Tolak Penangguhan Tersangka BPRS

Tersangka kasus dugaan korupsi Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Bhakti Sumekar Abdul Sukkur, Mohammad Toha dan Ahmad Masyuni (baru menyerahkan diri Rabu (19/9) sore harus bersabar menghuni penjara Lapas Sumenep.

Masalahnya tim penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim tidak akan menangguhkan penahanan tersangka. Kepastian ini disampaikan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Hartadi SH MH menanggapi pengajuan penahanan yang diajukan kuasa hukum tersangka Abdul Sukkur dan Mohammad Toha, Kamis (20/9). "Wong sudah tahu tidak bakal diterima (penangguhan penahanan) kok ditanya," kata pria asli Jogjakarta.

Hartadi mengaku memiliki alasan yang kuat untuk menolak penangguhan tersebut karena masih diperlukan untuk proses pemeriksaan. Dikhawatirkan dengan penangguhan akan mempersulit jalannya pemeriksaan.

Kuasa hukum terdakwa Tito Supriyanto SH dari Syaiful Ma'arif & Partner saat dikonfirmasi membenarkan adanya penolakan penangguhan penahan itu. Meski begitu Tito mengaku tidak akan pantang semangat untuk terus memperjuangkan hak kliennya. Dia mengaku sudah mengajukan adanya gelar perkara ke Kejati Jatim maupun Kejagung. Namun hingga kini belum mendapatkan jawaban."Gelar perkara ini untuk membuka kasus ini secara jelas. Karena kami menilai belum ada data permulaan yang cukup untuk menjerat klien kami," kata Tito.

Sementara Kejati terus ngebut menyelesaikan berkas perkara ketiga tersangka BPRS. Penyidik Kejati kembali memanggil pejabat Sumenep yakni Kabag Hukum Pemkab Sumenep Abdurrahman SH, Bendahara Proyek Akuisisi dan penyertaan Modal BPRS pada Kantor Pengelolaan Kekayaan Daerah Asmoni serta Staf Bagian Keuangan Pemkab Sumenep Achmad Subaidi.

Menurut ketua tim penyidik Syamsul Arifin SH, pemanggilan saksi ini untuk mengetahui proses akuisisi BPRS serta penguatan modal yang dikucurkan dari APBD Sumenep. Namun secara rinci Syamsul enggan menjelaskan.

Informasi yang diterima Surya, dalam proses akuisisi ini, Pemkab Sumenep menyalurkan anggaran Rp 40 miliar, Rp 500 juta di antaranya untuk proses akuisisi dari PT BPR Dana Merapi Sidoarjo, Rp 14,5 miliar untuk penguatan modal dalam proses akusisi. Sedangkan Rp 25 miliar diberikan ketika BPRS sudah diakuisisi Pemkab Sumenep. "Saat itu Muhammad Toha masih menjadi Kepala Badan Keuangan Pemkab Sumenep belum komisaris. Sehingga tidak benar kalau ini ditarik masalah perbankan," kata penyidik Kejati yang enggan disebutkan namanya, Kamis (20/9). st19/st2

Sumber: Surya, Friday, 21 September 2007

Tim Kejaksaan Tinggi Tangkap Sukur

Komisaris PT BPRS Bhakti Sumekar Sumenep, Moh. Toha, dini hari pukul 03.30, kemarin, mendatangi Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Jalan KH Mansyur. Itu dilakukan Toha setelah rumahnya di Kelurahan Pajagalan, Kecamatan Kota Sumenep, digerebek tim penyidik Kejati Jatim Kamis (13/9), sekitar pukul 18.30. Malam itu tim penyidik akan menahan Toha yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi di BPRS.

Berbeda dengan Toha, Direktur Utama PT BPRS Abdus Sukkur ditangkap tim penyidik pada Kamis (13/9) pada pukul 17.10 di rumahnya di Desa Pangarangan. Lalu, sekitar pukul 21.58 dia dibawa ke Rumah Tahanan (Rutan) Sumenep.

Kemarin, pukul 08.23, Ketua Tim Penyidik Kejati Jatim Samsul Arifin datang ke kejari. Dia langsung menemui Toha yang sedang menunggunya. Bahkan, Samsul sempat duduk dan bincang-bincang bersama Toha.

