiklimkan profesional. Yakni, pola pengaturan, sirkulasi, kualifikasi, pantas digarap sebagaimana halnya iklim yang berlangsung di perusahaan dengan mengedepankan pola kemitraan.

Salah satu kemitraan yang mula-mula dibangun, pemkab melirik sentra yang mengacu kepada hasil survey lebih mudah dikembangkan. Khususnya, sentra yang berkembang baik dari sisi kualitas, kuantitas, dan prospek pasar. Bahrun menilai keuntungan prioritas garapan ini karena mengacu kepada pemberdayaan laiknya pohon faktor. Yakni, katanya, industri batik yang lebih dulu berkembang didukung peran pemkab, ngopeni industri yang berada di bawahnya. Begitu industri di kelas berkembang benar-benar mandiri, pemkab akhirnya lepas tangan dan menggarap yang lain. "Saat ini, pemkab terkonsentrasi pada pembedayaan di wilayah akar," katanya.

Dalam pemberdayayan menyangkut teknologi, katanya, pemkab meningkatkan mutu. Diantaranya, bahan sutera dan bahan-bahan lainnya yang dinilai mendapat sambutan pasar. Begitu juga, dalam hal motif dan pewarnaan, dilakukan inovasi dengan tidak menghilangkan aura kemaduraan batik Madura yang khas. Termasuk, katanya, pemberdayaan dalam pemasaran, pemkab mengikutsertakan pembatik Madura sampai ke Jakarta, Jogjakarta, Solo, dan Bali. Ini, urainya, tak hanya memasarkan batik an sich. Tetapi, secara tidak langsung ada proses transformasi pembelajaran dari pembatik dan inovasi yang dilakukan pembatik luar Madura. "Sehingga, pemberdayaan ini semakin sempurna," katanya.

Data di diseprindah menunjukkan, ada perkembangan sentra dan produksi batik Pamekasan. Misalnya, mantan Kepala KUKP ini menjelaskan, pada tahun 2001, jumlah sentra batik masih sebanyak 1.095 unit. Kemudian, katanya, pada tahun 2006, jumlah sentra batik telah mencapai 1.160 unit. Eskalasi perkembangan ini, berimplikasi positif bagi perkembangan lainnya. Baik menyangkut tenaga kerja yang berhasil diserap, maupun nilai investasi yang berhasil diraih. Itulah sebabnya, kata dia, dari berbagai aspek inovasi, pelatihan, remodifikasi manajemen dan teknologi industri, terus diupayakan untuk akselerasi kemajuan batik. "Ke depan, dunia perbatikan di Pamekasan kian bergairah," pungkasnya. (ABRARI)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 19 Feb 2007

Buah Naga Tanaman Alternatif

Harus Telaten, Panen setelah Tujuh Bulan

Setelah tembakau terancam tak lagi menggapai puncak keemasan, terbersit ide petani untuk memunculkan tanaman alternatif. Termasuk petani di Desa Rombesen, Sumenep, yang melirik tanaman alternatif yang menghasilkan buah naga.

Memasuki Desa Rombesen, seperti memasuki kawasan kaktus. Tetapi, kaktus ini bukan pelengkap asesoris taman, tapi telah melalui proses kawin silang dengan kaktus lain yang menghasilkan buah naga.

Semula, buah naga ini dikenal di luar negeri sebagai hou lung kuo, khususnya di Vietnam. Tetapi kini, warga Desa Rombesen sejak tahun lalu telah memulai tanaman batang kaktus yang menghasilkan buah naga tersebut. Ini setelah tanah Rombesen dinilai cocok untuk ditanami kaktus untuk menghasilkan buah naga yang berkualitas.

Di lahan seluas kurang lebih 1,5 hektare, para petani di Rombesen rela berjemur di tengah ratusan pohon buah naga. Mereka mengontrol tanaman agar tidak bercabang di bagian bawah. Sebab, jika kaktus itu bercabang di bawah, perkembangannya kurang baik.

Karena itu, petani memotong salah satu cabang kaktus agar batang tubuhnya semakin merambat ke atas. Begitu sampai di atas melampaui batas sandaran yang dibuat dari beton setinggi 1,5 meter sampai 2 meter, batang itu dibiarkan bercabang. Sebab, semakin banyak cabang di atas, akan memperbanyak bunga yang pada akhirnya menjadi buah naga.

Seorang petani, Mukhlish, 38, yang dijumpai di tengah-tengah pohon buah naganya mengatanan, menanam pohon tersebut butuh ketelatenan. Misalnya, 2 hari sekali disiram. Siraman ini pun tidak boleh lebih dari kadar yang diperlukan. Sebab, kelebihan air akan menghasilkan buah yang kurang bertahan lama.

Selain itu, diperlukan pupuk kandang yang dinilai cukup baik bagi pertumbuhan pohon. Pada usia tanam mencapai 6 bulan, pohon mulai berbunga. 40 hari kemudian, kaktus itu telah menghasilkan buah naga yang siap petik. Konon, buah naga membantu menyembuhkan diabetes hippertensi, dan kanker usus.

Menurut pria yang tak lain Kades Rombesen ini, awal mula ide menanam buah naga ini bermula konsultasi dengan seorang warga Taiwan. Lelaki asing yang dipanggilnya Mister itu, mengaku tertarik dengan tanah Rombesen yang sedikit berpasir. Kemudian, tanah Rombesen diambil sampelnya, lalu ditindaklanjuti dengan datang ke lokasi.

Hingga kemudian, penanaman dimulai dengan membenamkan batang kaktus di atas lahan yang telah dipotong antara 60 cm-70 cm. Dia bilang, pertumbuhan berikutnya, kaktus yang ditanam membuahkan hasil dan diburu konsumen. Baik dibeli satuan seharga Rp 14 ribu- Rp 15 ribu, atau per kg dengan harga jual di kisaran Rp 30 ribu-Rp 32 ribu. "Buah naga ini pantas dilestarikan untuk pemberdayaan petani, selain menanam tembakau dan lainnya," paparnya sambil memperlihatkan buah naga yang siap dipetik.

