Tuduhan Korupsi Prematur

Kusbachrul-Krisna Budi dan Rekan dari Surabaya, kuasa hukum Moh. Fadillah, kepala Kantor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kemarin menyatakan sangkaan yang dituduhkan jaksa pada kliennya terlalu prematur.

Dalihnya, dalam proses penyidikan kasus dugaan korupsi yang menyeret kliennya sebagai tersangka, belum terungkap sama sekali potensi nilai kerugian keuangan negara. Sehingga, sikap jaksa yang menahan kliennya dinilainya tidak adil.

Krisna Budi menjelaskan, kliennya dibelit sangkaan korupsi dalam kasus dugaan penyimpangan proyek kelistrikan di daerah terpencil dan kepulauan serta desalinasi. Namun, selama proses penyidikan, tim penyidik belum juga membeber letak kerugian keuangan negara. "Ini membuat kita heran dan kaget. Kok tim penyidik sampai mengeluarkan kebijakan untuk menahan klien," ujarnya melalui saluran telepon.

Namun, secara kelembagaan termasuk kliennya tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Sehingga, kliennya lebih memilih ikut alur tim penyidik yang ingin menahannya. "Klien saya tidak menyerahkan diri atau pun ditangkap. Klien saya hanya mengikuti alur. Sebab, surat perintah penahanannya ternyata sudah keluar. Ini yang membuat klien saya berpikir lebih baik menuruti keinginan tim penyidik," tuturnya.

Kliennya juga belum pernah diperiksa sekali pun sebagai tersangka. Sebelumnya, tim penyidik hanya pernah memeriksa kliennya satu kali dalam kapasitas sebagai saksi.
"Sampai hari ini (kemarin, Red) pun klien saya yang kini ditahan belum menerima pemberitahuan secara resmi dari tim penyidik tentang jadwal pemeriksaannya sebagai tersangka," ujarnya.

Krisna berusaha menjelaskan kronologis sikap kliennya yang memilih datang sendiri datang sendiri ke Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumenep. "Selasa (25/9) itu, saya yang mendampingi klien datang ke kejari. Sebab, tim penyidik ternyata telah mengeluarkan surat perintah penahanan. Kita berpikir lebih baik datang ke jaksa daripada dianggap lari dan nantinya klien saya malah ditetapkan sebagai buron," katanya kepada koran ini.

Sekadar mengingatkan, tim penyidik Kejati Jatim yang dipimpin Samsul Arifin menetapkan Fadillah sebagai tersangka sejak 2 Agustus lalu. Fadillah dinilai pengguna anggaran (PA) dalam kasus dugaan korupsi di ESDM. Yakni, proyek pengembangan kelistrikan di daerah terpencil dan kepulauan serta desalinasi (pengolahan air laut menjadi air tawar) di Kecamatan Gili Genting. Total
proyeknya sekitar Rp 3 miliar. (yat)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 27 Sept 2007

Pasar Anom Pasca Kebakaran #1

Tanpa Asuransi, Semua Barang Dagangan Ludes

Geliat perekonomian di Pasar Anom mulai kemarin terhenti untuk sementara waktu. Itu karena puluhan kios di Blok A ludes terbakar api. Pemilik kios hanya bisa melihat dan meratapi barang daganganya yang dilalap api. Bagaimana nasib mereka kini?

Minggu pagi kemarin menjadi mimpi buruk bagi sebagian pedagang yang mencari nafkah di Pasar Anom. Sekitar pukul 04.30 api melahap habis ratusan kios yang berada di Blok A-T, A-K, dan A-S. Mobil pemadam yang dikerahkan ditambah dengan bantuan warga tidak mampu menahan kobaran api.

Kebakaran pasar yang terletak di belakang kantor Bank Nasional Indonesia (BNI) itu merupakan kebakaran terbesar selama kurun lima tahun ini. Akibat musibah tersebut, ratusan pedagang kehilangan dagangan dan mata pencahariannya. Mereka berharap, pemkab membantu memberikan modal dan merenovasi bangunan pasar yang hangus.

Pedagang dan pemilik kios yang terbakar hanya bisa meratapi nasibnya. Dagangan mereka ludes dilalap si jago merah. Kesedihan ini salah satunya dialami pemilik toko elektronik Pak Sani, Sujarwo. Tak satu pun barang dagangannya bisa diselamatkan. Itu karena lokasi kiosnya berada di tengah yang sulit dijangkau alat pemadam kebakaran. "Semua dagangan saya ludes terbakar," keluhnya.

Dia menyesalkan tindakan antisipasi dari pihak petugas pasar yang dinilai lamban menghentikan kobaran api. Dia juga kecewa dengan sarana prasana pemadam kebakaran (PMK) yang sangat minim. "Api sulit dimatikan karena mobil pemadam hanya satu. Sedangkan yang saya tahu pemkab punya dua. Lagi pula, datangnya agak lambat. Ini bentuk kelalaian," sesal Jarwo.

Nasib sama dialami H Abdul Kadir, pemilik Toko Akas. Dia hanya bisa melihat ketika api menghanguskan semua barang pecah belah dagangannya. "Kita sudah kena musibah, semua sudah habis. Kita hanya berharap ada bantuan dari pemerintah untuk segera merehap bangunan kios ini. Sehingga, kita bisa mencari nafkah lagi untuk keluarga," harapnya.

