Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (3)

Anak Istri Tidur di Lantai Suami di Atas Meja

Mengenang sejarah kelam. Pertikaian di Sampit, Kalimantan Tengah, lebih disebabkan adanya konflik etnis belaka. Muatan politik sempat tercium. Apapun itu penyebab utamanya, kehidupan antar etnis di Indonesia belum seterbuka seperti yang berlangsung saat ini.

Selasa, 20 Februari 2001. Puncak pertikaian antara etnis Dayak dan etnis Madura. Disulut perselisihan dua keluarga dari etnis berbeda, menjalar menjadi sebuah peristiwa pembunuhan besar. Semula terpusat di ibu kota provinsi, Sampit, lalu menyebar hampir di seluruh kawasan provinsi.

Claire Q Smith PhD, Kandidat Development Studies Institute di London School of Economics and Political Science, menerangkan dalam papernya bahwa tidak jelas berapa jumlah orang yang meninggal akibat konflik dua etnis selama pertengahan Februari hingga pertengahan April 2001 tersebut. Bahkan masih terjadi sampai setahun berikutnya.

Paper Claire berjudul The Roots of Violence and Prospects for Reconciliation, A Case Study of Ethnic Conflict in Central Kalimantan, Indonesia (Akar Kekerasan dan Prospek melakukan Rekonsiliasi, Studi Kasus Konflik Etnik di Kalimantan Tengah, Indonesia). Sumber resmi menyatakan 431 orang Madura meninggal dunia. Sumber tidak resmi melaporkan sekitar 1.500-3.000 orang Madura meninggal. Peristiwa ini sendiri seperti 'lanjutan' dari penyerangan etnik Madura yang terjadi di Kalimantan Barat, pada 1996-1997 dan 1999.

Sebelum orang Dayak dari pedalaman berdatangan ke Sampit, etnis Madura sempat menguasai kota. Tercatat, saat itu tanggal 19 Februari 2001. Mereka bergerombol menggunakan motor sambil membawa jeriken berisi bensin. Sembari beraksi di jalanan, mereka sesumbar 'Jadikan Sampit sebagai Sampang kedua!'. Pembakaran dan pembunuhan terjadi dimana-mana.

Tanpa disadari puluhan orang Dayak menyusup ke semua sisi Kota Sampit. Mereka melakukan tindakan balasan. Tidak kenal ampun, orang Dayak yang digambarkan sebagai pasukan penyerang itu membunuh orang Madura secara sadis. Bersenjatakan mandau (senjata tradisional sejenis parang berasal dari budaya Dayak), sebagian besar langsung menebas leher korbannya.

Selasa, 8 Januari 2001, tujuh tahun sejak kejadian brutal di Sampit. Dua ribu mil dari tempat pembantaian. Matdu'i menuturkan apa yang dirasakan dan dialami sepanjang peristiwa itu. "Orang Dayak baik hati memberi saya tempat pengungsian dan memberitahu waktu pasukan Dayak yang kejam datang," ungkap Matdu'i.

Orang Dayak sendiri terbagi menjadi dua. Ada yang baik hati, ada yang tega hati. Orang Madura yang bisa bertahan berminggu-minggu di tempat persembunyian di hutan, tak lepas dari bantuan orang Dayak yang baik hati.

Semua ingatan dituturkan Matdu'i sambil duduk santai di atas meja kayu. Meja itu merupakan bagian dari warung milik sesama orang Madura yang mengungsi dari Sampit.
"Ini warung miliknya orang Sampitan juga," ucap Matdu'i. Istilah Sampitan itu diberikan kepada semua orang Madura yang pernah tinggal di Sampit.

"Buk, jaga buk!" teriak Matdu'i. Dipukul-pukulnya sebuah meja yang lebih besar di depannya. Bong, bong, bong! Suaranya mengusik tidur nyenyak si buk (panggilan ibu pada orang Madura). "Apa (Apa), Mat!" sahutan terdengar dari bawah meja. Selembar kayu triplek yang menutup celah di salah satu sisi meja terbuka. Sebuah kepala melongok keluar. Seorang perempuan berselimut sarung dan baju kumal keluar. Rambutnya kusut. Tangannya menarik sarung yang membalut tubuhnya lebih erat lagi.

"Gi' tedung, Mat! Arapa'ah?" (Masih tidur, Mat! Ada apa?) tanya si buk. Meja tak berfungsi sebagai meja semata. Meja bisa dijadikan tempat tidur bagi komunitas Madura yang tinggal di lantai dua Pasar Keputran. Di dalamnya, kasur atau busa yang sudah melesak digelar. Supaya tidak bersentuhan langsung dengan lantai pasar yang berdebu, kardus bekas yang sudah disobek ditata di bagian bawahnya.

Anak-anak dan ibu-ibu biasa tidur di sana. Sementara kaum laki-laki kebanyakan memakai bagian atas meja. Tidur berganjal sebuah bantal di kepala dan berselimut sarung. Atau tidak sama sekali. Udara dingin di malam hari tak menjadi kendala. Mereka tetap bisa tidur nyenyak sembari merangkai mimpi. Berharap esok ada pekerjaan yang bisa dilakukan. Entah mengupas kulit bawang putih atau mencuci jeruk nipis. (Marta Nurfaidah) >>bersambung

Sumber: Surya, Monday, 14 January 2008

Bersambung