"Saya katanya mau ditangkap tadi malam (13/9). Tapi, hari ini surat perintah penangkapan saya katanya terbawa ke Surabaya. Saya disuruh menunggu. Saya memang akan di sini (kejari) untuk memenuhi janji kepada jaksa," ujar Toha pada pukul 10.10.

Kedatangan Toha ke kantor kejari ingin menunjukkan komitmennya untuk patuh pada proses hukum yang sedang membelitnya. Infromasinya, Toha akan ditangkap dan langsung ditahan di rutan sebagai tahanan titipan jaksa. Namun, sampai pukul 15.00 Toha masih berada di salah satu ruangan di kejari didampingi tiga penasihat hukumnya dari Albha Law Office Surabaya.

Sebaliknya, Direktur Utama PT BPRS Abdus Sukkur ditangkap tim penyidik pada Kamis (13/9) pada pukul 17.10 di rumahnya di Desa Pangarangan. Sukkur langsung diamankan ke kantor kejari. Lalu, sekitar pukul 21.58, Sukkur dibawa naik mobil kejari ke rutan yang hanya berjarak sekitar 150 meter dari kantor kejari. Mobil yang membawa Sukkur ke rutan dikawal polisi. Sukkur tiba di rutan pada pukul 22.01. Dia langsung masuk ruang tahanan.

Ketua Tim Penyidik Kejati Samsul Arifin hanya mengatakna, pihaknya ditugaskan oleh pimpinannya untuk melaksanakan tugas sesuai surat tugas ke Sumenep. Apa saja? "No comment. Kalau mau wawancara, sebaiknya pada pimpinan di Surabaya. Baik Pak Aspidsus atau langsung Pak Kajati. Mohon maaf, saya tidak bisa banyak bicara sama kawan-kawan wartawan," ujarnya berkali-kali kemarin maupun Kamis (13/9) malam.

Kedatangan Samsul bersama tim penyidik kejati lainnya ke Sumenep, tampaknya, untuk menangkap tiga tersangka kasus BPRS dan satu tersangka kasus dugaan korupsi di kantor energi dan sumber daya mineral (ESDM). Buktinya, malam itu secara bergiliran tim penyidik mendatangi rumah para tersangka. Kali pertama tim penyidik datang ke rumah Sukkur (tersangka BPRS) dan berhasil mengamankannya.

Kemudian, tim penyidik mendatangi rumah Ahmad Masuni (tersangka BPRS) di Desa Kolor, berlanjut ke rumah Moh. Toha (tersangka BPRS), dan Moh. Fadillah (tersangka ESDM) di Kelurahan Bangselok. Namun, tim penyidik tidak berhasil menemukan Masuni, Toha, dan Fadillah di rumahnya.

Lalu dini hari kemarin, pukul 03.30, Toha datang sendiri ke kantor kejari. Sedang Masuni dan Fadillah belum ada kabarnya. (yat)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 15 Sept 2007

Honor Sukwan Perawat Ditilap

Sebanyak 25 tenaga sukarelawan (sukwan) perawat mengeluhkan dengan tindakan Kepala Puskesmas Kec. Pengarengan, Sampang, dr Tri Indah Rahmawati. Pasalnya, mereka merasa dijadikan sapi perahan, karena honor yang merupakan hak mereka selama ini tidak pernah diberikan.

Menurut pengakuan Fariz Bobiericyanto, salah seorang tenaga sukwan Puskemas Pengerangan, mereka tidak pernah menerima honor selama menjalankan tugas ke desa-desa. Namun, anehnya setelah mereka selesai melaksanakan tugas masih diharuskan menandatangani surat perintah jalan (SPJ).

”Meski kita hanya tenaga sukwan, tapi saya merasa kecewa diberlakukan tidak manusiawi. Kenapa setiap selesai menanda tangani SPJ hak kita sebagai pegawai rendahan belum pernah diberikan sama sekali oleh dr Tri Indah. Jadi kita menuntut keadilan kepada Kepala Dinas Kesehatan, dr H Firman Pria Abadi MM,” ungkap Fariz, Senin (17/9).

