Kridha Rakyat, Koran Lokal Gratis

Di luar negeri, koran dan tabloid gratis sudah banyak jumlahnya. Di London, Inggris, misalnya, malah punya sampai 3 koran gratis, London Lite, The London Paper, dan Metro. Kini, koran gratis hadir pula di Jatim. Bukan di Surabaya, tapi di Madiun. Namanya ‘Kridha Rakyat’. Setelah terbit berkala sejak 4 tahun lalu, mulai bulan depan koran gratis ini siap terbit harian. Bagaimana kiatnya?

Pagi itu, Minggu (3/12), belasan anak muda laki-laki dan perempuan nongkrong di teras rumah di ujung sebuah gang kecil. Wajah mereka tampak sedikit santai. Padahal beberapa waktu sebelumnya, rumah di tengah pemukiman padat penghuni Dusun Sunjangan, Desa Kebonagung, Kecamatan Balerejo, Kabupaten Madiun itu tampak “tegang.” Ya, anak-anak muda itu baru saja lepas dari deadline.

Ha, deadline?

Jangan kaget. Anak-anak muda itu memang awak redaksi ‘Kridha Rakyat’, koran lokal gratis pertama di Jatim.

Koran ini bermula sejak 23 Oktober 2002 lalu. Saat itu, koran yang diterbitkan Atmaja Santo SPd lebih merupakan koran tempel. Selembar kertas dobel folio, dibuat menjadi 4 halaman dan dijejali berbagai informasi. Kertas itu kemudian difotokopi menjadi 100 lembar menghabiskan dana Rp 50 ribu.

“Waktu itu kebetulan ada kegiatan BST (bakti sosial terpadu). Koran itu saya bagikan kepada para pejabat dan masyarakat yang hadir,” kata Atmaja.

Rupanya, nasib sedang mujur. Ada seorang pejabat di Dinas Pendidikan yang mengganti seluruh biaya fotokopi itu. Sehingga dalam hitungannya, ia bermodalkan nol rupiah dalam penerbitan perdana itu. Ayah seorang anak itu kemudian menjadi begitu bersemangat melanjutkan perjuangannya. Selama seminggu, dia keliling mencari informasi, kemudian diketik, di-lay out dan dicetak sendiri dengan printer miliknya.

Tak saja mencari berita, dia juga mulai mencari iklan untuk membiaya penerbitannya. Selama hampir setahun, ia bekerja sendiri seperti itu. Bahkan ketika koran tempelnya sudah berubah menjadi tabloid, ia harus pergi sendiri ke percetakan (waktu itu di Kediri, kini di Nganjuk). Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia keliling ke kantor-kantor untuk mengedarkan tabloidnya.

Harian

Untuk ukuran koran yang terbit di daerah, ‘Kridha Rakyat’ tergolong berkembang pesat. Untuk menjadi tabloid 24 halaman berwarna dengan tiras 2.500 eksemplar hanya butuh waktu 4 tahun. Yang mengejutkan lagi, tabloid mingguan itu awal Januari 2007 akan terbit menjadi koran harian pertama di Madiun.

“Menurut rencana, kami akan cetak 5 ribu eksemplar, juga akan dibagi gratis,” cetus Atmaja. Koran itu rencananya akan diedarkan di wilayah edar yang selama ini telah dibangun, yakni di wilayah eks Karesidenan Madiun (Kota/Kab. Madiun, Ponorogo, Pacitan, Magetan dan Ngawi). Dia yakin, dengan 55 wartawan, ‘Kridha Rakyat’ yang sejak sekitar 3 bulan lalu telah menjadi format koran 8 halaman 7 kolom akan mampu terbit setiap hari.

Untuk hidup, koran bermoto”koran masyarakat desa dan kota pinggiran” ini mengandalkan dari iklan. Iklan display saja rata-rata menyita lebih 50% dari keseluruhan halaman. Padahal, sebagian besar berita termuat juga “berita yang menghasilkan duit” (jenis iklan pariwara, Red.).

“Nara sumber juga harus dimanjakan. Maka, mereka mau saja membayar jasa publikasi,” kata Atmaja, membagi kiat. Koran ini mengharuskan seluruh wartawannya mencari iklan dan berita pariwara untuk membiayai ongkos cetak dan menghidupi seluruh karyawannya. Mengharap idealisme utuh dari terbitan ini jelas tidak mungkin. Namun paling tidak, mereka cukup jujur dalam menjalankan aktivitasnya. Masing-masing jenis berita pariwara langsung disodorkan berikut “harganya” pada pihak-pihak yang diprospek. Bila mereka setuju, maka muncullah beritanya. Mayoritas memang masih seputar kunjungan pejabat, acara gunting pita dan sejenisnya.

Namun dengan cara ini, mereka bisa menghidupi korannya hingga bisa terbit gratis. Juga, bisa menjadi sandaran bagi wartawannya untuk hidup layak. Lihat saja, tak ada motor butut diparkir di depan kantor redaksinya. Semuanya masih gres.

Hingga saat ini, Atmaja memang tak peduli apakah koran itu nantinya bisa berubah menjadi lebih idealis atau tidak. “Saya dulu menerbitkan ‘Kridha Rakyat’ agar bisa menghidupi keluarga, dan nyatanya keinginan itu bisa tercapai. Kami bisa hidup dari koran ini,” ungkapnya. Bukan hanya itu, dia yang empat tahun lalu naik sepeda motor butut, kini telah bermobil.

Rumah Atmaja yang sekaligus menjadi kantor redaksi, kini dijejali 12 unit komputer. Rumah itu nyaris tak pernah sepi dari kegiatan. Bukan hanya kru ‘Kridha Rakyat’, tapi juga mereka yang ingin beriklan atau mengekspos aktivitasnya dengan datang sendiri ke redaksi. (Siswowidodo)

Sumber: Surabaya Post