Sidang Kasus Pengungsi Sampit Didemo

Sidang perdana tindak pidana korupsi penyimpangan bantuan dana pengungsi Sampit yang melibatkan, terdakwa Drs H Mohammad Ruslan MM, Edi Catur Tavip Wibowo SE, dan Drs Zainal Arifin, di Pengadilan Negeri (PN) Sampang, Selasa (11/9), sempat diwarnai aksi unjuk rasa oleh para pengungsi Sampit dan aktivis Lumbung Informasi Rakyat (LIRA).

Namun unjuk rasa itu terpaksa dibubarkan aparat Polres Sampang, karena tidak mengantongi izin dari pihak keamanan. Para pengunjuk rasa itu mengelar poster dan melakukan orasi di depan halaman kantor PN, bernadakan hujatan terhadap pelaku korupsi agar dihukum seberat-beratnya.

Karena tidak mempunyai izin, Kabag Ops Polres Sampang, Kompol Danuri, memerintahkan pengunjuk rasa untuk membubarkan diri, sebab tindakan mereka itu dianggap telah menganggu jalannya persidangan yang akan digelar oleh PN terbuka untuk umum.

"Saya memerintahkan saudara agar membubarkan diri, karena tindakan saudara yang tidak mempunyai ijin telah mengganggu ketertiban umum. Jika saudara ingin menyaksikan jalannya persidangan, silahkan masuk tapi dibatasi hanya 40 orang saja karena tempatnya sangat terbatas," perintah Danuri dihadapan para pengunjuk rasa.

Sementara itu, jalannya persidangan dipimpin Ketua Majelis Hakim, Agus Jumoro SH, masih memasuki tahap pembacaan dakwaan oleh Mohammad Misjoto SH, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Sampang, serta Sukaris SH, JPU Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, yang berlangsung hanya setengah jam.

Namun tiga penasehat hukum terdakwa tidak melakukan esepsi (pembelaan) terhadap dakwaan JPU tersebut, sehingga pada sidang berikutnya akan dilanjutkan dengan menghadirkan sejumlah saksi.

Dalam dakwaannya, JPU menyatakan, terdakwa Edi Catur Tavip Wibowo, sebagai bendahara pengelola dana bantuan pengungsi, dengan sengaja memindahkan aliran dana dari rekening resmi dipindahkan ke rekening pribadinya, dengan sepengetahuan Ruslan, Kepala Kantor Kesejahteraan Sosial (Kesos), sebagai penanggung jawab pengelola bantuan. Sedangkan Zainal Arifin, didakwa karena ikut menandatangani kuitansi dana bantuan, padahal terdakwa tidak boleh menandatangani kuitansi tersebut.

"Akibat aliran dana bantuan yang masuk ke rekening pribadi terdakwa, menghasilkan bunga bank mencapai Rp 900 juta. Masing-masing, masuk kekantong pribadi Ruslan sebanyak Rp 237 juta, Edi Catur menerima aliran dana bunga bank Rp 40 juta, dan Zainal Rp 20 juta. Sehingga negara dirugikan sebesar Rp 297 juta," kata Sukaris. (rud)

Sumber: Surabaya Post, Rabu 12/09/2007