Sedangkan Ketua Paguyuban Pedangang Pasar Anom H Abd. Rofik ketika ditemui koran ini juga bersikap sama. Dia mendesak pemkab untuk ikut membantu meringankan musibah yang menimpa para pedagang. "Kami tidak punya pekerjaan dan penghasilan, selama bangunan ini tetap dibiarkan hangus. Sebab, kami tidak mungkin berjual di dalam toko yang hampir roboh," ujarnya.

Untuk itu, Rofik minta pemkab segera membangun kembali kios tersebut. Selain itu, dia mengharapkan pemkab memberikan bantuan dana modal kepada para pedagang. Sebab, akibat kebakaran, banyak pedagang yang tidak lagi memiliki modal. "Kita bukan pedagang kelas atas yang punya ansuransi. Ketika barang kami ludes terbakar, tidak ada lagi yang bisa kami jual. Dagangan kami hanya untuk makan setiap harinya. Jadi kami membutuhkan modal awal untuk kembali berdagang," kata pemilik Toko Inter Mustika ini. (A. ZAHRIR RIDLO)
Sumber: Jawa Pos, Senin, 29 Okt 2007

Pasar Anom Terbakar

Ratusan Kios Dilalap Api

Musibah kebakaran pasar kembali terjadi di tanah air. Kemarin giliran Pasar Anom yang terletak di pusat Kota Sumenep terbakar. Ratusan kios yang terletak di Blok A hangus dilalap si jago merah.

Tidak ada korban jiwa akibat kebakaran ini. Hanya tiga pedagang mengalami luka. Mereka adalah Riskiyaningsih, warga Desa Pandian; H Mardin, Kelurahan Bangselok; dan H Holil, Desa Kolor.

Riskiyaningsih luka kepalanya akibat kejatuhan balok kayu. H Mardin juga luka kepalanya akibat kena pecahan kaca. Sedangkan H Holil luka robek akibat paku bangunan. Ketiga korban kemudian diobati di RSD Moh. Anwar Sumenep.

Kebakaran terjadi sekitar pukul 04.30. Sampai pukul 07.00 api masih belum bisa dikuasai. Akibat jilatan api selama tiga jam ini, sedikitnya 85 kios di Blok A-K dan 44 kios ludes di Blok A-S dilalap api. Sedangkan 45 kios di blok A-T sebagian yang hangus.

Berdasarkan pantauan koran ini di lokasi, pada pukul 05.15 kobaran api terlihat cukup besar. Asap tebal dan hitam mengepul. Langit pun terlihat seperti mendung. Sedangkan para pemilik kios terlihat sibuk menyelamatkan barang dagangan.

Ironisnya, jumlah mobil pemadam kebakaran yang berada di lokasi minim. Dari dua mobil pemadam kebakaran milik pemkab, hanya satu mobil yang berfungsi. Jauhnya lokasi pengambilan air juga membuat upaya pemadaman api tidak efektif. Api terus berkobar dan sulit dikendalikan.

Namun, beberapa menit kemudian dua mobil PDAM membantu menyuplai air ke tangki mobil pemadam. Hanya, ironisnya lagi, kabupaten ini tidak mempunyai petugas PMK. Sehingga, ketika mobil PMK tiba, hanya warga dan pemilik kios yang mengoperasikan alat pemadam itu.

Keterbatasan sarana dan petugas pemadam memaksa pemilik kios, warga, dan aparat kepolisian bahu-membahu memadamkan kobaran api dengan ember dan peralatan seadanya. Namun, mereka sulit menjangkau beberapa titik api karena terkendala gang yang sempit.

Upaya pemadaman juga bertambah sulit, karena di kios-kios yang terbakar terdapat sejumlah barang-barang yang mudah terbakar. Maklum saja, kios yang terbakar secara kebetulan merupakan blok dagangan sepatu, sandal, barang pecah belah, elektronik, dan jam.

Untungnya, api yang membakar pasar yang dibangun pada 1995 lalu ini berhasil dilokalisasi. Beberapa tembok kios terpaksa dirobohkan untuk mematikan titik api. Sehingga, api tidak merembet ke blok lain. Pada pukul 07.45 api baru bisa dipadamkan.

Petugas kepolisian yang berada di lokasi belum bisa memastikan penyebab kebakaran Pasar Anom. Namun, beberapa saksi di lokasi kebakaran menyebut sumber kebakaran diduga akibat hubungan pendek arus listrik.

Petugas keamanan Pasar Anom, Sumoyanto, yang ditemui koran ini di lokasi mengaku, melihat api kali pertama berasal dari salah satu kios yang berada di Blok A-T. Tepatnya dari Toko Sahabat yang menjual sepatu dan sandal. "Awal api dari Toko Sahabat akibat arus pendek (listrik). Saya berusaha memadamkan api. Namun, tidak bisa karena keterbatasan air," katanya.

Tapi, pihak kepolisian belum menyimpulkan penyebab kebakaran itu. Kapolres Sumenep AKBP Drs Darmawan yang ditemui koran ini di lokasi kebakaran mengatakan, pihaknya masih menyelidiki penyebab kebakaran tersebut.