Berkait dengan buah naga ini, Direktur Eksekutif The Society Development Centre Mohamad Badrul meminta pihak terkait agar mendukung inovasi petani. Alasan dia, petani telah membuktikan usahanya untuk menanam tumbuhan alternatif selain tembakau, jagung, dan kedelai sesuai anjuran pemkab menyusul terpuruknya tembakau beberapa tahun lalu.

Selain itu, dia meminta petani lokal Madura agar mendukung potensi ini. Salah satu caranya, tidak mendatangkan buah naga dari luar yang kualitasnya di bawah buah naga lokal. Sebab, jika buah naga nonlokal marak di sekitar buah naga lokal, hukum pasar berbicara. Yakni, barang banyak dan harga turun. "Apalagi, buah yang didatangkan dari luar Madura kadar airnya banyak dan cepat membusuk," ujarnya. (ABRARI)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 14 Feb 2007

Adiluhungnya Karya Empu Madura

Ratusan Benda Pusaka Kerajaan Dipamerkan

Bangkalan, Jawa Pos - Sedikitnya 200 buah benda pusaka peninggalan kerajaan dipamerkan kepada masyarakat umum. Benda bernilai sejarah yang dipamerkan terdiri dari keris, tombak, dan benda antik lainnya, seperti batu meteor, tasbih kaukah, hingga mangkuk peninggalan dinasti di Tiongkok.

Pameran pusaka nusantara tersebut digelar Paguyuban Pagar Madu Oro Bangkalan selama 3 hari di Pendapa Pratanu Jl Soekarno-Hatta Bangkalan. Ratusan keris dan tombak yang dipamerkan merupakan karya empu ternama pada zaman kerajaan. Seperti keris karya Empu Supo Anom, Empu Braja Guna, dan empu lain dari Madura.

Menurut Sekretaris Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) Drs Agustinus Santoso, karya adiluhung nenek moyang telah mendapat penghargaan dari Unesco (badan di PBB). Itu artinya, dunia telah mengakui kepiawaian para leluhur untuk menciptakan karya yang sangat bernilai.

"Dunia sudah mengakui karya adiluhung nenek moyang kita. Betapa leluhur kita mampu membuat pusaka dari bahan metal berkualitas. Dan, itu dilakukan pada zaman dahulu sebelum kita mengenal ilmu metalogi," kata Agus kepada wartawan di sela-sela pameran benda pusaka.

Sementara itu, Bupati Bangkalan Fuad Amin meminta paguyuban Pagar Madu Oro mampu melestarikan benda-benda pusaka peninggalan leluhur. Sebab, kini banyak pusaka yang tidak asli. "Saya sangat prihatin. Banyak benda pusaka bersejarah dipalsu. Tapi benda pusaka yang asli malah dilebur menjadi clurit," kata Fuad. Karena itu, sambungnya, pemkab akan membangun museum untuk menyimpan benda pusaka. "Kalau ada kolektor yang mau menitipkan benda pusaka, silakan. Saya jamin tidak akan hilang," tandasnya.

Sementara itu, Ketua Paguyuban Pagar Madu Oro R Abd Hamid Mustari mengatakan, 200 pusaka yang dipamerkan terdiri dari 2 jenis. Yakni, kalawija yang merupakan pusakan peninggalan kerajaan Sultan A. Kadirun dan peninggalan empu pada zaman setelah kerajaan. "Pusaka merupakan salah satu peninggalan budaya bangsa yang sangat langka. Dan, itu sudah selayaknya dilestarikan. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kami merasa ikut berkewajiban untuk melestarikan pusaka," tegas Hamid yang merupakan keturunan kelima Sultan A. Kadirun. (tra)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 15 Feb 2007

Lima Puluh Unggas Dimusnahkan

Bangkalan, Surabaya Post - Pemerintah Kabupaten Bangkalan melalui Dinas Peternakan (Diperta) bergerak cepat begitu mengetahui 23 ekor ayam milik warga Desa Kompol, Kec Geger, mati mendadak yang bisa dipastikan terkena flu burung. Gerakan cepat diwujudkan dengan memusnakan sebanyak 50 ekor unggas milik 21 KK pada radius 100 meter dari titik kejadian, berlangsung Rabu (15/2) sore, di Desa Kompol. Pemusnahan disaksikan pejabat terkait di lingkuang Pemkab Bangkalan itu, dilakukan dengan cara dibakar dan dikubur guna mencegah penyebaran kasus flu burung di Madura, khususnya di Kab Bangkalan.

Unggas setelah dikumpulkan dimasukkan dalam lubang sedalam 1,5 meter, yang diisi kayu. Sebelum dibakar, petugas dari Diperta dengan berpakaian pengaman lengkap, menyembelih unggas yang tertular virus AI (Avian Influenza). Kemudian disiram minyak tanah, oleh Ass. II Hasanuddin Bukhori mewakili Bupati Bangkalan RKH Fuad Amin, dan Kadinas Diperta Bangkalan, menyulut api ke dalam lubang.

Dalam waktu cepat ayam hangus terbakar. “Pemusnahan unggas milik warga, karena kita khawatir akan terjadi penyebaran virus flu burung ke tempat lain. Unggas milik warga pada radius 100 meter dari titik ditemukannya unggas terkena flu burung, sesuai ketentuan FAO (food agriculture organization) harus dimusnahkan,’’ kata Kepala Diperta, Drs H Setijabudi MM.

Dijelaskan, unggas yang dinyatakan tekena virus flu burung dari hasil tes cepat (rapid test) dari laboratorium kesehatan (Labkes) hewan tipe B di Tuban. Untuk memastikan lagi, perlu dilakukan tes lanjutan di Labkes Jogjakarta. ”Tes di labkes Tuban dilakukan melalui tes cepat. Untuk kepastiannya kami melakukan tes lagi unggas itu di Labkes Jogjakarta. Hasilnya bisa diketahui dalam waktu 15 – 20 hari lagi," ujarnya.

