Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (5)

Menunggu Jatah Pemerintah Bisa Mati Kelaparan

Berjualan makanan dan minuman di Pasar Keputran tidak mampu menutupi seluruh kebutuhan hidupnya. Berawal dari sekadar ikut teman, Matdu'i pun menambah pendapatan sebagai perias pengantin.

Selasa (8/1). Beranjak sore. Pendapatan yang diperoleh dari usaha warung kecilnya tak seberapa besar. Sehari sekitar Rp 10.000. Maka, dia memanfaatkan kesempatan ketika bersosialisasi dengan teman-temannya. Berulangkali membantu teman merias pengantin, muncul keinginan Matdu'i untuk mempelajarinya. “Bisa lah lama-lama. Menambah penghasilan,” kata Matdu'i.

Tangan kirinya menyelipkan seuntai rambut di belakang daun telinganya. Rambut itu tak mau diatur. Angin agak kencang sore itu, rambut sebahu Matdu'i pun diterpanya.
“Kapan hari anginnya kencang sekali. Sampai atap seng di sana terangkat semua,” ujar Matdu'i mengalihkan topik pembicaraan. Jari telunjuknya mengarah ke luar bangunan pasar. Dari lokasi yang terbuka, bisa dilihat beberapa atap toko di bagian belakang kompleks Pasar Keputran Surabaya.

Kembali Matdu'i bercerita tentang pekerjaan barunya. “Sekali pesan, seharga Rp 3,5 juta. Hitungannya sudah jadi satu dengan kuade dan baju pengantin untuk ganti beberapa kali. Ini nih fotonya,” tutur Matdu'i.

Dua lembar foto berwarna yang menempel di etalase warungnya diambil. Keduanya merupakan foto pengantin perempuan mengenakan baju pengantin ala Eropa. Make up menyolok, rambut digelung modern dan sebuah mahkota bertabur berlian tiruan tersemat. Satu di antaranya tampak sosok Matdu'i dalam dandanan 'cantik'nya sedang pasang gaya bersama pengantin.

Selama bulan Desember 2007 lalu, sudah lima pesta pernikahan di Madura yang menggunakan jasa Matdu'i dan teman-temannya. Memasuki area Madura, patokan tarif disesuaikan. Matdu'i memaparkan perbedaan perekonomian antara masyarakat Madura kebanyakan dengan penduduk Kota Surabaya. “Orang di sana makannya ketela saja. Bisa beli beras sudah untung. Kecuali yang kaya, mereka ya nggak makan ketela, tapi makan nasi,” katanya. Itu pula yang mendorong dia meninggalkan tanah leluhurnya. Sudah jadi bahan pembicaraan umum di Madura. Sebagian besar bantuan bagi pengungsi Sampit sampai ke orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

“Bantuan dari atasan ada. Begitu masuk ke Madura langsung diterima kepala desa. Lha, dari kepala desa ini kadang-kadang jatah untuk pengungsi tidak keluar,” sahut Ridho, anak laki-laki Sa'diyah. Dia duduk tak jauh dari Matdu'i berdiri. Sedari tadi dia diam mendengarkan Matdu'i berbicara. Menurutnya, jatah beras dikasih separo saja. Ada yang dikasih, ada yang tidak. Berapapun jumlah anggota keluarga, semua dipukul rata, diberi beras 10 kilogram.

Terus nek gak dikeki, gak golek dewe, yok opo? Nek ngenteni pemerintah, yo mati kelaparen (Lalu kalau tidak diberi, tidak cari sendiri, bagaimana? Kalau menunggu pemerintah, ya mati kelaparan),” ujar Matdu'i dalam Bahasa Jawa berdialek Madura.

Lagipula, dengan bekerja maka bisa mencari makan. Dengan makan, tubuh jadi kuat dan penyakit enggan mendekati. Matdu'i sendiri menyimpan setiap receh uang yang diperolehnya. “Kalau sakit nanti bagaimana? Nanti mati dibuang kalau tidak punya uang,” kata Matdu'i. Begitulah alasan mengapa dia harus menabung. Dia tidak ingin nasibnya seperti orang yang meninggal di tengah ketidakberuntungan hidup.

Ridho mengangguk membenarkan tiap perkataan Matdu'i. Kesepuluh jemarinya mulai memainkan gitar yang dibawanya. Lirik lagu Munajat Cinta milik The Rock, kelompok musik Ahmad Dhani yang baru selain Dewa, digumamkan perlahan. Matdu'i melanjutkan kisahnya. Ketika ibu meninggal dunia, dia diberi pesan supaya menjaga adik bungsunya. Sebab, hanya dia yang bisa bekerja layak dan mencari uang dibanding saudara-saudara lainnya. Maka, dia selalu mendisiplinkan diri untuk menabung. Sebagai simpanan di masa sulit.

Hidup di Surabaya juga tidak murah-murah sekali. Biaya rumah kosnya Rp 1 juta per tahun. Tapi uang itu diberikan kepada si pemilik stan, bukan kepada PD Pasar Surya. Selain itu, beberapa rupiah disisihkan untuk dua ponsel yang dimilikinya. (Marta Nurfaidah) >>bersambung

Sumber: Surya, Wednesday, 16 January 2008