Untuk menemukan penyebab kebakaran kios berukuran antara 4 x 6 meter dan kios 2 x 2 meter itu, polres telah koordinasi dengan Labfor Polda Jawa Timur. "Kami belum bisa pastikan penyebabnya. Tapi, kami sudah menghubungi Labfor Polda Jatim untuk mengetahui asal titik api dan penyebab kebakaran," kata Kapolres.

Dia juga tidak bisa memberikan kesimpulan kemungkinan adanya sabotase atau akibat hubungan pendek aliran listrik. Alasannya, pihaknya masih menunggu hasil penelitian dari tim Labfor Polda Jatim.

Untuk mengantisipasi penjarahan, setiap pedagang yang akan mengambil barangnya diperiksa KTP (kartu tanda penduduknya)-nya oleh petugas. Polisi berseragam memang diterjunkan untuk mengamankan area kebakaran dan barang milik pedagang.

Bahkan, kata Kapolres, pihaknya sempat memergoki dua orang yang sedang mengambil barang milik pedagang yang berhasil diselematkan dari amukan si jago merah.

Sedangkan Kepala Bagian Pendapatan BKPD (Badan Pengelola Kekayaan Daerah) Sumenep yang membawahi pengelolaan pasar itu, MD. Suparto, mengatakan bahwa sebagian besar toko dan kios yang terbakar itu menjual tas, sepatu, sandal, buku, dan peralatan elektronik.

"Sampai saat ini, kami belum bisa menaksir kerugian yang diakibatkan oleh kebakaran tersebut," katanya.

Tidak Profesional

Penanganan kebakaran Pasar Anom dinilai tidak profesional. Akibatnya, api bisa menghanguskan ratusan toko dan kios dalam waktu tiga jam.

Menurut anggota DPRD Sumenep, Raud Faiq Jakfar, yang kemarin meninjau ke lokasi kebakaran mengatakan, hal itu itu karena beberapa faktor. Diantaranya, mobil pemadam kebakaran milik pemkab yang dikerahkan hanya satu unit. Meski telah dibantu oleh dua mobil tangki air dari PDAM, tapi tetap tidak maksimal. Apalagi, sejumlah peralatannya tidak layak digunakan untuk memadamkan api dengan cepat.

Dia mengingatkan, sudah seharus pemkab punya unit organisasi yang khusus menangani kebakaran. Sebab, selama ini tidak pernah jelas, siapa yang bertanggung jawab jika ada kebakaran. "Contohnya, mobil PMK saja ada dua. Tapi satunya ada di dinas kebersihan dan satunya lagi dipegang satpol PP," katanya.

Karena tidak ada penanggung jawab penuh ketika terjadi kebakaran, sehingga setiap kali terjadi kebakaran tidak tertangani dengan profesional. "Contohnya, kebakaran rumah warga di Pamolokan dan kebakaran Pasar Prenduan. Semua tidak berhasil diselamatkan," ujarnya.

Jika tetap tidak ada organisasi khusus yang menangani kebakaran, wakil ketua komisi C ini yakin, setiap kali ada kebakaran tidak akan tertangani dengan baik. "Yang dirugikan selama ini adalah masyarakat," katanya.

Menurut dia, DPRD telah mengusulkan adanya pelatihan SDM bagi petugas pemadam kebakaran. Namun, hal itu tidak direspons dengan baik oleh pemkab. "Kabupaten kita kaya, tapi kita miskin mobil PMK dan petugas PMK. Padahal, penyediaan sarana prasarana itu bagian dari pelayanan kepada masyarakat," tandasnya.

Lebih disayangkan lagi, sambungnya, pasar ternyata tidak mempunyai air atau alat apa pun untuk mematikan api jika terjadi kebakaran. Akibatnya, sekali ada api langsung menjalar ke mana-mana dan sulit dikendalikan.

Namun, hal ini dibantah oleh Kepala UPT Pasar H Misnadi. Dikatakan, Pasar Anom telah dilengkapi alat untuk memadamkan api jika terjadi kebakaran. Bahkan, beberapa hari yang lalu juga sempat terjadi kebakaran kecil di Pasar Anom. Tapi, api tidak meluas karena berhasil dipadamkan dengan hidran air.

"Kita punya tiga hidran air untuk memadamkan api. Tapi pada kebakaran kali ini, api cukup besar dan alat yang ada tidak mampu memadamkan," katanya. (zr)
Sumber: Jawa Pos, Senin, 29 Okt 2007

Sumenep Bertekat Merebut Ladang Migas

Berjuang Melalui Judicial Review

Sejumlah Blok Migas yang berada di perairan Kepulauan Sumenep masih jadi rebutan Pemprov Jatim dengan Kabupaten Sumenep. Pemkab Sumenep saat ini masih berupaya supaya kawasan perairan itu masuk wilayahnya dengan mengajukan judicial review (uji materiil) ke Mahkamah Agung (MA) Permendagri No 8/2007 tentang Provinsi Jawa Timur sebagai Daerah Penghasil Sumber Daya Alam Sektor Minyak Bumi dan Gas Bumi.