Ass. II Hasanuddin Bukhori, mengatakan, dengan ditemukan unggas terkena flu burung, warga harus lebih hati-hati. Bila ditemukan kejadian serupa, ayam mati mendadak segera lapor ke petugas terdekat. ”Meski di sini unggas terkena flu burung, warga diminta jangan panik. Bapak Bupati sudah membentuk tim pembina dan tim teknis antar instansi, dalam menangani flu burung ini,” ujarnya.

Yang menarik saat dilakukan pemusnahan unggas, warga sekitarnya menyaksikan dari dekat. Mereka tidak menggunakan masker sebagai pelindung kemungkinan virus AI menular. Begitu juga sebagian pejabat dan wartawan. “Dua tahun lalu ada ayam mati mendadak seperti ini. Namun warga tidak tahu kalau itu terkena flu burung. Waktu itu ayam yang sudah sakit segera dipotong, dimasak dan dimakan. Tetapi warga tetap sehat,’’ ujar seorang warga. (kas)

Sumber: Surabaya Post, Kamis 15/02/2007

Ketika Singkong Jadi Menu Utama

Melangitnya harga beras membuat wong cilik kelimpungan. Padahal mereka sudah akrab dengan rasa lapar.

Jangan bicara soal “puasa” pada Niwah dan Mistiyah. Pasangan suami–istri yang pernah dikarunia 11 anak—lima anaknya kemudian meninggal dunia karena sakit—ini sudah biasa menahan lapar dan dahaga. Meski demikian, warga Desa Gunung Maddah, Kec. Sampang Kota, Madura, ini setiap harinya masih bisa “berbuka” dengan “nasi putih”. Warga desa biasanya menyebut nasi putih sebab mereka biasa makan nasi jagung. Namun itu beberapa pekan lalu. Hari ini “nasi putih” tak ada lagi. Beras kosong sebab tak ada cukup uang untuk membeli. Bukan hanya itu, “nasi merah” dari jagung pun habis. Maka, keluarga ini pun harus mengolah singkong sebagai makanan pengganti nasi. Pasutri yang bekerja sebagai kuli batu dengan penghasilan tak menentu ini cukup merasakan dampak kenaikan harga beras. Sebab, untuk mencukupi kebutuhan hidup, mereka hanya mengandalkan upah yang sangat minim sehingga tidak mampu membeli beras untuk memberi makan enam anaknya.

“Ketimbang mati kelaparan, ya terpaksa kami makan singkong sebagai pengganjal perut. Kami tak ada uang untuk beli beras, “ kata Mistiyah, pagi tadi. Dia mengakui, memang tak setiap hari makan singkong. Kemarin ada uang sehingga bisa beli beras. Tapi hari ini hidangan hanya singkong dan singkong. Menu alternatif ini juga untuk mengurangi pengeluaran sebab dia harus pula membiayai kedua anaknya yang masih duduk di bangku SD. Mereka terpaksa harus pontang-panting bekerja sebagai kuli batu dibantu beberapa anaknya yang telah dewasa. Tapi kerja seharian itu ya cukup untuk makan hari itu juga.

“Gimana mau cukup, gajinya saja sehari hanya Rp 5 ribu. Kadang kalau lagi sepi tidak ada pesanan batu, paling-paling cuma dapat Rp 2 ribu. Sedang kebutuhan keluarga melebihi upah yang kami dapat. Jadi saya minta tolong sampaikan pada bapak-bapak di atas agar memperhatikan nasib kami, supaya harga beras jangan naik terus, “ kata Niwah yang sudah mempunyai satu cucu ini.

Mistiyah menambahkan, hanya dengan uang Rp 2 ribu dia sudah dapat membeli singkong untuk dimakan sekeluarga dalam sehari. Namun sebelum disantap, dia harus mengolahnya terlebih dulu agar terasa nikmat seperti nasi. Setelah kulit singkong dikupas dan dibersihkan, singkong tersebut diparut. Kemudian parutan singkong dikukus di atas tungku sampai matang.

“Biasanya saya menambahkan sedikit garam dan parutan kelapa, supaya rasanya gurih dan nikmat dimakan. Kalau ada uang lebih, kadang saya membeli ikan asin dan kerupuk, dimakan bersama nasi singkong tersebut. Ya nikmat juga, “ tuturnya sambil tersenyum.(Achmad Hairuddin)

Sumber: Surabaya Post, Kamis 15/02/2007

Tradisi Ngonjur

Warga di Desa Tanjung masih melestarikan tradisi ngonjur. Tradisi meminta ikan pada nelayan yang baru melaut ini dianggap hal wajar dan biasa, khususnya pada musim ikan.

Jika di Kecamatan Pragaan ada desa yang warganya memiliki tradisi mengemis, di kampung nelayan Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi, punya tradisi lain, tradisi ngonjur (berselonjor). Bedanya, jika tradisi mengemis dilakukan warga Kecamatan Pragaan di luar daerah, tradisi ngonjur justru dilakukan di desa setempat.

Tradisi ngonjur yang telah telah berlangsung lama di pesisir Desa Tanjung ini, dianggap hal biasa. Sebab, tradisi ini dianggap sebagai bentuk solidaritas sosial dan kebersamaan.

Dari penuturan warga setempat, tradisi ngonjur merujuk pada arti bahasanya. Yakni, tindakan berselonjor yang merujuk pada sikap ketidakberdayaan. Biasanya, sikap berselonjor ini dilakukan oleh pengemis di pinggir jalan.

"Tidak ada yang tahu persis mengapa disebut ngonjur. Namun, katanya, karena dulu pelaku ngonjur kerap berselonjor kaki di pinggir jalan," ujar Sitram, warga Desa Tanjung, kepada koran ini, kemarin.

Kini, jelas dia, tradisi ngonjur tidak lagi bisa disebut merujuk pada arti bahasanya. Sebab, tradisi ini tidak lagi dilakukan di pinggir jalan, melainkan dengan cara mendekati nelayan yang baru bersandar. "Di sini, ngonjur ini sudah dianggap biasa. Namun, pada musim ikan saja. Dan, nelayan biasa memberikan seikhlasnya. Kalau tidak ada ikan, ya tidak diberi," jelas Sitram.

