Sumenep Bertekat Merebut Ladang Migas

Berjuang Melalui Judicial Review

Sejumlah Blok Migas yang berada di perairan Kepulauan Sumenep masih jadi rebutan Pemprov Jatim dengan Kabupaten Sumenep. Pemkab Sumenep saat ini masih berupaya supaya kawasan perairan itu masuk wilayahnya dengan mengajukan judicial review (uji materiil) ke Mahkamah Agung (MA) Permendagri No 8/2007 tentang Provinsi Jawa Timur sebagai Daerah Penghasil Sumber Daya Alam Sektor Minyak Bumi dan Gas Bumi.

Pengajuan judicial review setebal 15 halaman yang telah disampaikan langsung Ketua DPRD Sumenep, Drs KH Abuya Busyro Karim M Si, serta Wakil Ketua DPRD, Drs KH Warist Ilyas dan KH Wakir Abdullah, ke Jakarta pada 22 Agustus 2007 lalu. Masalah itu telah mendapatkan perhatian Mahkamah Agung (MA) untuk dilakukan gelar perkara, dan nomer register sidang sudah di tangan DPRD Sumenep untuk menunggu masa sidangnya.

Dalam pengajuan judicial review, Pemkab Sumenep melalui DPRD menilai hadirnya Permendagri No 8/2007 sangat bertentangan dengan aturan di atasnya. Semisal Undang-undang No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai penjabaran Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (1) bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk sumber daya di wilayah laut tersebut. "Dalam konsep kewilayahan suatu daerah bukan hanya wilayah daratan tapi juga laut. Karena itu sesuai UU itu daerah dimaksud punya wewenang untuk mengelola sumber daya lautnya," tandas Abuya Busyro Karim kepada Surya.

Ditambahkan, pasal 18 ayat (1) juga diperkuat dengan pasal (4) yang menjelaskan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut merupakan kaitan dengan ayat (3) yakni paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. "Pengaturan wilayah laut seharusnya berpegang pada prinsip negara kepulauan sebagaimana yang digariskan dalam Undang Undang No 6/1996 tentang perairan Indonesia, khususnya pasal 1 ayat (3) dan pasal 5 ayat (7)," terangnya.

Perbedaan yang mencolok antara Permendagri No 8/2007 dengan Undang Undang No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang mengatur dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi sebesar 15 persen. Bagi hasil sebesar 15 persen itu dibagi 3 persen untuk provinsi, 6 persen untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 6 persen untuk kabupaten/kota lainnya di provinsi yang bersangkutan.

Sedangkan dana bagi hasil dari pertambangan gas bumi sebesar 30 persen, dibagi 6 persen untuk provinsi, 12 persen untuk kabupaten/kota daerah penghasil dan 12 persen untuk kabupaten/kota lainnya di provinsi yang bersangkutan. "Jadi ini sudah jelas dan tidak selayaknya kemudian Permendagri itu berseberangan dengan UU yang mengatur di atasnya," tegas  Buysro.

Ketidak sinkronan Permendagri No 8/2007 juga terjadi dengan peraturan yang lain. Seperti PP No 55/2005 tentang dana perimbangan menyatakan bahwa dana bagi hasil pertambangan umum sebesar 80 persen yang berasal dari wilayah kabupaten/kota dibagi dengan rincian, 16 persen untuk provinsi yang bersangkutan, dan 64 persen untuk kabupaten/kota penghasil. "Karena itu UU No 33/2004 dan PP 55/2005 itu yang dimaksud dengan daerah penghasil adalah daerah kabupaten/kota dan bukan provinsi," tegasnya.

Sayangnya, Permendagri No 8/2007 menetapkan, bahwa Provinsi Jawa Timur sebagai daerah penghasil sumber daya alam di sektor minyak bumi dan gas bumi di wilayah kerja Madura Offshore PSC (Santos) atau Blok Maleo sebanyak 5 sumur dan wilayah kerja Kangean yang sekarang sudah dilakukan Kangean Energy Indonesia (KEI).

Yang dikhawatirkan masyarakat Sumenep, jika Permendagri No 8/2007 nanti lolos, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan social shock bagi masyarakat Sumenep. Apalagi wilayah itu selama ini tinggi perolehan dana alokasi umum (DAU), maka akan berkurang jika Permendagri itu telah diterapkan. Dana bagi hasil, participating interest (PI), pajak bumi dan bangunan (PBB), dana community development (comdev) dan lain-lain akan hilang dari daftar PAD Kabupaten Sumenep.

Ketua Komisi B DPRD Sumenep, KH Unais Ali Hisyam menyebutkan, dengan dibentuknya Kelompok Kerja (Pokja) Blok Maleo, maka arah untuk merebut kembali Blok Santos dan Blok Kangean kembali masuk Kabupaten Sumenep dilakukan sesuai aturan hukum.