Dia menambahkan, kepala Puskesmas sering menanyakan soal pasien rawat inap serta biaya yang telah diterima Puskesmas. Padahal, dalam perjanjian antara kepala Puskesmas dengan 25 tenaga sukwan tersebut ada pembagian yang merata.

”Tapi, ironinya selama 2 tahun saya sukwan di Puskesmas ini, saya dan rekan-rekan lain tidak pernah mendapatkan imbalan jasa medis sepeser pun dari kepala Puskesmas. Kita semua benar-benar hanya dijadikan sapi perahan oleh dia,” katanya.

Menanggapi permasalahan itu, Kadis Kesehatan, dr Firman Pria Abadi, menjelaskan, pihaknya akan meneliti akar persoalan itu dari berbagai pihak. Sebab, berdasarkan aturan tenaga sukwan tidak boleh menanda tangani SPJ, kecuali Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sudah mempunyai nomor induk pegawai (NIP).

”Apabila ternyata ada sukwan yang menanda tangani SPJ tersebut, maka pihak bendahara harus mengembalikan uang itu kepada kas daerah (Kasda). Karena mekanisme pengeluaran uang tersebut tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, bahkan dapat dikatakan melanggar hukum,” tegas Firman saat menerima pengaduan 25 tenaga sukwan aula Dinas Kesehatan.

Dia menegaskan, honor tenaga sukwan sebenarnya tidak masuk dalam anggaran APBD. Namun Pemkab berupaya memasukkan honor mereka dalam sistem anggaran yang sesuai dengan aturan dan ketentuan. ”Ya sekadar imbalan dan penghargaan atas kerja mereka, tapi tetap harus melalui proses yang telah ditentukan,“ tandasnya.

Sementara itu dr Tri Indah ketika dikonfirmasikan terkait pengaduan 25 tenaga Sukwan perawat tersebut, ternyata tidak bersedia memberikan komentar. Alasannya, karena semua permasalahan sudah diserahkan kepada Kadis Kesehatan untuk menyelesaikan. (rud)
Sumber: Surabaya Post, Selasa 18/09/2007

Ruilslag Suramadu Bermasalah

Proses tukar guling (ruilslag) tanah proyek jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) di wilayah Kelurahan Tanah Kalikedinding, Kecamatan Kenjeran, Surabaya diduga bermasalah.

Informasi yang diterima Surya menyebutkan bahwa hasil tukar guling tanah tersebut diselewengkan pejabat kelurahan setempat. Tukar guling tanah ini terjadi pada tahun 2004 ketika Pemprov Jatim memulai proyek Suramadu. Proyek ini melewati sebagian Kelurahan Tanah Kalikedinding di antaranya SDN Tanah Kalikedinding I yang luasnya 384 m2.

Karena melewati fasilitas pemerintah, Pemprov Jatim lalu memberikan ganti rugi sebesar Rp 115.200.000 kepada kelurahan setempat. Kompensasi itu diserahkan dari Bendahara Proyek Jembatan Suramadu Adiyono SE kepada Lurah Tanah Kalikedinding Eko Subiyanto di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jl Taman Pusparaya Blok D/10 pada 31 Desember 2004.

Nilai kompensasi itu belum termasuk ganti rugi bangunan SDN. Berdasarkan keputusan rembug desa, uang tersebut akan digunakan untuk pembangunan gorong-gorong, prasarana mushala serta perbaikan makam desa. Namun kenyataannya pembangunan itu tidak direalisasikan hingga kini, dan dana itu tidak jelas larinya.

Saat ini kasus tersebut dalam penyelidikan bagian intelejen Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya. Penyelidikan diarahkan pada larinya uang kompensasi itu serta kompensasi atas bangunan SD.

Karena tanah dan bangunan itu termasuk aset kota dan tercantum dalam daftar aset pemkot di Bagian Perlengkapan Kota Surabaya, maka harus dipertanggungjawabkan. "Tidak menutup kemungkinan penyelidikan akan dikembangkan untuk aset-aset Pemkot lain yang berada di kawasan itu," ujar sumber dari intelijen Kejari Surabaya.

