Jembatan Madura atau Manusia Madura?


oleh : Zuhairi Misrawi


Akhirnya, Jembatan Suramadu rampung. Sebagai warga madura yang merantau dan menetap di Jakarta, menyambut jembatan tersebut dengan gegap-gempita. Setidaknya problem transportasi yang kerapkali dihadapi selama pulang kampung sudah terselesaikan.


Sejumlah tokoh nasional yang pernah datang ke Madura menceritakan tentang indahnya Madura. Tapi semua itu ternodai oleh lamanya perjalanan dari Surabaya ke Madura, karena antri penyeberangan yang kerapkali menyita waktu cukup lama.


Tentu, Jembaatan Suramadu akan menjadi magnet bagi setiap orang Madura untuk sesering mungkin pulang kampung. Setidaknya penulis. Begitu pula, magnet bagi orang-orang non-Madura yang tertarik untuk mengunjungi pulau yang dikenal sebagai kota santri.


Hanya saja, di tengah kegembiraan di atas selalu muncul kekhawatiran, bahkan kekecewaan. Sebab, pembangunan Jembatan Suramadu tidak disertai dengan pembangunan sumber daya manusia dan pemberdayaan ekonomi yang memadai. Proyek yang konon mencapai 4 Triliun itu hanya memudahkan mereka yang hendak masuk dan keluar dari Madura. Tapi, soal bagaimana pembangunan manusia Madura, wallahu a’lam.


Penulis berandai-andai, apa tidak lebih penting, kita bangun dulu “manusia”, lalu kemudian kita bangun “jembatan”. Sebab dengan modal 4 Triliun, maka akan menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pertanian, membantu para nelayan, membuat learning center, perpustakaan, laboratorium, teknologi informasi, pelayanan kesehatan dan lain-lain.


Tapi, pemerintah daerah yang disokong penuh oleh pemerintah pusat telah memilih membangun jembatan terlebih dahulu. Pengandaian tersebut sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Realitasnya, pada tanggal 10 Juni nanti, Presiden SBY dijadualkan akan meresmikan jembatan terpanjang di Tanah Air itu.


Meskipun demikian, pemikiran perihal pentingnya memajukan kualitas manusia Madura tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebab, faktanya kita kedodoran dalam masalah ini. Madura mengalami krisis sumber daya manusia yang sangat luar biasa. Krisis tersebut semakin menjadi-jadi, karena mereka yang berprestasi dan berpendidikan tinggi tidak mau membangun daerahnya. Mereka justru memilih untuk merantau ke kota-kota besar, bahkan ke luar negeri.


Dari sekian negara-negara maju yang pernah penulis kunjungi sebenarnya selalu ada orang Madura yang berkiprah dalam berbagai bidang. Ketika penulis berkunjung ke New York, ternyata penulis bertemu dengan seorang profesor asli Bangkalan. Di Washington DC, kami bertemu dengan keluarga asal Pamekasan yang bekerja pada sebuah perusahaan elektronik.


Ironisnya, jika pulang ke Madura, seolah-olah sulit sekali mencari orang-orang yang berprestasi. Setiap kali penulis pulang kampung, yang ada hanya keluhan. Dari soal hasil pertanian yang makin minim, harga jual yang murah, penyebaran penyakit dan mahalnya pelayanan kesehatan.


Fakta tersebut menunjukkan, sumber daya manusia warga Madura sebenarnya tidak kalah daripada daerah lain. Tapi masalahnya, sumber daya manusia tidak dikembangkan secara merata dan konsisten. Mereka yang memberanikan diri untuk merantau dan melanjutkan pendidikan ke jenjang tinggi di luar Madura, yang justru memberikan harapan bagi masa depan mereka.


Dalam hal ini, harus diakui, kualitas pendidikan perlu ditingkatkan untuk memacu persaingan dalam berbagai sektor kehidupan. Apalagi lembaga pendidikan pada umumnya adalah pesantren. Tidak ada yang salah dari pendidikan pesantren. Sebab pesantren telah berhasil mencetak kader-kader umat yang berkualitas.