Pokja DPRD Sumenep menilai, berdasarkan Permendagri No 18 Tahun 2005 tentang Kode dan Data Administrasi Pemerintahan, tentang luas wilayah administrasi Kabupaten Sumenep, bahwa Kabupaten Sumenep memiliki 27 kecamatan, yakni 18 kecamatan daratan dan 9 kecamatan kepulauan dengan total 328 desa, terdiri dari 242 desa di daratan, 86 desa di kepulauan dan jumlah pulau 126 pulau.

Berdasarkan ketentuan tersebut di wilayah kerja offshore PSC (Santos) yang terdiri dari 5 sumur Maleo dan wilayah kerja Kangean PSC (EMP Kangean sekarang menjadi Kangean Energy Indonesia/KEI) yang terdiri dari 2 sumur masuk wilayah Kabupaten Sumenep.

Beberapa langkah yang disepakati Komisi B dan mendapat respons dari pimpinan dewan, di antaranya, pimpinan DPRD Kabupaten Sumenep tidak memberikan rekomendasi pengelolaan PI Blok Maleo kepada Petrogas Wira Jatim (PWJ). Dengan pertimbangan, apabila memberikan rekomendasi kepada PWJ untuk mengelola PI Blok Maleo, sama artinya menyetujui Blok Maleo masuk dalam wilayah provinsi.

Dikatakan, hasil pertemuan antara Pokja Maleo ke BP Migas dan PT Santos di Jakarta pada 20 Juli 2007 lalu menghasilkan penanda tanganan kerja sama pengelolaan PI Blok Maleo belum dilakukan dengan pihak manapun. Pihak BP Migas diminta menghentikan sementara proses penawaran PI Blok Maleo sampai ada keputusan dari judicial review yang mempunyai kekuatan hukum tetap. "Pada waktu itu disetujui bahwa BP Migas akan menghentikan sementara proses lebih lanjut tentang pengelolaan PI Blok Maleo," tegasnya.

Ubah Jadi Kabupaten Kepulauan Sumenep

Jika pengajuan judicial review mentok, DPRD dan Pemkab Sumenep telah mempersiapkan jurus lain, untuk menyelamatkan aset daerah, utamanya di sektor migas. Salah satunya dengan mengubah status Kabupaten Sumenep menjadi Kabupaten Kepulauan Sumenep.

Gagasan ini muncul dari DPRD Sumenep, usai Komisi B melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Riau. Ketua Komisi B, Unais Ali Hisyam mengatakan, langkah perubahan nama dari kabupaten ke kabupaten kepulauan itu dirasa sangat tepat.

Mengingat Sumenep saat ini memang terdiri dari ratusan pulau-pulau yang tersebar hingga ke sekitar perairan Pulau Bali. "Dalam UU No 12 tahun 1950 tentang pembentukan Kabupaten Sumenep ternyata tidak jelas batas wilayahnya. Karena itu untuk mengajukan perubahan sangat gampang, tinggal mengusulkan revisi Undang-undang itu," tandas Unais.

Dikatakan, usulan untuk menjadi Kabupaten Kepulauan Sumenep itu dirasa tidak sulit, karena memang kenyataannya demikian. Bahwa Sumenep memang terdiri dari pulau-pulau sehingga sangat tepat jika diubah menjadi Kabupaten Kepulauan Sumenep sebagaimana terjadi di Kepulauan Riau.

Rencana Komisi B DPRD Sumenep untuk mempersiapkan perubahan nama kabupaten ke kabupaten kepulauan juga mendapat respons Bupati Sumenep, KH Moh Ramdlan Siraj SE MM. Bupati menyambut baik langkah itu jika proses pengajuan judicial review Permendagri No 8/2007 gagal.

Menurut Ramdlan Siraj, secara geografis Kabupaten Sumenep memang terdiri dari banyak pulau. Hanya saja dalam UU No 12 tahun 1950 itu tidak secara tegas menyebut Sumenep sebagai kabupaten kepulauan, sehingga kemudian dalam Permendagri batas wilayahnya dibentuk blok-blok sehingga batas laut Sumenep jadi tidak jelas. "Jika itu yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan aset Sumenep, bagaimanapun harus kita lakukan. Kita akan lihat perkembangannya seperti apa nanti," ujar Ramdlan.

Meski begitu, bupati akan bersikap hati-hati dalam menentukan langkah perubahan nama. Jika tanpa diubah ternyata Sumenep masih tetap mempertahankan batas wilayahnya, dan beberapa blok migas masih tetap menjadi bagian Sumenep, keinginan itu tidak harus dilakukan.st2

Kami Menunggu Sidang

Ketua DPRD Sumenep Drs KH Abuya Busyro Karim MSi mengungkap, sebelum mengajukan judicial review telah koordinasi dan konsultasi dengan anggota DPR-RI dari Dapil Madura untuk mendapatkan dukungan politis.