Hasil sementara menunjukkan bahwa dugaan penyimpangan ini mengarah pada pejabat kelurahan setempat. Kasi Intelijen, Dedi I Virantama saat dikonfirmasi tidak membantah hal itu. Namun ketika ditanya identitas calon tersangka, Dedi belum bisa memastikan karena diselidiki. "Nanti kalau sudah kami tetapkan tersangka pasti diumumkan," ujarnya.

Selain pejabat kelurahan, kemungkinan penyimpangan juga terbuka untuk pejabat pemkot lain. Ini terkait dugaan penyimpangan pada proses tukar gulingnya. st19

Sumber: Surya, Wednesday, 22 August 2007

Proyek Fisik Harus Tender Bebas

Ketua LSM KP2-Trans, H Mohammad Hoda’I SH, meminta agar satuan kerja (Satker) di masing-masing dinas di lingkungan Pemkab Sampang, dalam pelaksanaan proyek pembangunan 2007 harus mengacu Keputusan Presiden (Keppres) No. 80/2003 dan perubahannya. Untuk itu dia mengimbau proses tender proyek harus dilaksanakan secara terbuka dan transparan serta diumumkan melalui media massa. "Sebagaimana diatur dalam Keppres 80 pasal 12 bab II, maka semua paket pekerjaan proyek harus diumumkan secara transparan kepada masyarakat luas melalui media massa. Jadi jangan ada lagi pembagian dan pelaksanaan proyek melalui unsur rekayasa dengan memberi jatah kepada pihak rekanan tanpa melalui tender bebas," tegas Hoda’i dihubungi Senin (13/8)

Namun jika pihak Satker tetap melaksanaan proyek seperti tahun kemarin, dia mengancam akan menyiapkan upaya hukum dan akan melaporkan kasus tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengingat dalam surat edaran KPK, B/358/KPK/VI/2006, berdasarkan data laporan masyarakat dan kajian atas kasus-kasus korupsi, ternyata berkisar dalam pengadaan barang/jasa dan penyuapan.

"KPK menekankan supaya dalam pelaksaan pengadaan barang dan jasa, menghindari pertentangan kepentingan (conflict of interest) dari pihak terkait baik langsung maupun tidak langsung. Serta penyalahgunaan wewenang atau kolusi dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain yang dapat merugikan Negara," ujarnya.

Dia sangat menyesalkan, mengingat sampai saat ini proyek pembangunan masih belum dapat laksanakan. Sehingga dia khawatir akan mengalami keterlambatan seperti tahun kemarin dan tentu saja sangat mempengaruhi kualitas fisik proyek tersebut. Karena temuan dilapangan banyak yang tidak sesuai bestek dan kualitasnya amburadul.

"Seharusnya semua Satker lebih professional dalam bekerja dengan memperhatikan aturan Keputusan Menteri Kimpraswil No. 339/KPTS/M/2003 dan Kepmen Kimpraswil No. 257/KPTS/M/2004. Sehingga pihak penyedia barang dan jasa yang keikutsertannya menimbulkan pertentangan kepentingan dilarang menjadi penyedia barang/jasa," tandasnya. (rud)

Sumber: Surabaya Post, Senin 13/08/2007

Usut Pengadaan Mebeler Fiktif

Meski berdasarkan laporan surat kaleng tanpa menunjukkan indentitas pelapor secara jelas, tapi hanya mencatut nama Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sampang, Drs H Mohammad Syahid MM, Kejaksaaan Negeri (Kejari) Sampang, tetap mengusut dugaan tindak pidana pengadaan mebeler fiktif senilai Rp 503,8 juta bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) tahun 2004.

Kasi Intel Kejari, Basuki SH, menyatakan, pihaknya masih mengembangkan kasus dugaan pengadaan mebeler fiktif untuk Sekolah Dasar (SD) tersebut, dengan memeriksa sebanyak 20 kepala sekolah (Kasek) SD yang pernah menerima bantuan pengadaan mebeler itu.

”Untuk membuktikan kebenaran laporan surat kaleng itu, sejauh ini kita masih dalam tahap penyelidikan dengan mengkonfrontir terhadap 20 Kasek yang menerima bantuan pengadaan mebeler tersebut. Karena setelah kita konfirmasi dengan Kadis P dan K, Syahid, ternyata dia mengaku tidak pernah mengirimkan surat ke Kejaksaan. Itu berarti pelapor telah mencatut namanya,” kata Basuki, ditemui Jumat (31/8).