Tapi masalahnya, pesantren hanya berhasil melahirkan “ulama kitab”, bukan “ulama rakyat”. Ulama kitab adalah sebutan bagi mereka yang mahir dalam memahami kitab-kitab kuning, tapi kurang mampu dalam memahami masalah-masalah kerakyatan. Sedangkan “ulama rakyat” adalah mereka yang mampu memecahkan masalah duniawi dan ukhrawi sekaligus.


Maka dari itu, pemerintah daerah dan pemerintah pusat harus membekali pesantren dengan skill (baca: keahlian) yang berhubungan langsung dengan kebutuhan warga. Pada umumnya warga Madura adalah petani dan nelayan. Dua sektor ini, secara umum hampir tidak mendapatkan sentuhan pemikiran perihal pengembangan dan pencarian alternatif teknologi yang mampu meningkatkan penghasilan warga. Belum lagi, yang berkaitan dengan pengelolaan manajemen, yang sudah hampir bisa dipastikan sangat kedodoran.


Ada satu contoh yang sudah berhasil dalam masalah ini, yaitu pesantren “pertanian” al-Ittifaq di Ciwedei, Bandung, Jawa Barat. Pesantren yang seperti ini perlu dikembangkan di Madura. Di pagi hari mereka masuk kelas, sebagaimana pesantren pada umumnya. Tapi, sore hari mereka berada di ladang untuk mengurus pertanian sayuran, peternakan dan lain-lain. Sebagian di antara mereka juga ada yang mengurusi manajemen. Walhasil, pesantren ini sekarang menjadi pemasok sayuran ke Alfamart dan hotel-hotel di Jakarta.


Di samping itu, pada tataran warga, perlu pemberdayaan ekonomi untuk warga miskin. Warga Madura pada hakikatnya adalah para pekerja keras, ulet, mandiri dan tidak pernah menyerah. Tapi masalahnya, hampir tidak ada upaya serius untuk memberikan penyuluhan perihal terobosan-terobosan dan alternatif dalam pemberdayaan ekonomi.


Suatu malam, penulis diajak kawan untuk makan malam di Taman Bunga, Sumenep. Betapa gembiranya penulis, ketika melihat suasana malam yang ramai dan gegap gempita. Namun, tiba saatnya penulis sedih tiada kepalang, karena ternyata mereka yang berjualan seafood adalah bukan orang Madura. Bukankah masih banyak orang Madura yang tidak punya pekerjaan? Apakah orang-orang Madura sudah malas? Apakah pemerintah daerah tidak memerhatikan masalah ini?


Fakta ini menjadi salah satu kekhawatiran terbesar penulis. Jangan-jangan apa yang terjadi di Taman Bunga, Sumenep, akan makin massif pasca-jembatan Suramadu. Di mana, orang-orang Madura hanya menjadi penonton dan konsumen. Banyak orang luar Madura yang menjadi pekerjaan di Madura, tetapi hasilnya mereka bawa ke luar Madura.


Maka dari itu, pemberdayaan ekonomi mutlak diperlukan. Pemerintah daerah dan kelompok masyarakat sipil harus mampu memetakan potensi-potensi lokal, yang dapat dijadikan sebagai sumber ekonomi. Pertanian, nelayan, peternakan, batik dan home industry merupakan sumber ekonomi andalan warga Madura.


Mereka secara turun-temurun sudah ditakdirkan untuk mengelola warisan dari nenek moyangnya. Masalahnya adalah pengembangan skill yang hampir tidak tidak tersentuh. Di samping susahnya mencari modal lunak, yang tidak memberatkan warga.


Nah, semua hal di atas harus menjadi perhatian pemerintah daerah dan kalangan masyarakat sipil. Tugas pemerintah daerah adalah menyediakan kebijakan pro-rakyat dan anggaran yang memadai. Sedangkan tugas kalangan masyarakat sipil, khususnya kalangan pesantren adalah mengutamakan pembangunan sumber daya manusia, yang sesuai dengan konteks warga Madura. Setidaknya tadi itu, perlu ulama-ulama rakyat, yang tidak hanya mengerti kitab, tapi juga mengerti masalah primer warganya.


Jika semua itu dilakukan dengan baik, maka jembatan Suramadu adalah jembatan untuk kemajuan, bukan jembatan kejatuhan warga Madura.