Materi judicial review juga telah disampaikan presentasi yang dilakukan Pokja Blok Maleo dan Kepala Bappeda unsur dari Pemkab Sumenep. Pimpinan DPRD kemudian menandatangani Permohonan Hak Uji Material terhadap Permendagri Nomor 8 Tahun 2007 tentang Provinsi Jawa Timur Sebagai Daerah Penghasil Sumber Daya Alam Sektor Minyak Bumi dan Gas Bumi.

Selanjutnya tanggal 22 Agustus 2007 materi judicial review disampaikan ke MA di Jakarta. "Kita mengajukan permohonan menguji Permendagri No 8 / 2007 khususnya Pasal 1, Pasal 2 huruf b dan huruf e, serta Pasal 3 ayat (2) dan ayat (5)," jelasnya.

Dikatakan, pengajuan judicial review itu juga tidak terlambat karena Permendagri baru ditetapkan 26 Pebruari 2007 serta masih dalam tenggang waktu 180 hari. "Kita telah mengandeng Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Bangkalan untuk mendampingi saat gelar revisi Permendagri serta beberapa praktisi hukum," tambah Busyro.

Permohonan judicial review diterima oleh M Yulie B Setyaningsih, SH, Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Mahkamah Agung Republik Indonesia dan dinyatakan telah memenuhi syarat. "Kami sedang menunggu sidang. Doakan ini sukses," tegasnya.

Sesuai UU No 32/2004

Wakil Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Jatim, Dra Hj Tutut Herawati MM, dalam siaran persnya melalui situs resmi Pemprov Jatim menyampaikan, pengaturan batas wilayah dilakukan sesuai UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Selain itu, juga memperhatikan masalah penentuan titik koordinat dari operator yang dilaporkan ke BP Migas dan Dirjen Migas Departemen ESDM, sebagai pengawas kegiatan usaha hulu migas di Indonesia.

Dikatakan, data mengenai titik koordinat lokasi sumur pemboran dari operator ini juga diserahkan ke Bakosurtanal dan Hidros Oceanografi TNI AL, untuk mem-plotting-kan posisi di tengah laut. Untuk batas wilayah provinsi penghasil migas juga diatur Dirjen PUM Depdagri dengan Permendagri No 1/2006. "Pembahasan mengenai batas wilayah dan bagi hasil migas di Jatim ini telah melalui rapat bersama sejak akhir 2006 di Jakarta dan Surabaya yang dikoordinasikan Dirjen BAKD Depdagri," papar Tutut.

Peserta rapat adalah Dirjen PUM Depdagri, BP Migas, Dirjen Migas Departemen ESDM, Bakosurtanal, Hidros-Oceanografi TNI AL, Dinas ESDM Jatim, Bapedalda Jatim, Bappeprov Jatim, Biro Perekonomian dan Biro Hukum Setdaprop Jatim, Dipenda Jatim dan pemkab/pemkot daerah penghasil migas.

"Dalam rapat itu dijelaskan semua aturan dan penghitungan titik koordinat secara komputerisasi. Semua instansi daerah penghasil migas diberikan kesempatan untuk bertanya waktu itu dan dijadikan berita acara yang ditanda tangani semua peserta," jelasnya.

Menanggapi surat protes dari Bupati Sumenep yang dikirimkan ke Mendagri agar meninjau kembali batas wilayah dan bagi hasil sumur migas, Tutut menjelaskan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Pemkab Sumenep. Dinas ESDM Jatim memberikan surat pengantar karena mendapat tembusan dari Bupati Sumenep kepada Dirjen BAKD untuk ditindaklanjuti. "Setelah dirapatkan, muncul surat jawaban dari Dirjen BAKD bahwa Permendagri 1/2006 tidak bisa diubah," tegasnya.

Sementara Badan Pengawas (BP) Migas melalui Kepala Divisi Humas BP Migas, Amir Hamzah, mengatakan, batas wilayah pengeboran minyak lepas pantai (offshore) dari garis pantai 0-4 mil berada dalam pengelolaan pemkab/pemkot. Untuk jarak 4-12 mil berada dalam wilayah pemprov dan di atas 12 mil merupakan kewenangan pemerintah pusat untuk mengelolanya. "Tapi itu semua merupakan keputusan Depdagri. Sedangkan BP Migas hanya mencari cadangan sumur migas baru dan memproduksinya. Masalah bagi hasil migas adalah kewenangan Depdagri dan Departemen Keuangan," katanya. (st2)
Sumber: Surya, Friday, 26 October 2007