Diakuinya, pihaknya memang belum memeriksa Kadis P dan K, serta rekanan yang melaksanakan proyek pengadaan mebeler tersebut. Disamping itu, pengusutan kasus itu ia cukup kesulitan mencari bukti karena kasusnya telah terjadi 3 tahun silam. Sehingga harus kerja keras untuk mengungkap kebenaran kasus tersebut, apakah memang ada unsur tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan mebeler itu.

”Kita tengah mengumpulkan bukti-bukti di lapangan, serta akan memeriksa sejumlah saksi dalam pengembangan kasus itu. Jadi kita belum dapat menetapkan tersangka, karena masih dalam tahap penyelidikan. Namun jika ditemukan indikasi tindak pidana korupsi, baru ditingkatkan ke tahap penyidikan dengan menetapkan tersangka,” jelasnya.

Dia mengatakan, dalam pengembangan pengusutan kasus itu, Kejari Sampang, akan meminta petunjuk kepada Kejaksaan Tinggi Jatim, guna melakukan pengusutan lebih lanjut. Hal itu sebagai upaya langkah koordinasi dalam setiap penanganan berbagai kasus yang terjadi, apakah dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan. (rud)

Sumber: Surabaya Post, Sabtu 01/09/2007

Sidang Kasus Pengungsi Sampit Didemo

Sidang perdana tindak pidana korupsi penyimpangan bantuan dana pengungsi Sampit yang melibatkan, terdakwa Drs H Mohammad Ruslan MM, Edi Catur Tavip Wibowo SE, dan Drs Zainal Arifin, di Pengadilan Negeri (PN) Sampang, Selasa (11/9), sempat diwarnai aksi unjuk rasa oleh para pengungsi Sampit dan aktivis Lumbung Informasi Rakyat (LIRA).

Namun unjuk rasa itu terpaksa dibubarkan aparat Polres Sampang, karena tidak mengantongi izin dari pihak keamanan. Para pengunjuk rasa itu mengelar poster dan melakukan orasi di depan halaman kantor PN, bernadakan hujatan terhadap pelaku korupsi agar dihukum seberat-beratnya.

Karena tidak mempunyai izin, Kabag Ops Polres Sampang, Kompol Danuri, memerintahkan pengunjuk rasa untuk membubarkan diri, sebab tindakan mereka itu dianggap telah menganggu jalannya persidangan yang akan digelar oleh PN terbuka untuk umum.

"Saya memerintahkan saudara agar membubarkan diri, karena tindakan saudara yang tidak mempunyai ijin telah mengganggu ketertiban umum. Jika saudara ingin menyaksikan jalannya persidangan, silahkan masuk tapi dibatasi hanya 40 orang saja karena tempatnya sangat terbatas," perintah Danuri dihadapan para pengunjuk rasa.

Sementara itu, jalannya persidangan dipimpin Ketua Majelis Hakim, Agus Jumoro SH, masih memasuki tahap pembacaan dakwaan oleh Mohammad Misjoto SH, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Sampang, serta Sukaris SH, JPU Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, yang berlangsung hanya setengah jam.

Namun tiga penasehat hukum terdakwa tidak melakukan esepsi (pembelaan) terhadap dakwaan JPU tersebut, sehingga pada sidang berikutnya akan dilanjutkan dengan menghadirkan sejumlah saksi.

Dalam dakwaannya, JPU menyatakan, terdakwa Edi Catur Tavip Wibowo, sebagai bendahara pengelola dana bantuan pengungsi, dengan sengaja memindahkan aliran dana dari rekening resmi dipindahkan ke rekening pribadinya, dengan sepengetahuan Ruslan, Kepala Kantor Kesejahteraan Sosial (Kesos), sebagai penanggung jawab pengelola bantuan. Sedangkan Zainal Arifin, didakwa karena ikut menandatangani kuitansi dana bantuan, padahal terdakwa tidak boleh menandatangani kuitansi tersebut.