Pelaku tradisi ngonjur bisa dari berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orangtua. "Karena dianggap biasa, jadi tidak ada masalah. Dan, warga tidak risih. Tapi, kebanyakan memang anak-anak yang melakukannya," ujar Sarati, warga Desa Tanjung lainnya ditemui saat-saat menimbang ikan, kemarin.

Karena didasari sikap ikhlas dari pemberinya, pelaku ngonjur ada yang beruntung dan ada juga yang "buntung". Khususnya, terkait dengan perolehan ikan hasil ngonjur. "Kalau mujur, anak-anak sekolah itu bisa dapat ikan 7 sampai 10 kg. Juga tergantung ikannya, kalau ikan jagur harganya kan Rp 2.000 per kg. Jadi, dalam waktu kurang lebih 20 menit bisa dapat Rp 20 ribu," jelas Sarati.

Biasanya, bagi anak-anak seumuran kelas 4 sampai kelas 6 SD, melakukan tradisi ngonjur saat mentari baru bersinar. Saat itu, nelayan baru saja bersandar dari melaut. "Anak-anak biasanya dapat banyak. Sebab, kebanyakan langsung mendekat ke nelayan di dekat perahu."

"Setelah mendapat banyak ikan, biasanya dijual kepada pengepul. Atau bisa juga dititipkan kepada keluarganya yang pedagang ikan di pasar," imbuh Sarati.

Kemarin, sekitar pukul 07.00, koran ini melihat sendiri beberapa anak-anak di kampung nelayan Desa Tanjung yang melakukan tradisi ngonjur. Mereka terlihat sudah biasa. Tanpa rasa canggung, mereka mendekati nelayan yang baru datang. Sang nelayan pun terlihat sudah paham. Ketika melihat anak-anak membawa wadah ikan, langsung direspons nelayan dengan mengambil ikan dan memberikannya kepada anak-anak itu.

Lalu, anak-anak nelayan itu mengumpulkan hasil "tangkapannya". Setelah ikannya banyak, lalu dijual kepada pengepul. Kemudian, dengan riangnya anak-anak tadi membeli aneka makanan dari hasil penjualan ikannya. Sementara para nelayan terlihat seperti tak perduli. Mereka asyik dengan aktivitasnya masing-masing, menurunkan ikan ke daratan.

"Baru 2 hari ini ada ikan lagi. Biasanya, tidak ada ikan. Makanya, banyak nelayan tidak melaut lantaran tidak cukup biaya operasional. Mungkin, ini cobaan bagi nelayan di sini," kata seorang pengepul ikan. Beberapa ikan hasil tangkapan nelayan Desa Tanjung seperti ikan teri, jagur, layur, udang, dan sebagainya. (AKHMADI YASID)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 12 Feb 2007

Pemilihan Sekolah ’Adiwiyata'

Pamekasan, Surabaya Post - Guna meningkatkan kepedulian pada budaya dan cinta lingkungan, pemerintah kini melakukan seleksi ”Sekolah Adiwiyata” yaitu sekolah yang memiliki kepedulian dan berbudaya lingkugan yang baik.

Di Pamekasan program itu disosialisasikan Minggu (11/2), di ruang pertemuan SMAN 3. Dihadiri pejabat terkait dari Dinas P dan K, Dinas KLH, dan Dinas Kesehatan.

Kasi Kebudayaan Dinas P dan K yang juga pimpinan kegiatan seleksi ”Sekolah Adiwiyata”, Drs Khalifaturrahman MPd mengatakan, program itu tahun ini merupakan tahun kedua, karena sudah dilakukan sejak 2006 dan diikuti sekolah mulai tingkat SD sampai SMA/SMK.

”Program itu sebagai upaya melengkapi penghargaan pada pihak yang peduli lingkungan. Sebelumnya ada Adipura, ada Kalpataru, sekarang untuk kalangan sekolah ada penghargaan dengan nama Sekolah Adiwiyata. Penghargaan itu berasal dan diberikan langsung oleh Presiden,” jelasnya, Senin (12/2).

Pejabat yang akrab dipanggil Mamang ini mengatakan, pada tahun 2007 Pamekasan mendapat jatah yang akan diikutkan pada lomba tingkat propinsi untuk SD satu sekoah, SMP tiga sekolah, dan SMA serta SMK masing- masing satu sekolah.

Sementara seleksi tingkat kabupaten, untuk SD tim akan memilih tiga sekolah, SMP tiga sekolah, SMA dan SMK juga satu sekolah. ”Semua nanti diseleksi di tingkat Jatim oleh tim penilai khusus, meliputi petugas dari Dinas P dan K, Dinas KLH, dan Dinas Kesehatan,” terangnya.

Mereka telah turun ke Cabang Dinas untuk pemilihan tingkat SD. Kemudian tingkat SMP, SMA dan SMK. Selanjutnya pihak terkait akan merumuskan bersama MKKS menentukan sekolah yang memenuhi kriteria untuk itu. (mas)

Sumber: Surabaya Post, Senin 12/02/2007

Nelayan Tuntut Santos Ganti Rumpon

Sampang, Surabaya Post - Sebanyak 22 nelayan asal pulau Mandangin, mengadukan nasibnya ke Komisi B DPRD Sampang. Pasalnya, sekitar 265 rumpon serta 360 bubuh perangkap kepiting milik nelayan setempat rusak berat. Akibat tergilas kapal tanker Santos, pada waktu dipindah ke sebelah timur, sekitar perairan pulau tersebut. Namun pihak Santos belum bertanggung jawab untuk menyelesaikan ganti rugi rumpon yang rusak itu.

”Waktu memindahkan kapalnya, Santos tidak memberitahukan lebih dulu kepada para nelayan. Selain itu terkesan tidak transparan, karena dilaksanakan malam hari, sehingga merugikan nelayan akibat rumpon dan bubuhnya rusak tergilas kapal tanker,” kata Kusairi, Ketua paguyupan nelayan Pulau Mandangin, ditemui Minggu (11/2).