Pengajuan judicial review setebal 15 halaman yang telah disampaikan langsung Ketua DPRD Sumenep, Drs KH Abuya Busyro Karim M Si, serta Wakil Ketua DPRD, Drs KH Warist Ilyas dan KH Wakir Abdullah, ke Jakarta pada 22 Agustus 2007 lalu. Masalah itu telah mendapatkan perhatian Mahkamah Agung (MA) untuk dilakukan gelar perkara, dan nomer register sidang sudah di tangan DPRD Sumenep untuk menunggu masa sidangnya.

Dalam pengajuan judicial review, Pemkab Sumenep melalui DPRD menilai hadirnya Permendagri No 8/2007 sangat bertentangan dengan aturan di atasnya. Semisal Undang-undang No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai penjabaran Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (1) bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk sumber daya di wilayah laut tersebut. "Dalam konsep kewilayahan suatu daerah bukan hanya wilayah daratan tapi juga laut. Karena itu sesuai UU itu daerah dimaksud punya wewenang untuk mengelola sumber daya lautnya," tandas Abuya Busyro Karim kepada Surya.

Ditambahkan, pasal 18 ayat (1) juga diperkuat dengan pasal (4) yang menjelaskan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut merupakan kaitan dengan ayat (3) yakni paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. "Pengaturan wilayah laut seharusnya berpegang pada prinsip negara kepulauan sebagaimana yang digariskan dalam Undang Undang No 6/1996 tentang perairan Indonesia, khususnya pasal 1 ayat (3) dan pasal 5 ayat (7)," terangnya.

Perbedaan yang mencolok antara Permendagri No 8/2007 dengan Undang Undang No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang mengatur dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi sebesar 15 persen. Bagi hasil sebesar 15 persen itu dibagi 3 persen untuk provinsi, 6 persen untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 6 persen untuk kabupaten/kota lainnya di provinsi yang bersangkutan.

Sedangkan dana bagi hasil dari pertambangan gas bumi sebesar 30 persen, dibagi 6 persen untuk provinsi, 12 persen untuk kabupaten/kota daerah penghasil dan 12 persen untuk kabupaten/kota lainnya di provinsi yang bersangkutan. "Jadi ini sudah jelas dan tidak selayaknya kemudian Permendagri itu berseberangan dengan UU yang mengatur di atasnya," tegas  Buysro.

Ketidak sinkronan Permendagri No 8/2007 juga terjadi dengan peraturan yang lain. Seperti PP No 55/2005 tentang dana perimbangan menyatakan bahwa dana bagi hasil pertambangan umum sebesar 80 persen yang berasal dari wilayah kabupaten/kota dibagi dengan rincian, 16 persen untuk provinsi yang bersangkutan, dan 64 persen untuk kabupaten/kota penghasil. "Karena itu UU No 33/2004 dan PP 55/2005 itu yang dimaksud dengan daerah penghasil adalah daerah kabupaten/kota dan bukan provinsi," tegasnya.

Sayangnya, Permendagri No 8/2007 menetapkan, bahwa Provinsi Jawa Timur sebagai daerah penghasil sumber daya alam di sektor minyak bumi dan gas bumi di wilayah kerja Madura Offshore PSC (Santos) atau Blok Maleo sebanyak 5 sumur dan wilayah kerja Kangean yang sekarang sudah dilakukan Kangean Energy Indonesia (KEI).

Yang dikhawatirkan masyarakat Sumenep, jika Permendagri No 8/2007 nanti lolos, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan social shock bagi masyarakat Sumenep. Apalagi wilayah itu selama ini tinggi perolehan dana alokasi umum (DAU), maka akan berkurang jika Permendagri itu telah diterapkan. Dana bagi hasil, participating interest (PI), pajak bumi dan bangunan (PBB), dana community development (comdev) dan lain-lain akan hilang dari daftar PAD Kabupaten Sumenep.

Ketua Komisi B DPRD Sumenep, KH Unais Ali Hisyam menyebutkan, dengan dibentuknya Kelompok Kerja (Pokja) Blok Maleo, maka arah untuk merebut kembali Blok Santos dan Blok Kangean kembali masuk Kabupaten Sumenep dilakukan sesuai aturan hukum.

Pokja DPRD Sumenep menilai, berdasarkan Permendagri No 18 Tahun 2005 tentang Kode dan Data Administrasi Pemerintahan, tentang luas wilayah administrasi Kabupaten Sumenep, bahwa Kabupaten Sumenep memiliki 27 kecamatan, yakni 18 kecamatan daratan dan 9 kecamatan kepulauan dengan total 328 desa, terdiri dari 242 desa di daratan, 86 desa di kepulauan dan jumlah pulau 126 pulau.

Berdasarkan ketentuan tersebut di wilayah kerja offshore PSC (Santos) yang terdiri dari 5 sumur Maleo dan wilayah kerja Kangean PSC (EMP Kangean sekarang menjadi Kangean Energy Indonesia/KEI) yang terdiri dari 2 sumur masuk wilayah Kabupaten Sumenep.

Beberapa langkah yang disepakati Komisi B dan mendapat respons dari pimpinan dewan, di antaranya, pimpinan DPRD Kabupaten Sumenep tidak memberikan rekomendasi pengelolaan PI Blok Maleo kepada Petrogas Wira Jatim (PWJ). Dengan pertimbangan, apabila memberikan rekomendasi kepada PWJ untuk mengelola PI Blok Maleo, sama artinya menyetujui Blok Maleo masuk dalam wilayah provinsi.