"Akibat aliran dana bantuan yang masuk ke rekening pribadi terdakwa, menghasilkan bunga bank mencapai Rp 900 juta. Masing-masing, masuk kekantong pribadi Ruslan sebanyak Rp 237 juta, Edi Catur menerima aliran dana bunga bank Rp 40 juta, dan Zainal Rp 20 juta. Sehingga negara dirugikan sebesar Rp 297 juta," kata Sukaris. (rud)

Sumber: Surabaya Post, Rabu 12/09/2007

Pemimpin Proyek Auditorium Mangkir

Beralasan Sibuk Urus Akademik

Upaya mengungkap dugaan penyimpangan proyek pembangunan auditorium STAIN oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Pamekasan kembali terkendala. Selain konsultan perencana yang pernah mangkir, pimpinan proyek (pimpro) pembangunan auditorium STAIN, Waqiatul Masrurah, juga mangkir dari panggilan tim penyelidik kejari.

Seharusnya Waqiatul Masrurah menghadap tim penyelidik Jumat (25/8) lalu. Namun, perempuan yang kini menjabat PK (pembantu ketua) I STAIN itu tidak memenuhi panggilan. Kepada tim penyelidik dia hanya mengirimkan surat berisi alasan ketidakhadirannya di kejari.

Berdasarkan informasi yang dihimpun koran ini di kejari, alasan ketidakhadiran Waqiatul Masrurah tidak disampaikan secara spesifik. Dalam surat yang ditandatanganinya, dia hanya berhalangan hadir karena adanya keperluan yang tidak bisa ditinggalkan.

Kepala Kejari Pamekasan Yusran Lubis SH melalui Kasi Intel Badruttamam membenarkan ketidakhadiran pimpro pembangunan auditorium STAIN tersebut. Itu didasarkan pada surat tanpa kop diterima kejari yang ditandatangani oleh Waqiatul Masrurah. "Hari Jumat memang seharusnya (pimpro) menghadap untuk dimintai keterangan. Ternyata berhalangan dengan cara berkirim surat," jelas Badruttamam.

Sebelumnya, surat pemanggilan untuk Waqiatul Masrurah telah dilayangkan oleh tim penyelidik kejari. Surat pemanggilan tersebut diterima sendiri Waqiatul Masrurah pada 20 Agustus lalu. "Surat diantar oleh kurir dari internal kejari," katanya.

Menurut Badruttamam, ketidakhadiran Waqiatul Masrurah menjadi kendala tersendiri bagi proses penyelidikan. Sebab, ada banyak proses yang semestinya tuntas menjadi terkendala. "Kalau ditanya kecewa atau tidak, kita sangat kecewa. Semestinya menghadiri pemanggilan sebagai upaya mendukung tegaknya supremasi hukum," tegas Badruttamam dengan nada tinggi.

Meski begitu, tim penyelidik kejari tidak patah arang. Dalam waktu dekat, tim penyelidik kejari berencana memanggil kembali Waqiatul Masrurah. "Mau tidak mau kita panggil kembali. Sebab, kita memerlukan keterangan pimpro," pungkasnya.

Kasus dugaan penyimpangan proyek pembangunan auditorium STAIN berawal dari pernyataan sikap mahasiswa yang diungkap dalam sebuah aksi unjuk rasa. Saat itu, mereka menuntut adanya transparansi penggunaaan dana pembangunan gedung auditorium. Sebab, diduga pembangunan auditorium penuh dengan rekayasa dan mark up anggaran. Indikasinya, terlihat dari kondisi fisik bangunan yang diduga tidak sesuai pengeluaran dana sebesar Rp 1,8 miliar. Banyak kejanggalan dan kekurangan dalam pembangunan auditorium. Misalnya, retaknya fondasi dan tembok belakang yang mengalami beberapa kali perbaikan.

Kasus tersebut lalu ditangani tim penyelidik kejari. Beberapa pihak langsung dimintai keterangan. Itu dilakukan guna mengungkap kebenaran mengenai adanya penyimpangan atau tidak dalam proyek pembangunan auditorium STAIN.

Dihubungi terpisah, Waqiatul Masrurah mengatakan, ketidakhadirannya di kejari karena di ada kesibukan. Terutama kesibukan mengurus akademik di STAIN. "Ada banyak tugas yang mesti diselesaikan. Sebab, permulaan tahun ajaran baru sudah dalam waktu dekat. Ada beberapa surat yang harus dikirim dan sebagainya," ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat kemarin.