Menurut dia, pihaknya sudah melaporkan kerusakan rumpon itu ke Kamla TNI AL, yang menjaga keamanan disekitar perairan itu, juga kepada Kapolsek Camplong. Tetapi, lanjutnya, para nelayan merasa kecewa, karena belum menerima jawaban pasti, soal penyelesaian ganti rugi rumpon.

”Jika Santos tidak punya niat baik memberikan ganti rugi, maka para nelayan sangat dirugikan, karena harga pembuatan satu rumpon itu dapat menghabiskan biaya Rp 250 ribu. Belum termasuk kerugian hasil tangkapan ikan makin berkurang, akibat rumpon tempat ikan tinggal rusak berat,” keluhnya.

Ketua Komisi B, Drs Solahur Rabbani, ketika dikonfirmasi, menyatakan, ia berupaya mempertemukan para nelayan dengan Santos dan instansi terkait untuk mencari solusi secara obyektif, agar semua pihak merasa puas. Serta kegiatan eksploitasi migas tidak terhambat dan tetap berjalan normal. Sehingga proses produksi dapat dilaksanakan sesuai jadwal yang sudah ditentukan.

”Beberapa pihak menuding, ada indikasi pengaduan paguyupan nelayan Pulau Mandangin itu tanpa dasar, karena diduga datanya fiktif. Mereka hanya sekadar berdalih untuk mendapatkan bantuan dari Santos. Menyikapi hal itu, tentu kami tetap akan bersikap obyektif dan tidak berpihak pada siapa pun, supaya semua puas dan tidak dirugikan,” katanya. (rud)

Sumber: Surabaya Post, Senin 12/02/2007

Pembentukan BP3WS Tunggu Keppres

Bangkalan, Surabaya Post - Untuk mempercepat pembangunan di sekitar Suramadu pemerintah akan membentuk Badan Percepatan Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Suramadu (BP3WS). Mekanisme badan ini sampai kini masih digodok oleh pemerintah pusat.

”Realisasi pembentukan BP3WS masih menunggu Keputusan Presiden (Keppres). Sebab dalam kosep badan itu akan dipimpin oleh pejabat setingkat menteri. Jika Keppres-nya turun saya kira, BP3WS langsung bekerja,” kata Bupati Bangkalan, RKH Fuad Amin, Jumat (9/2).

Dikatakan BP3WS akan melaksanakan percepatan pembangunan di kawasan Suramadu pada lahan seluas 600 ha, rinciannya 300 ha di sisi Surabaya dan 300 ha di sisi Madura. Untuk sisi Madura, lokasi pengembangan meliputi kawasan tertentu (fair ground) seluas 200 ha, lokasinya di Desa Sendang Laok, Morkepek, Labang, Baengas, Pangpong, Sukolilo Barat, Kec Labang.

Untuk kawasan interchange jalan akses sekitar 25 ha terletak di Desa Morkepek dan Sendang Laok Kec Labang. Dan lahan seluas 50 ha terletak di desa Burneh, Banangkah, Kec Burneh, dan Desa Pamorah, Kec Tragah. "Jalan akses Suramadu seluas 66,7 ha juga termasuk dalam areal 300 ha yang akan dikelola BP3WS," terangnya.

Kawasan khusus yang akan dikelola BP3WS untuk sisi Madura, yang telah dibebaskan seluas 66 ha. Berupa jalan akses Suramadu dengan panjang 11,5 km x 42 m, antara Kec Labang – Tragah - Burneh. Sedangkan 240 ha belum dibebaskan.

Pemkab Bangkalan juga menyiapkan kawasan lain untuk penunjang. Dalam pemetaan kawasan Selatan akan difokuskan untuk industri kecil, menengah, pariwisata, meliputi wilayah Labang dan Kwanyar. Sedang kawasan tengah disiapkan sebagai area konservasi, bertujuan mempertahankan kelestarian lingkungan. Untuk kawasan Utara direncanakan area industri berat.

Tiga kawasan itu telah ditetapkan dalam Perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kab Bangkalan yang sejalan dengan RTRW Propinsi Jatim. (kas)

Sumber: Surabaya Post, 10/02/2007

Diterjang Puting Beliung Lagi

Sumenep, Surya - Angin puting beliung kembali menerjang Desa Karang Anyar, Kecamatan Kalianget, Sumenep, Jumat (9/2). Kalau tahun lalu (13 Januari 2005) merusak 107 rumah, saat ini hanya 35 bangunan.

Tak ada korban tewas. Angin kencang yang melanda Dusun Dung Mundung dan Palebunan ini hanya melukai Hamsini, 55, warga Dusun Dung-Mundung. Korban dirawat di Puskesmas Kalianget.

Kerusakan terparah terjadi di permukiman warga Dusun Dung-Mundung, Desa Karang Anyar. Hampir semua atap rumah hancur. Sedangkan gudang garam roboh dan atapnya terbang ke tengah lahan pegaraman.

H Mustawi, 48, warga Desa Karang Anyar, menuturkan angin kencang datang sekitar pukul 12.00 WIB, bersamaan hujan lebat. Tiba-tiba ada awan hitam dibarengi angin bergulung-gulung. "Warga lari berhamburan ke luar rumah," katanya. Warga baru berani masuk rumah setelah angin lenyap dan hujan mulai mereda.

"Angin juga memorak-porandakan atap genteng masjid, usai warga shalat Jumat. Coba bayangkan, kalau angin datang pas jemaah sedang beribadah, pasti banyak korban," ungkap Zahir yang mengaku sangat bersyukur atas kebaikan Allah.

Pemkab Sumenep diwakili Camat Kalianget, Drs Nursalam MM, terjun ke lokasi bencana. Bersama Kapolsek, AKP Arifaini, S.Ag., S.H., ia mendata kerusakan dan kerugian. "Untuk korban luka, kami upayakan pengobatan cuma-cuma. Sedangkan untuk bantuan rumah-rumah yang rusak, masih akan didata sesuai besaran kerusakannya," ujar Nursalam.