Dikatakan, hasil pertemuan antara Pokja Maleo ke BP Migas dan PT Santos di Jakarta pada 20 Juli 2007 lalu menghasilkan penanda tanganan kerja sama pengelolaan PI Blok Maleo belum dilakukan dengan pihak manapun. Pihak BP Migas diminta menghentikan sementara proses penawaran PI Blok Maleo sampai ada keputusan dari judicial review yang mempunyai kekuatan hukum tetap. "Pada waktu itu disetujui bahwa BP Migas akan menghentikan sementara proses lebih lanjut tentang pengelolaan PI Blok Maleo," tegasnya.

Ubah Jadi Kabupaten Kepulauan Sumenep

Jika pengajuan judicial review mentok, DPRD dan Pemkab Sumenep telah mempersiapkan jurus lain, untuk menyelamatkan aset daerah, utamanya di sektor migas. Salah satunya dengan mengubah status Kabupaten Sumenep menjadi Kabupaten Kepulauan Sumenep.

Gagasan ini muncul dari DPRD Sumenep, usai Komisi B melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Riau. Ketua Komisi B, Unais Ali Hisyam mengatakan, langkah perubahan nama dari kabupaten ke kabupaten kepulauan itu dirasa sangat tepat.

Mengingat Sumenep saat ini memang terdiri dari ratusan pulau-pulau yang tersebar hingga ke sekitar perairan Pulau Bali. "Dalam UU No 12 tahun 1950 tentang pembentukan Kabupaten Sumenep ternyata tidak jelas batas wilayahnya. Karena itu untuk mengajukan perubahan sangat gampang, tinggal mengusulkan revisi Undang-undang itu," tandas Unais.

Dikatakan, usulan untuk menjadi Kabupaten Kepulauan Sumenep itu dirasa tidak sulit, karena memang kenyataannya demikian. Bahwa Sumenep memang terdiri dari pulau-pulau sehingga sangat tepat jika diubah menjadi Kabupaten Kepulauan Sumenep sebagaimana terjadi di Kepulauan Riau.

Rencana Komisi B DPRD Sumenep untuk mempersiapkan perubahan nama kabupaten ke kabupaten kepulauan juga mendapat respons Bupati Sumenep, KH Moh Ramdlan Siraj SE MM. Bupati menyambut baik langkah itu jika proses pengajuan judicial review Permendagri No 8/2007 gagal.

Menurut Ramdlan Siraj, secara geografis Kabupaten Sumenep memang terdiri dari banyak pulau. Hanya saja dalam UU No 12 tahun 1950 itu tidak secara tegas menyebut Sumenep sebagai kabupaten kepulauan, sehingga kemudian dalam Permendagri batas wilayahnya dibentuk blok-blok sehingga batas laut Sumenep jadi tidak jelas. "Jika itu yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan aset Sumenep, bagaimanapun harus kita lakukan. Kita akan lihat perkembangannya seperti apa nanti," ujar Ramdlan.

Meski begitu, bupati akan bersikap hati-hati dalam menentukan langkah perubahan nama. Jika tanpa diubah ternyata Sumenep masih tetap mempertahankan batas wilayahnya, dan beberapa blok migas masih tetap menjadi bagian Sumenep, keinginan itu tidak harus dilakukan.st2

Kami Menunggu Sidang

Ketua DPRD Sumenep Drs KH Abuya Busyro Karim MSi mengungkap, sebelum mengajukan judicial review telah koordinasi dan konsultasi dengan anggota DPR-RI dari Dapil Madura untuk mendapatkan dukungan politis.

Materi judicial review juga telah disampaikan presentasi yang dilakukan Pokja Blok Maleo dan Kepala Bappeda unsur dari Pemkab Sumenep. Pimpinan DPRD kemudian menandatangani Permohonan Hak Uji Material terhadap Permendagri Nomor 8 Tahun 2007 tentang Provinsi Jawa Timur Sebagai Daerah Penghasil Sumber Daya Alam Sektor Minyak Bumi dan Gas Bumi.

Selanjutnya tanggal 22 Agustus 2007 materi judicial review disampaikan ke MA di Jakarta. "Kita mengajukan permohonan menguji Permendagri No 8 / 2007 khususnya Pasal 1, Pasal 2 huruf b dan huruf e, serta Pasal 3 ayat (2) dan ayat (5)," jelasnya.

Dikatakan, pengajuan judicial review itu juga tidak terlambat karena Permendagri baru ditetapkan 26 Pebruari 2007 serta masih dalam tenggang waktu 180 hari. "Kita telah mengandeng Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Bangkalan untuk mendampingi saat gelar revisi Permendagri serta beberapa praktisi hukum," tambah Busyro.

Permohonan judicial review diterima oleh M Yulie B Setyaningsih, SH, Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Mahkamah Agung Republik Indonesia dan dinyatakan telah memenuhi syarat. "Kami sedang menunggu sidang. Doakan ini sukses," tegasnya.

Sesuai UU No 32/2004

Wakil Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Jatim, Dra Hj Tutut Herawati MM, dalam siaran persnya melalui situs resmi Pemprov Jatim menyampaikan, pengaturan batas wilayah dilakukan sesuai UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Selain itu, juga memperhatikan masalah penentuan titik koordinat dari operator yang dilaporkan ke BP Migas dan Dirjen Migas Departemen ESDM, sebagai pengawas kegiatan usaha hulu migas di Indonesia.

