Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (7)

Pengungsi Sampit Tidak Bisa Diusir Begitu Saja

Fungsi pasar sebagai tempat jual beli tergeser dengan adanya pengungsi dari Sampit, Kalimantan Tengah. Namun, PD Pasar Surya sendiri masih bingung mengambil langkah untuk mengembalikan lagi fungsi pasar sebenarnya. Percakapan di warung kecil Matdu'i masih berlanjut.

Masiroh berhasil mengungsi dari Sampit menuju Surabaya bersama lima anaknya. Dua anak lainnya masih terpisah. Masiroh tak sempat mencari mereka. “Kami baru bertemu lagi di Sampang. Tak ada suami tidak apa-apa, asal anak ketemu,” katanya seperti yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Matdu'i.

Panas matahari semakin terasa. Satu per satu perempuan Madura yang tidur di dekat warung Matdu'i bangun tidur, kucel sekali penampilannya. Penasaran, mereka mendekat ke arah Matdu'i dan Masiroh duduk. Sambil lewat menuju kamar mandi umum, mereka nyeletuk, menggoda Masiroh.

Saiki Marsiye kawin maneh (sekarang Masiroh menikah lagi),” seloroh Nur. Nama Masiroh dilafalkan menjadi Marsiye menurut lidah orang Madura. Si pemilik nama menundukkan kepala sambil tersenyum. Kemudian kepalanya mengangguk. “Ya, saya menikah lagi. Suami tinggal di Sampang, bertani. Anak-anak juga tinggal di sana, dirawat sama nini-nya (neneknya),” imbuhnya.

Jauh dari keluarga, Masiroh bekerja mreteli (memisahkan) bawang putih. Dalam sehari, dia mendapat penghasilan Rp 3.000-5.000. Hitungannya, satu kilo seharga Rp 300. “Itu juga kalau dapat pekerjaan,” ujarnya.

Tentu saja, penghasilan Masiroh tidak bisa menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Setiap kali mandi, buang air kecil, atau buang air besar bayar Rp 500. Beli nasi Rp 3.000, pakai ayam jadi Rp 4.000. Meski demikian, Masiroh tidak merasa kapok. Daripada tinggal di Sampang tidak ada kerjaan, lebih baik tinggal di Pasar Keputran. Tidur di sembarang tempat tidak menjadi masalah. Seringkali di atas atau kolong meja yang kosong.

Tiba-tiba, beberapa orang berjalan terburu-buru mengarah ke warung Matdu'i. Mereka segera mengambil tongkat panjang yang disandarkan di salah satu tiang bangunan. Di belakang mereka berjalan petugas PD Pasar Surya. Tiada senyum di wajah lelaki berkumis itu. Tangan kanannya membawa sebatang bambu sepanjang dua meter. Salah satu ujungnya dipasang besi.

Batang bambu itu disodok-sodokkan ke atas. Berusaha mengambil pakaian yang tergantung di langit-langit lantai dua. “Ayo, dukno! (turunkan!)” teriaknya kepada beberapa orang. Masiroh pun ikut pergi ke tempatnya tidur semalam. Dia segera mengambil pakaiannya yang digantungkan di seutas tali terbentang. Letaknya tidak terlalu tinggi sehingga tangannya masih bisa menjangkau. “Obrakan cucian atau baju digantung itu rutin dilakukan petugas,” terang Matdu'i. Tak ada yang bisa dilakukan PD Pasar Surya selain penertiban dan pembersihan lingkungan komunitas pengungsi Sampit di Pasar Keputran.

Fatma Irawati Malaka, Direktur Pembinaan Pedagang PD Pasar Surya, yang akrab dipanggil Etik ini, mengatakan bahwa selain merapikan baju tergantung, kadang petugas juga operasi kompor. “Melihat tiap kamar apa masih ada api kompor yang menyala. Kalau lengah dan terjadi kebakaran, bagaimana? Bisa habis seluruh lantai,” tukas Etik.

Awal 2008 ini PD Pasar Surya sudah menggelar kerja bakti. Toko-toko yang ditinggalkan pedagangnya dibersihkan dan harus dikosongkan. Kerjasama dengan Dinas Sosial dan Dispol PP juga sudah dilakukan. Tapi, membersihkan lantai dua itu tak semudah yang dikira kebanyakan orang. “Orang Madura sudah ada lama di sana. Sebagian besar berdagang. Nah, waktu pengungsi Sampit sampai di Jatim pada 2001, semakin bertambah komunitas mereka,” jelas Etik. Atas ajakan saudara, teman, atau tetangga, pengungsi Sampit sampai di Pasar Keputran juga. “Rasa kekeluargaan mereka kental sekali,” tegas Etik.

Saat ini sekitar 70 kepala keluarga tinggal di sana. Rata-rata satu kepala keluarga terdiri dari tiga hingga empat orang. Jumlah ini berkurang dibanding pada 2001-2002. Transaksi sewa rumah dengan pedagang pemilik toko, yang sekarang dimanfaatkan sebagai rumah kos, dilakukan tanpa campur tangan PD Pasar Surya. Sayangnya, transaksi itu dilakukan tanpa tanda bukti atau kuitansi. Jadi posisi pengungsi Sampit itu lemah dengan sendirinya. “Kami tidak bisa mengusir mereka begitu saja. Ini berkenaan dengan masalah sosial. Harus ada penyelesaian komprehensif,” katanya lebih lanjut.

Keinginan mengembalikan fungsi pasar sebagai tempat berjual beli pedagang dan konsumen tetap ada. Sebab, bangunan pasar tidak dikonstruksikan sebagai tempat tinggal. Di samping, PD Pasar Surya harus meningkatkan pengawasan dan keamanan dibanding pasar-pasar lainnya.

Kerusuhan Sampit menyisakan kepedihan dan kesusahan bagi semua pihak. Akibat peristiwa itu, sekitar 100.000 suku Madura meninggalkan provinsi Kalimantan Tengah. Sebagian besar pulang ke Pulau Jawa.

Gerry van Klinken, Indonesianis asal Belanda, menulis bahwa 1,8 juta suku Madura pernah tinggal di Kalimantan Tengah. Sekarang hanya tersisa sekitar 45.000 jiwa saja yang tinggal di Pangkalanbun, sebelah Barat Sampit. Sekitar 6-7 persen suku Madura 'bersih' karena kejadian itu. (Marta Nurfaidah) (tamat)

Sumber: Surya, Friday, 18 January 2008