Selain 19 unit rumah rusak, puting beliung kali ini juga memorak-porandakan 13 unit gudang garam, termasuk gudang bengkel peralatan angkut garam milik PT Garam (Persero), dua toko dan 1 mesjid di Dusun Palebunan. (st2)

Sumber: Surya, 09 February 2007

Suramadu Memperkecil Kesenjangan

Bangkalan, Jawa Pos - Konsep pembangunan jembatan Suramadu merupakan upaya memperkecil kesenjangan antara masyarakat di pulau Madura dan wilayah lain di Jatim. Selain itu, Suramadu merupakan bagian terintegrasi dengan pengembangan Gerbangkertasusila yang menjadi faktor penunjang dan katalisator industrialisasi.

Sehingga, dengan pembangunan jembatan Suramadu bisa menjadikan Madura lebih terbuka serta mampu mengejar ketertinggalan dengan daerah lain. Sebab, proses menuju industrialisasi Madura, tidak bisa dipisahkan dari pembangunan jembatan Suramadu.

Pernyataan tersebut disampaikan Sekdaprov Jatim Dr H Sukarwo SH M.Hum pada lokakarya bertema "Mencari Format Ideal Tentang Percepatan Pembangunan Madura" yang digelar auditorium Unijoyo, kemarin.

Pada lokakarya tersebut hadir sejumlah pembicara. Diantaranya, Ir Moch Priyanto, Deputi Ketua Otorita Batam Bidang Administrasi Dan Perencanaan, Rektor Unijoyo Prof Dr Ir Arifin M Sc, Kepala Bakorwil V Makmun Dasuki, serta perwakilan dari 4 Pemkab di Madura.

Lebih lanjut, Sukarwo menyarankan pentingnya keterlibatan seluruh komponen masyarakat di Madura. Termasuk, kalangan ulama dan tokoh masyarakat. Sehingga, pembangunan Suramadu dapat meningkatkan kesejahteraan yang optimal bagi masyarakat.

Sukarwo berharap, pandangan terhadap pembangunan jembatan Suramadu dirubah. Dari jembatan politis menjadi jembatan kesejahteraan. Sebab, Suramadu selalu dikaitkan dengan isu politis.

Mengenai pembentukan Badan Percepatan pembangunan dan pengembangan Kawasan Suramadu (BP3WS), Sekdaprov ini mengingatkan perlunya pihak ketiga yang netral untuk mengembangkan wilayah Suramadu. "Sehingga keberadaan badan yang direncanakan dipimpin pejabat setingkat menteri ini tidak mengurangi otoritas kota dan kabupaten," katanya.

Yang tidak kalah pentingnya, pemkab diharapkan bisa menjadi bank tanah. Fungsinya, untuk menyiapkan lahan untuk berbagai sektor, agar rakyat bisa ikut menikmati hikmah pembangunan (industrialisasi) di Madura.

Sementara itu, Ir Moch Priyanto mengatakan, sebelum jembatan Suramadu selesai dibangun, status hukumnya agar diperjelas. Disamping itu, perlu peningkatan kwalitas kerja dengan cara penguatan Iptek. Termasuk, perencanaan infrastruktur bertaraf Internasional. Sehingga, investor menaruh kepercayaan besar untuk menanamkan investasinya di Madura.

Sedangkan Anggota DPRD Jatim, Achmad Rubaie, menjelaskan jembatan Suramadu merupakan harapan besar bagi masyarakat di Madura dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pada kesempatan tersebut, Rubai mengharapkan dunia kampus (Unijoyo) bisa menjadi ujung tombak perubahan masyarakat di pulau madura agar menjadi lebih baik.
Di sela-sela lokakarya, Rubai menyempatkan memberi bantuan buku hasil karyanya kepada Unijoyo. Buku tersebut diharapkan menjadi salahsatu sumbang pemikiran dan menjadi tambahan koleksi perpustakaan Unijoyo. (tra)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 11 Feb 2007

Penyu Raksasa Tersangkut Jaring

Sampang, Jawa Pos - Seekor penyu raksasa tersangkut jaring milik nelayan Pulang Mandangin, kemarin pagi. Lalu, penyu itu dijual ke Kota Sampang.

Saat ini, penyu dengan panjang 120 cm dan lebar 80 cm, serta berat 150 kilogram tersebut, menjadi tontonan gratis warga Kota Sampang. "Saking beratnya, penyu tersebut harus diangkat oleh 3 orang dengan menumpang becak," ujar Nur Hayati, warga jalan Pajudan Kota Sampang.

Menurut penuturan ibu 3 anak ini, dia membeli penyu tersebut dari salah seorang nelayan Pulau Mandangin di dermaga Tanglog seharga Rp 100 ribu. Rencananya, penyu berjenis kelamin jantan tersebut akan disembelih untuk diambil dagingnya.

"Sebab, daging penyu air ini dipercaya sangat berkhasiat menyembuhkan penyakit gatal-gatal, kulit, dan asma," terang Nur Hayati yang sehari-harinya berjualan nasi bungkus di utara Mapolsekta Sampang ini.

Karena banyak dicari orang, harga daging penyu lumayan mahal. Harga per kilogramnya bisa mencapai Rp 15 ribu sampai Rp 25 ribu. "Karena berkhasiat bisa menyembuhkan penyakit kulit, gatal-gatal, dan asma, daging penyu banyak dicari orang," katanya.

Saat ini, oleh Nur Hayati penyu raksasa tersebut disimpan dan digeletakkan begitu saja di halaman eks rumah dinas dokter Jalan Trunojoyo Sampang. Sehingga, binatang langka tersebut menarik perhatian dan menjadi tontonan gratis warga Kota Sampang. (fiq)

Sumber: Jawa Pos, Jumat, 09 Feb 2007

240 Ribu Buta Bahasa Indonesia

Mayoritas di Madura dan Tapal Kuda

Surabaya, Surabaya Post - Ternyata, masih banyak warga Jatim yang buta Bahasa Indonesia (BI). Diperkirakan, warga Jatim yang buta Bahasa Indonesia lebih dari 240.000 orang.