Dikatakan, data mengenai titik koordinat lokasi sumur pemboran dari operator ini juga diserahkan ke Bakosurtanal dan Hidros Oceanografi TNI AL, untuk mem-plotting-kan posisi di tengah laut. Untuk batas wilayah provinsi penghasil migas juga diatur Dirjen PUM Depdagri dengan Permendagri No 1/2006. "Pembahasan mengenai batas wilayah dan bagi hasil migas di Jatim ini telah melalui rapat bersama sejak akhir 2006 di Jakarta dan Surabaya yang dikoordinasikan Dirjen BAKD Depdagri," papar Tutut.

Peserta rapat adalah Dirjen PUM Depdagri, BP Migas, Dirjen Migas Departemen ESDM, Bakosurtanal, Hidros-Oceanografi TNI AL, Dinas ESDM Jatim, Bapedalda Jatim, Bappeprov Jatim, Biro Perekonomian dan Biro Hukum Setdaprop Jatim, Dipenda Jatim dan pemkab/pemkot daerah penghasil migas.

"Dalam rapat itu dijelaskan semua aturan dan penghitungan titik koordinat secara komputerisasi. Semua instansi daerah penghasil migas diberikan kesempatan untuk bertanya waktu itu dan dijadikan berita acara yang ditanda tangani semua peserta," jelasnya.

Menanggapi surat protes dari Bupati Sumenep yang dikirimkan ke Mendagri agar meninjau kembali batas wilayah dan bagi hasil sumur migas, Tutut menjelaskan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Pemkab Sumenep. Dinas ESDM Jatim memberikan surat pengantar karena mendapat tembusan dari Bupati Sumenep kepada Dirjen BAKD untuk ditindaklanjuti. "Setelah dirapatkan, muncul surat jawaban dari Dirjen BAKD bahwa Permendagri 1/2006 tidak bisa diubah," tegasnya.

Sementara Badan Pengawas (BP) Migas melalui Kepala Divisi Humas BP Migas, Amir Hamzah, mengatakan, batas wilayah pengeboran minyak lepas pantai (offshore) dari garis pantai 0-4 mil berada dalam pengelolaan pemkab/pemkot. Untuk jarak 4-12 mil berada dalam wilayah pemprov dan di atas 12 mil merupakan kewenangan pemerintah pusat untuk mengelolanya. "Tapi itu semua merupakan keputusan Depdagri. Sedangkan BP Migas hanya mencari cadangan sumur migas baru dan memproduksinya. Masalah bagi hasil migas adalah kewenangan Depdagri dan Departemen Keuangan," katanya. (st2)
Sumber: Surya, Friday, 26 October 2007

Menatap Bangkalan Masa Depan

Remoh Nasional Mahasiswa Bangkalan

Momen mudik Lebaran dimanfaatkan oleh mahasiswa asal Bangkalan yang kuliah di Jokjakarta untuk berbagi peduli terhadap Bangkalan, terutama terkait pembangunan Suramadu. Mereka menggelar pertemuan nasional mahasiswa. Apa hasilnya?

Posisi Kabupaten Bangkalan yang berdekatan Surabaya sangat strategis dalam rangka pengembangan daerah. Karena itu, Bangkalan harus bisa menyerap berbagai kemajuan yang sudah diraih Surabaya.

Pernyataan ini disampaikan Direktur Jawa Pos Institute of Pro Otonomi, Drs Maksum, MSi, saat menjadi pembicara Halal Bihalal dan Remoh Nasional Mahasiswa Bangkalan dengan tema "Menatap Bangkalan Masa Depan" kemarin. Acara ini digelar Keluarga Mahasiswa Madura Jogjakarta di Aula DPRD Bangkalan.

Selain Maksum, juga hadir tiga narasumber lain. Yakni, Abdur Rozaki MSi (staf IRE Jogjakarta dan dosen UIN Sunan Kalijaga), Drs KH M. Nuruddin A. Rahman SH (DPD RI asal Jatim dan Pengasuh Ponpes Al Hikam, Tunjung, Burneh), dan Abdul Latif Algaf, SIP, MSi.

Menurut Maksum, percepatan kemajuan daerah juga harus bisa membuat terobosan program pelayanan dasar. Seperti pendidikan dan kesehatan. Redaktur Jawa Pos ini mencontohkan program pendidikan salah satu daerah di Jatim (tidak disebut). Untuk meningkatkan SDM di daerah, pemkab menitipkan lulusan SMA yang berprestasi kepada putra daerah yang sukses merantau di luar daerah agar melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. "Ini terobosan yang positif," kata Maksum.

Di bidang kesehatan, lanjutnya, ada salah satu daerah yang melaksanakan program dokter spesialis keliling desa. Ada juga yang membuka puskesmas selama 24 jam.

Selain itu, guna memercepat kemajuan suatu daerah, diperlukan birokrasi yang baik. Struktur organisasinya ramping, efisien, dan bisa memberi pelayanan cepat kepada masyarakat. Bagaimana dengan Bangkalan? Maksum menilai menilai, dari sisi finansial serta akuntabilitasnya, Bangkalan terbaik untuk Madura. Di sisi lain, Bangkalan belum mendapatkan penghargaan bidang Otonomi Award. "Ini menjadi tantangan bagi Bangkalan untuk terus maju," harapnya.