Waqiatul Masrurah membenarkan, pihaknya memberitahukan ketidakhadiran ke kejari melalui surat. "Suratnya saya antar sendiri ke kajari. Kalau tidak salah diterima oleh staf yang ada di depan," katanya. "Lain kali kalau memang ada panggilan lagi, kita upayakan datang. Namun, dengan catatan tidak ada halangan. Sebagai warga negara kita pasti taat hukum," katanya. (zid)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 26 Agt 2007

Yayasan Tanah Leluhur Somasi Pemerintah Provinsi

Sumenep, Jawa Pos -Yayasan Tanah Leluhur (YTL) tidak puas atas kinerja Pemprov Jatim dalam menindaklanjuti kesimpulan rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR RI pada 27 Septeber 2006 lalu. Sehingga, YTL dalam waktu dekat akan mengajukan somasi pada Pemprov Jatim sebagai bentuk protes. "Kita sangat kecewa. Pemprov Jatim tidak becus dalam mengawal hasil kesimpulan RDP," ujar Ketua YTL Masrawi kemarin.

Untuk mengingatkan, pada 27 September 2006 lalu, Komisi II DPR RI mempertemukan petani garam dengan PT Garam dalam sebuah rapat dengar pendapat (RDP). Nah, hasil dari RDP itu menyimpulkan sejumlah poin penting sebagai upaya penyelesaian masalah pegaraman di Madura. Antara lain: Komisi II mendorong terwujudnya skema kerjasama yang sinergi dan saling menguntungkan antara petani garam dengan PT Garam.

Kemudian, petani garam dilibatkan atau diberikan hak garap sebagai penggarap lahan pegaraman dengan memproduksi garam. Sedang PT Garam sebagai pemilik lahan memberikan bimbingan teknis terhadap kualitas dan kuantitas produksi garam nasional. Nah, untuk mewujudkan kerjasama itu, Komisi II DPR RI meminta Pemprov Jatim bersama Pemkab Sumenep; Pemekasan; dan Sampang memfasilitasi pelaksanaan musyawarah.

Skema kerjasama yang sinergi dan saling menguntungkan itu selambat-lambatnya sudah terbentuk pada 31 Maret 2007 lalu. Namun, realitasnya ternyata tidak sesuai dengan kesimpulan RDP. "Kita cukup sabar menunggu keluarnya skema kerjasama itu. Ternyata, sampai hari ini (kemarin, Red), Pemprov Jatim sebagai fasilitator pelaksanaan musyawarah belum berhasil merealisasikan kesimpulan RDP," terang Masrawi melalui saluran telepon.

Masrawi meminta Pemprov Jatim fokus pada poin-poin rekomendasi RDP. Dalihnya, dalam perkembangannya, musyawarah yang difasilitasi Bakorwil IV Madura sebagai kepanjangan tangan Pemprov Jatim mengerucut pada bagi-bagi lahan pegaraman. "Kesimpulan RDP tidak mengamanatkan PT Garam bagi-bagi lahan pegaramannya. Musyawarah itu untuk melahirkan skema kerjasama petani garam dengan PT Garam," urainya.

Musyawarah yang telah digelar beberapa kali dengan fasilitator Bakorwil IV Madura, lanjut Masrawi, sama saja dengan melecehkan kesimpulan RDP. Materi musyawarah yang hanya berkutat pada pembagian lahan pegaraman yang akan diberikan pada YTL maupun petani garam di Pamekasan dan Sampang sudah tidak sesuai dengan roh kesimpulan RSD. "Kita menolak hasil musyawarah itu (bagi-bagi luas lahan pegaraman, Red)," imbuhnya.

Masrawi mengungkapkan, Pemprov Jatim punya "saham" kesalahan atas munculnya pembahasan bagi-bagi luas lahan pegaraman bagi petani garam dalam forum musyawarah. "Ini yang sangat kita sayangkan. Pemprov Jatim sebaiknya membaca lagi poin-poin kesimpulan RDP. Apalagi, sampai hari ini (kemarin, Red), musyawarah belum menghasilkan apa-apa untuk merumuskan kesimpulan RDP," katanya menyesalkan. (yat)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 06 Sept 2007