"Jumlah buta aksara di Jatim sekitar 240.000 orang, tapi yang buta BI kemungkinan lebih besar. Rata-rata setiap kabupaten/kota di Jatim ada lima hingga 10 persen yang masih buta BI," kata Kepala Balai Bahasa Surabaya, Drs Amir Mahmud MPd, Selasa (6/2).

Menurut dia, buta BI sangat berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat yang cenderung rendah karena tidak bisa bergaul dengan masyarakat luas dan lebih mudah dibodohi masyarakat lainnya. "Jumlah terbanyak masyarakat buta BI itu berada di Madura dan daerah tapal kuda, yakni Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Pasuruan, dan Probolinggo," katanya.

Menurut Amir, Balai Bahasa Surabaya yang wilayah binaannya meliputi seluruh Jatim akan berupaya memberantas buta BI dengan memberi pembinaan. Pihaknya akan berkerjasama dengan Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI), lurah dan camat yang masyarakatnya masih banyak buta BI.

"Buta BI itu menjadi sulit diatasi, karena mayoritas masyarakat buta BI dialami kaum lanjut usia. Karena itu pemberantasannya tidak semudah seperti pemberantasan buta aksara. Bahkan tampaknya sangat kecil kemungkinan buta BI bisa dituntaskan," katanya.

Ketua I HPBI Jatim, Yani Paryono mengutarakan hal sama. Buta BI itu banyak dialami masyarakat di Pulau Madura. Namun demikian, masyarakat di Pulau Garam itu justru banyak yang pandai berbahasa Arab karena mereka mengenyam pendidikan pesantren. Untuk itu, HPBI dalam menanggulangi masalah buta BI itu akan menggandeng Pemprop bersama-sama membina masyarakat, karena BI merupakan bahasa nasional. "Sangat mengherankan di Indonesia sendiri, masih ada orang yang buta Bahasa Indonesia," katanya.

Dia menambahkan, HPBI juga akan membantu program Pemprov Jatim yang berkaitan dengan dengan masalah itu, dengan membuat semacam kejar paket yang memprioritaskan pada pembelajaran pengaksaraan BI. Selain itu, untuk mempercepat pemberantasan buta BI, maka HPBI Jatim akan membentuk HPBI di tiap kabupaten/kota. Hal itu dimaksudkan agar pembinaan pada masyarakat akan lebih efektif.

"Sekarang HPBI baru terbentuk di lima kabupaten/kota, yakni Jember, Madiun, Malang, Surabaya, dan Sidoarjo. Data HPBI Jatim menyebutkan, di perkotaan seperti Surabaya dan Sidoarjo, di setiap kelurahan/desa terdapat 20-25 orang yang buta BI, sementara di pedesaan, jumlahnya jauh lebih banyak," katanya. (ary)

Sumber: Surabaya Post, Selasa 06/02/2007

APBD Sumenep Bocor Rp 36 M

Sumenep, Surya - Temuan BPK yang beredar di kalangan LSM cukup menggemparkan warga Sumenep. Betapa tidak. Dalam laporan BPK disebutkan ada kebocoran dana sekitar Rp 36,9 miliar dalam pembelanjaan APBD 2005. Bagaimana tanggapan Pemkab Sumenep? Berikut laporannya.

Predikat Sumenep sebagai kabupaten terkorup di Jatim sebagaimana disebutkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pusat tahun 2004 barangkali ada benarnya. Dalam laporan BPK tahun 2006, sebagaimana dibeberkan Sekretaris Kelompok Peduli Sumenep (KPS) M Noerul Fajar SE MM, dana APBD 2005 di kabupaten ini bocor sebesar sekitar Rp 36.9 miliar.

Kebocoran terjadi karena pembelanjaan dana tidak sesuai ketentuan, tidak didukung bukti-bukti valid, dan apa yang dibeli tidak sesuai peruntukan. Total kebocoran Rp 9,6 miliar atau 26 persen dari total anggaran.

Kebocoran karena pembelanjaan tidak sesuai dengan ketentuan ini antara lain terjadi pada penggunaan dana tak tersangka (Rp 4,7 miliar), belanja untuk instansi vertikal (Rp 392,4 juta), pembayaran Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) anggota dewan (Rp 21 juta), bantuan uang saku PNS calon haji (Rp 62,7 juta), hingga belanja bupati/wabup (Rp 315,5 juta).

Selain itu, BPK juga merinci beberapa dana yang juga terindikasi bocor, sejumlah dana yang belum atau tidak disetor ke kas daerah sesuai deadline 31 Desember 2005 ke kas daerah Pemkab Sumenep. Ditemukan dugaan kebocoran yang sangat fantastis yakni Rp 27,3 miliar.

Dana yang tidak disetor itu antara lain penyertaan modal ke Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bhakti Sumekar sebesar Rp 2 miliar, penerimaan bunga lunak 1 tahun yang dikelola sejumlah dinas atau satuan kerja pemegang kas dari hasil dana revolving (bergulir) Rp 12,2 miliar. Selain itu, juga terjadi pada penerimaan retribusi, dana perimbangan pajak, dan pinjaman penguatan nodal yang tidak jelas.

"Total kebocoran pada dua item tersebut mencapai sekitar Rp 36.9 miliar. Dengan demikian, jika dihitung, tingkat kebocoran mencapai Rp 3 miliar per bulan atau Rp 100 juta per hari. Masyaallah," papar Nurul Fajar, saat menunjukkan hasil laporan BPK, Senin (15/1).

Dana Rp 36, miliar yang bocor itu belum termasuk pengerjaan proyek yang tidak sesuai bestek atau spesifikasi kontrak (RKS).

Bahkan ada juga penggunaan dana lainnya, seperti gaji pegawai dan penggunaan beberapa dana APBD lainnya, yang tidak jelas sandaran hukumnya.

Menurut Nurul Fajar, kebocoran terjadi karena bupati tidak dibekali kemampuan mengendalikan pengelolaan keuangan daerah. Penguasa wilayah dan penanggung jawab APBD ini juga tidak difasilitasi sistem dan alat untuk mereview pengendalian pengelolaan keuangan daerah. Selain itu, juga karena bupati tak memiliki tim ahli sebagai penasihat.