Sementara Abdur Rozaki menyinggung proses pemiskinan oleh global capitalism yang harus diantisipasi. Diantaranya dengan penguatan masyarakat sipil. Khususnya komunitas pedesaan. Namun, itu tidak mungkin hanya dilakukan orang desa sendiri. Karena itu diperlukan kerjasama antara orang desa dengan akademisi, diplomat, intelektual, mahasiswa, jurnalis, politisi negarawanan, agamawan populis, dan lainnya yang memiliki komitmen dan kepedulian atas penderitaan masyarakat desa.

"Untuk perbaikan masa depan, orang desa memang harus bangkit dan mengonsolidasikan segala bentuk kekuatannya untuk kembali merebut hak-haknya yang telah hilang dan terampas," tandasnya.

Sedangkan Nuruddin mengupas pentingnya penyiapan SDM. Terutama menyongsong pasca pembangunan Suramadu. Termasuk mengantisipasi dampak negatif ketika industrialisasi masuk ke Madura. Sehingga budaya Madura tidak terpinggirkan.

Sementara Abdul Latif Algaf mengatakan, hal yang mendasar dari pembangunan adalah pembangunan manusianya. Dia mencontohkan Malaysia, Taiwan, dan India. Negara-negara tersebut berpacu dengan meningkatkan kualitas SDM untuk memajukan daerahnya.

Tapi, kualitas SDM yang bagus perlu didukung dengan kebijakaan yang tepat. Keduanya harus saling mendukung. Jika SDM yang bagus sudah tersedia tapi kebijakan yang keluar dari pemerintah tidak tepat, maka kemajuan yang diharapkan tidak akan tercapai.

Selain itu, mantan aktifis mahasiswa dan eksponen Imaba (Ikatan Mahasiswa Bangkalan) yang kini bekerja di PT Jamsostek pusat ini mengingatkan mahasiswa untuk selalu peduli dengan daerahnya. Dia juga berharap mahasiswa bersinergi dengan kekuatan lain untuk melakukan proses penyadaran bagi masyarakat Bangkalan. (TAUFIQURRAHMAN)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 18 Okt 2007

Tolak Serahkan Lahan

Perjuangan panjang petani garam untuk mendapatkan hak garap di lahan milik PT Garam nampaknya harus gigit jari. PT Garam menolak menyerahkan lahannya dan memilih menempuh lewat jalur hukum. Penegasan itu disampaikan kuasa hukum PT Garam, Wiyono Subagyo SH dalam jumpa persnya di Aula PT Garam, Senin (8/10). Menurutnya, PT Garam sudah cukup toleran dan beritikad baik dengan mengalokasikan sebagian lahannya untuk dikelola petani garam sesuai keputusan direksi PT Garam.

Dikatakan, pascakeluarnya rekomendasi DPR RI tanggal 26 Desember 2006 lalu, telah digelar pertemuan antara PT Garam dengan petani garam yang difasilitasi Bakorwil IV Madura. PT Garam telah menunjukkan itikad baik dengan telah mengalokasi sebagian lahannya untuk digarap petani garam Sumenep, Pamekasan dan Sampang.

Sesuai keputusan direksi PT Garam lahan yang disediakan masing-masing 75 hektare untuk wilayah pegaraman I Sumenep, 78 hektare di pegaraman II Pamekasan dan 50 hektare di wilayah pegaraman III Sampang. "Namun pada pertemuan tanggal 27 September 2007 petani garam ngotot menggarap semua lahan milik PT Garam," ujar Wiyono.

Karena pihaknya menolak, kendati Bakorwil IV pernah meminta kepada PT Garam untuk menyerahkan 10 % dari total aset lahannya juga ditolak direksi. Karena jika diserahkan kepada petani dipastikan akan mempengaruhi produksi garam. "Jumlah lahan yang disediakan direksi itu sudah keputusan final dan kami tidak akan menyerahkan sejengkal tanah melebihi yang disediakan. Jika mau, mari kita selesaikan lewat jalur hukum," tegasnya.

Ditambahkan Wiyono, sebelum rekomendasi dari DPR RI terbit, PT Garam telah melakukan kerja sama hak garap dengan petani garam yang tergabung dari beberapa yayasan petani garam di Madura. Di antaranya dengan Yayasan Pelaba sebanyak 108 hektare, dengan Yayasan Al-Jihad 290 hektare serta dengan petani garam langsung sebanyak 940 petani. "Kalau kami kembali memberikan peluang hak garap itu sudah maksimal. Bilamana ditolak, kami sudah tidak ada toleransi lagi," tegasnya.

Sementara Ketua Yayasan Tanah Leluhur (YTL) Masrawi mengaku perjuangannya masih belum selesai. Pihaknya bersama seluruh elemen yayasan petani garam di Madura usai Lebaran akan mengambil alih lahan PT Garam sebagaimana diamanatkan DPR RI. "Sesuai rekomendasi semua hak garap diberikan kepada petani, sedangkan PT Garam hanya sebagai pembina untuk mengarahkan mutu garam sesuai standar yang dikehendaki PT Garam," tandas Masrawi. (st2)

Sumber: Surya, Tuesday, 09 October 2007

Terkesan Bagi-bagi Proyek

Pelaksanaan proyek fisik 2007 di Kabupaten Sampang senilai Rp 200 miliar bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), terkesan hanya bagi-bagi proyek. Karena dalam proses tendernya diduga tak sesuai Keppres 80/2003. Bahkan sebagian rekanan yang mendapat proyek, tidak mendaftar kepada panitia pembinaan jasa konstruksi.

Akibat kebijakan satuan kerja (satker) dinas teknis terkait, yang tidak tegas dalam menerapkan Keppres No 80/2003 tentang Pengadaan barang dan Jasa. Sehingga proyek fisik 2007 menimbulkan berbagai permasalahan di lapangan. Misal, proyek jalan di Kec. Camplong kini terancam terbengkalai, karena tokoh masyarakat dan warga setempat melarang pihak rekanan mengerjakan proyek tersebut.

Nur Hasan, tokoh masyarakat Desa Sejati, Kec. Camplong, mengancam, selama Pemkab Sampang tidak memperhatikan aspirasi warga setempat, maka semua rekanan tidak diperbolehkan mengerjakan proyek fisik di daerah itu. Karena sesuai dengan komitmen satker sejak awal, lebih memperberdayakan rekanan dan warga setempat. "Sebenarnya warga Camplong tidak bermaksud ingin menghambat pembangunan, tapi hanya menuntut agar program pemberdayaan lebih dikedepankan. Jika memang pemerintah benar-benar ingin menerapkan Keppres No 80, lebih baik dilakukan tender bebas. Bukan bagi-bagi proyek seperti sekarang," protes Nur Hasan, dikonfirmasi Senin (8/10).

Beberapa proyek jalan yang tidak dikerjakan oleh para rekanan, karena dilarang warga setempat, antara lain, proyek jalan kabupaten, Desa Batu Karang-Desa Pamolaan, jalan kabupaten Desa Madupat-Kec. Omben. Proyek jalan poros desa, Tanjung-Sejati dan Camplong-Rabasan serta proyek jalan hot mix di Desa Prajjan. Padahal Surat Perintah Kerja (SPK) sudah turun, serta pihak rekanan telah mendatangkan sejumlah material berupa batu dan pasir, sehingga proyek tersebut terbengkalai

Protes keras juga disampaikan, Ketua Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional Indonesia (Gapeksindo) Sampang, Afifuddin. Dia mengancam akan melaporkan ke Kejaksaan serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika Pth Bupati Sampang, Drs H Chusnul Arifien Damuri, tidak segera melakukan tender ulang proyek fisik 2007 tersebut.

Dia mensinyalir, dalam pelaksanaannya ditemukan banyak penyimpangan dan sarat dengan unsur KKN. Sehingga ia menuding proses tender tersebut sudah jelas menyalahi aturan Keppres no 80/2003, sebagai acuan baku tentang pengadaan barang dan jasa yang telah ditetapkan pemerintah. "Satker sebagai pengambil kebijakan, tidak jelas dalam menentukan kreteria rekanan yang mendapat proyek, sehingga terkesan tidak transparan dan diskriminatif. Bahkan asal main tunjuk tanpa melalui mekanisme dan prosedur Keppres 80, hanya berdasarkan unsur kedekatan serta intimidasi dari pihak lain," ungkap Afifuddin.

Menurutnya, Chusnul harus bersikap tegas dalam menyikapi persoalan tender proyek fisik yang amburadul itu. Karena dia menengarai ada beberapa rekanan yang mendapat proyek, ternyata tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh tim panitia Pembinaan jasa konstruksi. "Jika situasi seperti itu tetap dibiarkan, tentu akan berpengaruh terhadap kualitas proyek fisik yang dikerjakan oleh pihak rekanan. Bahkan saya khawatir dalam pengerjaannya banyak ditemukan proyek tak sesuai bestek, karena tidak tegasnya Satker dalam menentukan tender proyek," katanya

Sementara itu berdasarkan data Panitia Pembinaan Jasa Konstruksi Pemkab Sampang, daftar rekanan terseleksi (DRT) yang memenuhi persyaratan sebanyak 790 rekanan. Tapi dalam praktiknya malah muncul sebanyak 900 rekanan yang mendapat proyek. Ini membuktikan sebanyak 110 rekanan yang tidak lolos dalam proses seleksi, namun dipaksakan mendapat proyek.

Kepala Bagian (Kabag) Pembangunan Sekkab, H Malik Amrullah SH, ketika dikonfirmasi, menyatakan, tim pembina memang telah mengeluarkan daftar rekanan yang masuk berdasarkan persyaratan yang telah terpenuhi sebanyak 790 rekanan. Tapi jika malah berkembang hingga mencapai 900 rekanan, dia mengaku bukan kewenangannya. "Saya tidak ikut membagi proyek fisik, karena itu memang bukan kewenangan saya. Lebih baik Anda tanyakan kepada Satker yang membagi-bagi proyek tersebut kepada para rekanan," kilahnya. (Achmad Hairuddin)

Sumber: Surabaya Post, Senin 08/10/2007