"Menurut BPK, jaringan G-Online (Government-Online) Sumenep yang telah dibangun dengan biaya mahal sejak tahun 2004 tidak berfungsi mendukung kinerja pengendalian dan pengelolaan keuangan daerah", terang Fajar.

Selama ini, kata Fajar, di Pemkab Sumenep belum tercipta sistem pengendalian dan pengelolaan keuangan daerah yang terpadu. Selain itu, juga belum ada prosedur baku bagi setiap satuan kerja yang memegang kas daerah atau yang bertanggung jawab mengeloka keuangan.

Belum optimalnya kinerja bagian keuangan pemkab ini terlihat dari adanya temuan pengeluaran sebesar Rp 98.909.000 yang tidak didukung bukti-bukti pengeluaran yang memadai.

Temuan BPK, papar Nurul Fajar, bisa menjadi obyek hukum yang dapat ditindaklanjuti aparat kepolisian dan kejaksaan. Ini sesuai dengan UU 30/1999.

Ketua LSM Sumekar Alliance Non Government Organization (SANGO) H Moh Dayat mengatakan temuan BPK yang sudah tersebar kemana mana itu harus ditindaklanjuti para penegak hukum.

Menurut Dayat, kebocoran itu mungkin bukan karena disengaja, melainkan hanya kesalahan administratif. Ini bisa saja terjadi karena lemahnya pengawasan.

"Kalau memang ada penyelewengan ya diproses saja. Tapi, kalau laporan BPK itu tidak benar, ya `digantung` saja, karena meresahkan",tegas Dayat, Senin (15/1).(st2)

Kesalahan Administrasi

Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Sumenep, H Achmad Masuni SE MM, membantah klaim terjadinya kebocoran dalam pembelanjaan APBD 2005 sebagaimana dibeber BPK dan disebarluaskan LSM. "Memang ada kesalahan administrasi pada perhitungan APBD 2005. Tetapi, itu bukan kebocoran seperti yang disampaikan teman-teman LSM", tandas Masuni, Rabu (17/1).

Masuni mencontohkan pembayaran gaji pegawai BKKBN. Pada saat itu, BKKBN yang sebelumnya terpusat, lalu diberikan ke daerah. Tetapi, kenyataannya, gajinya tidak dimasukkan APBD, sehingga dibayarkan di SPBD.

"Akibatnya, ada kesalahan penempatan saja. Itu tidak ada masalah, karena sesuai klarifikasi itu hanya kesalahan administrasi, bukan kebocoran", papar Basuni.

Kendati demikian, Masuni berjanji menindaklanjuti temuan dan rekomendasi BPK, dengan memperbaiki kesalahan administrasi dan membenahi sistem administrasi keuangan APBD.

Bupati Sumenep' KH Moh Ramdlan Siraj SE MM, juga menegaskan tidak APBD 2005 bocor. "Itu hanya kesalahan administrasi. Semua sudah kami tindaklanjuti", ujarnya, Rabu (17/1).

Hal senada juga diungkapkan Anggota DPRD Sumenep, Malik Effendi SH. Menurut Malik, sesuai UU 15/2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan UU 16/2006, selain memberikan opini, BPK juga melaporkan hasil penilaian penggunaan keuangan. Untuk yang terakhir ini, BPK melaporkan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.

Jika rekomendasi BPK menyatakan ada kerugian negara, maka ini identik dengan korupsi. "Tapi, kalau rekomendasinya hanya soal mekanisme dan kesalahan administrasi penggunanaan keuangan, tentu bukan kebocoran", ungkapnya.

Kesalahan mekanisme, paparnya, bukan berarti salah aturan main. Kalau memang terjadi kebocoran, pemkab diberi waktu 60 hari untuk memperbaiki atau menyelesaikan. (st2)



KEBOCORAN APBD 2005 PEMKAB SUMENEP

A. Belanja yang tidak sesuai ketentuan, tidak didukung bukti valid (lengkap sah), dan tidak sesuai peruntukannya


  • Belanja tidak disangka yang digunakan tidak sesuai ketentuan Rp 4.713.529.189

  • Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan yang tidak didukung bukti valid Rp 98.908.000

  • Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan yang tidak sesuai peruntukan Rp 2.327.027.909

  • Belanja bayar di muka yang tidak tepat Rp 250.968.500

  • Belanja bupati/wakil bupati (tunjangan kesejahteraan/biaya penunjang operasional) Rp 315.500.000

  • Pencatatan transaksi penerimaan PBB, PP jalan, pelayanan kesehatan RSD Dr H Moh Anwar Rp 603.466.762

  • Belanja bantuan untuk instansi vertikal lainnya Rp 392.462.500== 8. Pembayaran SPPD anggota DPRD yang tidak sesuai ketentuan Rp 21.000.000

  • Pembayaran honorarium pimpinan dan anggota DPRD yang tak sesuai ketentuan Rp 861.874.500

  • Bantuan uang saku calon jemaah haji PNS Pemkab Sumenep Rp 62.750.000

  • Total A: Rp 9.647.487.360

B. Dana yang tidak (belum) disetor pada batas waktu sesuai ketentuan (31 Desember 2005) ke Kas Daerah Pemkab Sumenep

  • Perlakuan 'tidak profesional' tidak ada kesesuaian waktu pada penyertaan modal BPR Bhakti Sumekar Rp 2.009.359.255

  • Penerimaan dari pinjaman bunga lunak 1 tahun yang dikelola dinas (satuan kerja pemegang kas) - dana revolving (piutang) dari 2003-2005 Rp 12.278.932.383
  • Penerimaan retribusi (piutang) Rp 5.280.000.000

  • Penerimaan dana perimbangan pajak (piutang) Rp 4.565.132.867

  • Piutang pinjaman penguatan modal lain-lain Rp 2.385.462.140

  • Kas dari satuan kerja pemegang kas Rp 799.951.123

  • Total B: Rp 27.318.837.768

Sumber data LSM KPS Sumenep/Laporan Hasil Pemeriksaan BPK

Sumber: Surya, 04 Februari 2007